This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selasa, 14 Februari 2017

FIKTIFKAH PERANG BUBAT?


image google


Salah satu pahlawan nasional yang memiliki nama besar dari masa ke masa adalah Rakryan Mahamentri Gajah Mada. Lebih dikenal masyarakat dengan sebutan Patih Gajah Mada.

Putra Jawa kelahiran desa Modo yang memiliki nama kecil Jaka Mada itu menjadi the rising star, ketika berhasil menyelamatkan Jayanegara, raja kedua Majapahit dari percobaan pembunuhan oleh seorang pemberontak bernama Ra Kuti. Puncak kariernya adalah ketika dengan Sumpah Amukti Palapa, Gajah Mada berhasil menyatukan wilayah Nusantara ke dalam kekuasaan Wilwatikta (bahasa Sanskerta, Vilva yang berarti buah Maja, dan Tikta yang artinya Pahit).

Tetapi, konon tidak ada satu pun jalan di tanah Sunda, khususnya kota Bandung yang menggunakan nama Gajah Mada.

Kenapa?

Perang Bubat adalah penyebabnya.

Iya, sebuah tragedi berdarah yang bukan hanya memupuskan harapan penguasa Majapahit ketika itu, Hayam Wuruk, untuk meminang seorang putri Sunda, tetapi juga menjadi cikal bakal mitos larangan menikahi orang Jawa bagi rakyat Sunda.

Apakah sebenarnya perang Bubat itu?

Hayam Wuruk (Sri Rajasanegara Hyang Wêkasing Shuka) yang masih lajang naik tahta menggantikan ibunya Ratu Tribhuwana Tunggadewi pada Saka Warsa 1272, sekitar tahun 1350 M (selisih penanggalan Saka dengan Masehi adalah 78 tahun).

Pada saat usianya telah matang, tersiar berita tentang kecantikan Dyah Pitaloka Citraresmi, putri dari Prabu Lingga Buana, raja Galuh. Disebarlah teliksandhi Majapahit untuk mencari informasi sebanyak-banyaknya perihal kejelitaan mojang parahyangan yang konon memiliki wahyu prajna paramitha (anugerah tertinggi seorang wanita, berupa kecantikan tiada tara, dulu pernah dimiliki Ken Dedes).

Akhirnya sebuah lukisan Dyah Pitaloka Citreresmi hasil guratan tinta seorang pelukis bernama Sungging Prabangkara sampai juga ke tangan Prabu Hayam Wuruk di kotaraja Antawulan (Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur sekarang). Kepada para tandha (pejabat, punggawa, sesepuh) Majapahit, raja muda itu mengutarakan niatnya untuk mempersunting sang putri Sunda.

Rakryan Mahamentri (Perdana Menteri) Gajah Mada menentang keinginan Prabu Hayam Wuruk. Galuh adalah target selanjutnya bagi Majapahit untuk menyempurnakan wilayah Nusantara. Hanya tanah pasundan yang belum tersentuh invasi Wilwatikta.

Sementara Prabu Hayam Wuruk bersikukuh untuk menikahi Dyah Pitaloka Citraresmi. Dikirimlah beberapa Rakryan Demung dan Rakryan Tumenggung untuk melamar ke Galuh.

Bak gayung bersambut, pinangan raja besar tanah Jawa itu diterima dengan suka cita oleh Prabu Lingga Buana dan Dyah Pitaloka Citraresmi. Sesuai permintaan Prabu Hayam Wuruk, pesta pernikahan besar-besaran akan dilangsungkan di Antawulan, Majapahit.

Rencana ini ditentang oleh Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati. Menurut tokoh dewan kerajaan Galuh itu, tidak lazim seorang mempelai wanita harus mendatangi calon pengantin lelaki. Ini pertanda buruk bagi tanah pasundan.

Seolah-olah silau dengan nama besar Prabu Hayam Wuruk dan Majapahit, Prabu Lingga Buana bersikukuh mengantar Dyah Pitaloka Citraresmi ke Antawulan. Bersama permaisuri, seluruh kerabat dan pembesar Galuh, rombongan calon mempelai wanita berangkat pada Saka Warsa 1273 atau sekitar 1351 Masehi.

Sementara di kotaraja Majapahit, Rakryan Mahamentri Gajah Mada juga bersikukuh menentang niat Prabu Hayam Wuruk untuk mempersunting Dyah Pitaloka Citraresmi.

Gajah Mada menyarankan, demi tetap terlaksananya pernikahan Prabu Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka Citraresmi, maka biarlah putri Prabu Lingga Buana itu diserahkan kepada raja Majapahit sebagai sesembahan. Tanda bahwa tanah pasundan tunduk dan patuh di bawah kekuasaan Majapahit, tanpa ada pertumpahan darah.

Sampailah rombongan Galuh di sebuah tempat bernama Bubat. Mereka disambut secara hormat oleh cethi----pelayan wanita----dan prajurit-prajurit suruhan Prabu Hayam Wuruk. Di sana didirikan pesanggrahan untuk melayani segala keperluan Dyah Pitaloka Citraresmi, Prabu Linggabuana, permaisuri serta seluruh rombongan calon mempelai wanita.

Nahas bagi orang-orang Sunda, malam hari setelah menginjakkan kaki di bumi Majapahit, Rakryan Mahapatih Gajah Mada beserta Bhayangkara (pasukan elit Wilwatikta, semacam Kopassus sekarang) bergerak diam-diam, lalu menemui mereka di pesanggrahan. Kepada Prabu Lingga Buana, Gajah Mada mengutarakan maksud kedatangannya. Pernikahan Dyah Pitaloka Citraresmi adalah sesembahan Galuh kepada Bathara Ring Majapahit----raja di Majapahit----Prabu Hayam Wuruk. Agar penyatuan sunda ke wilayah Nusantara tanpa melalui pertumpahan darah.

Sontak keinginan Gajah Mada membuat harga diri Prabu Lingga Buana terinjak-injak. Pantang bagi orang-orang Sunda untuk tunduk sedikitpun kepada Majapahit, tantangnya. Terjadi keributan. Seluruh punggawa Galuh dan Bhayangkara sama-sama tidak bisa menahan diri.

Bubat berdarah!

Prabu Lingga Buana, ratu permaisuri dan seluruh punggawa Galuh tewas dalam tragedi itu. Tersisa Dyah Pitaloka Citraresmi. Tak ada prajurit Bhayangkara, termasuk Gajah Mada yang berani melukai sedikitpun calon istri raja Majapahit itu.

Tetapi di luar dugaan Gajah Mada, Dyah Pitaloka Citraresmi menghunus Keris Singa Barong----keris berlekuk tiga belas, pusaka tanah Pasundan, peninggalan Prabu Jayasinga Warman, raja Tarumanegara----lalu menusukkan ke jantungnya sendiri. Putri Sunda itu memilih jalan bela pati (bunuh diri). Tradisi menjaga kehormatan keluarga keraton hampir di seluruh Nusantara.

Pernikahan Prabu Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka yang tinggal di depan mata batal!

Prabu Hayam Wuruk murka. Dia menganggap tragedi Bubat ini adalah buah dari blunder Gajah Mada yang ambisius. Sumpah Amukti Palapa-nya terlalu berlebihan. Hingga mengesampingkan perasaan junjungannya sendiri.

Seorang tamu negara dari Balidwipa yang awalnya berniat menghadiri undangan pernikahan, dikirim ke Sunda untuk menyampaikan pralaya dan permohonan maaf kepada Hyang Bunisora Suradipati yang memutuskan tidak ikut ke Majapahit.

Satu-satunya putra Prabu Lingga Buana yang tersisa adalah Niskala Wastu Kencana. Adik Dyah Pitaloka Citraresmi itu tidak diajak ke Majapahit karena masih terlalu kecil. Ketika naik tahta, dia mengeluarkan seruan 'melarang orang Sunda menikah dengan orang Jawa'. Larangan ini yang akhirnya menjadi mitos selama berabad-abad.

Sejak saat itu, rengganglah hubungan Hayam Wuruk dan Gajah Mada.

Sang Rakryan Mahamentri semakin dibatasi ruang lingkup dan wewenangnya. Puncaknya adalah ketika dia ditempatkan di Madakaripura (sekitar Tongas, Probolinggo, Jawa Timur sekarang), sebuah tanah perdikan yang jauh dari kotaraja. Gajah Mada menganggap itu sebagai hukuman. Dia pun mengundurkan diri dari pemerintahan Majapahit.

Sejak saat itu, Gajah Mada menghilang bak ditelan bumi. Tak ada kabar tentang Mahapatih yang berhasil menyatukan wilayah Nusantara mulai dari Champa di utara, Kepulauan Fiji di timur, hingga Madagaskar di belahan barat.

Nama besarnya lenyap seiring meredupnya pamor Majapahit, sejak tragedi pembantaian di pesanggrahan Bubat.

Kontroversi Sejarah.
Semua catatan diatas saya rujuk dari Kidung Sunda dan Sêrat Pararaton. Tulisan kuno yang memuat kisah perang Bubat. Tidak ada satu pun prasasti (batu tulis) yang mencantumkan tragedi ini.

Kidung Sunda diangkat (diterjemahkan) oleh seorang Belanda C.C. Berg pada tahun 1927. Masa di mana Indonesia sedang dikuasai bangsa Penjajah.

Sebagian orang mengatakan bahwa Perang Bubat dalam Kidung Sunda adalah pesanan Belanda untuk memuluskan politik devide at impera. Politik adu domba. Tujuannya adalah menciptakan konflik horisontal antara suku Sunda dan Jawa.

Satu lagi yang membuat Kidung Sunda diragukan validitas-nya adalah penyebutan Jaka Sasuruh, seorang putra Sunda, anak dari Rakryan Jayadarma dan Dyah Lembu Tal sebagai pendiri Majapahit.

Catatan di atas sangat berbeda dengan beberapa kitab lain (Sêrat Pararaton dan Kakawin Negarakertagama) yang menyebutkan Dyah Lembu Tal adalah seorang wanita, putri dari Singasari yang menikah dengan Mahisa Campaka, lalu memiliki putra bernama Sanggramawijaya yang kelak mendirikan Majapahit.

Sementara, Sêrat Pararaton, kitab tentang kisah raja-raja Jawa mulai era Singasari hingga Majapahit, juga diragukan kebenarannya. Pustaka ini ditulis jauh pada masa setelah terjadi Perang Bubat. Bait terakhir yang mencantumkan Saka Warsa 1522 atau 1600 Masehi dijadikan rujukan waktu pembuatannya. Namun, tidak dicantumkannya nama penulis, meragukan validitas isi kitab ini.

Selanjutnya, data pembanding yang saya gunakan adalah Kakawin Negarakertagama, karya Mpu Prapanca. Kitab ini tidak mencantumkan satu pun tragedi Perang Bubat dalam seluruh Pupuh-nya.

Kakawin Negarakertagama cukup valid dibanding kedua rujukan sebelumnya. Selain mencantumkan tahun pembuatan, Saka Warsa 1287 atau 1365 Masehi, nama penulisnya, Mpu Prapanca juga terpampang. Kumpulan syair-syair ini dibuat pada waktu terjadinya Perang Bubat, sehingga keakuratan isinya lebih mendekati kebanaran fakta sejarah (analisa saya).

Namun, baik Kidung Sunda, Serat Pararaton, maupun Kakawin Negarakertagama adalah sama-sama karya sastra. Ditulis oleh para pujangga. Bukan sebuah prasasti yang bisa dijadikan sebagai kronik sejarah. Ketiganya lebih tepat dikatakan tafsir sejarah, atau bahkan opini dari penulis di masa itu.

Bubat sendiri, nama tempat yang disebut-sebut dalam Kidung Sunda dan Serat Pararaton masih misteri keberadaannya sampai sekarang. Saya sudah berkali-kali ke Trowulan dan sekitarnya, namun tidak ada petunjuk yang mengarah di mana Bubat berada.

Tempat itu benar-benar masih misterius, seperti kontroversi kebenaran kisahnya.


Heru Sang Mahadewa
Member of #OneDayOnePost.

Minggu, 12 Februari 2017

SOSOK (TAK) KASAT MATA DI DEPAN JENDELA


“Bayangan itu … !!!” ratapku dalam hati.

Malam itu adalah malam dimana seluruh ketegaran terasa runtuh bersama nuansa bayangan hitam. Kejadian yang sebelumnya hanya sebuah mitos, akhirnya benar-benar menumbuhkan keyakinanku, bahwa ada dimensi lain di sekitar kehidupan nyata kita.

Mitos bahwa jika Mbah Sablung, penunggu kedung kali Sugihwaras menampakkan diri, maka desa kami akan dilanda pagebluk----wabah penyakit.

Hujan baru saja reda, setelah seharian mengguyur Sugihwaras (nama kampung halamanku). Membuat orang-orang memilih tenggelam di peraduan. 

Malam terasa lebih sunyi dari hari-hari sebelumnya. Tidak ada suara kodok yang biasanya bernyanyi sehabis langit menumpahkan jutaan kubik tirta cakrawala. Hanya ada cericitan Daresh, jenis burung malam yang berkeliaran memangsa serangga di gelapnya angkasa.

Sejak lepas Maghrib, saat gerimis belum benar-benar habis, aku sudah berada di rumah seorang kerabat. Bahar namanya. Kebetulan kami seusia, juga masih ada hubungan keluarga. Hampir setiap hari, aku bermain kesana. Namun, biasanya hanya di siang hari. Tidak pernah sampai larut malam.

Entah apa penyebabnya, aku memutuskan untuk menginap di sana malam itu.

Aku tidur di kamar yang berada di ujung paling depan. Jendelanya menghadap ke pekarangan kosong yang tepat berada di tepi hutan bambu di pojok desa. Karena terlalu asyik ngobrol dengan Bahar, atau mungkin karena mata sudah tidak kuat untuk terjaga, kami lupa menutup jendela.

Samar-samar masih kulihat Bahar keluar dari kamar, menuju ke kamar lain yang terletak di belakang. “Wis ndang turu wae, mripatmu ora iso melek ngunu----sudah tidur aja dulu, matamu sudah tidak bisa terbuka gitu,” ucapnya seraya meninggalkan aku sendirian.

Belum lama terdengar sayup-sayup Bahar menutup pintu kamarnya, dan aku hendak terlelap dalam tidur, tiba-tiba aku ketindhihan. Sekujur tubuh terasa kaku, tidak bisa digerakkan sama sekali. Pikiran masih terjaga, namun badan terasa kelu. Sekuat tenaga, aku berusaha mengumpulkan tenaga untuk memberontak. Butuh waktu lama hingga akhirnya tangan dan kaki benar-benar bisa bergerak. Dada terasa sesak karenanya.

“Mungkin ini kram,” bisikku dalam hati.

Mata sudah semakin mengantuk, akhirnya kembali kurebahkan badan ke dipan----tempat tidur berbahan kayu tanpa kasur. Namun, begitu hendak terlelap, lagi-lagi aku ketindhihan. Kali ini tubuh terasa jauh lebih kaku dari kejadian pertama tadi. Perjuangan terasa sangat menyiksa untuk mendapatkan kembali kekuatan kaki dan tangan. Napas memburu, naik turun tak beraturan. Ingin sekali berteriak kencang, namun lidah benar-benar kelu.

Aku mencoba untuk menenangkan diri.

Malam terasa mencekam, suara cericitan Daresh menambah suasana semakin kelam. Setelah nekad memejamkan lagi, untuk ketiga kalinya aku kembali ketindhihan. Kali ini benar-benar telah habis seluruh kekuatan badan.

Seperti ada tenaga yang menghimpit sekujur tubuh. Aku biarkan saja sesuatu itu sepuasnya menguras nyali dan ketegaran. Dalam kepasrahan itu, terlintas bacaan Surat-surat pendek. Juga Mantra Pendanyangan, ajaran Kejawen. Sebisa-bisanya, semua kuucapkan dalam batin. Meski tidak menolong secara langsung, tetapi pelan-pelan bisa membuat badan bergerak kembali.

Tiba-tiba bulu kuduk ini berdiri!

Meski tidak terlihat jelas, tapi aku merasakan ada sesosok entah lelaki atau wanita sedang berdiri di depan jendela kamar yang terbuka. Sorot matanya seperti menatap tajam ke arahku. Jantung seperti berhenti berdenyut. Paru-paru mengempis sekempis-kempisnya. Seluruh bagian dari tubuh bergetar, bahkan menggigil.

“Apa salahku? Dunia kita berbeda, aku tidak mengganggumu, tolong jangan ganggu aku juga,” pintaku.

Bersamaan dengan kalimat ratapan itu, mendadak aku tersadar bahwa jendela kamar itu tepat menghadap ke belukar bambu yang selama ini dipercaya orang-orang desa sebagai rumah Mbah Sablung. Makhluk astral penghuni pojok kedung----cekungan----sungai Sugihwaras.

Buru-buru aku menutup jendela, lalu bergegas mengetuk kamar tidur Bahar. Tanpa beralasan apa-apa, kukatakan bahwa tidak jadi tidur di rumahnya, lalu memutuskan pulang saat itu juga.

Keesokan harinya, pagebluk lara mata melanda desa kami. Puluhan penduduk terserang wabah sakit mata.

Penyebabnya sepele, saat pergi ke sungai kemarin sore, seorang penduduk bernama Kang Man menemukan sebuah kaca mata yang hanyut, lalu iseng-iseng memakainya. Sampai di rumah, matanya bengkak dan berwarna merah pekat. Dengan cepat, sakit yang di derita Kang Man menular ke warga satu desa.

Orang-orang pun beranggapan bahwa kaca mata yang ditemukan Kang Man adalah milik Mbah Sablung. Mengingat sungai yang dikunjunginya dikenal wingit----angker.


(Heru Sang Mahadewa)
Member of #OneDayOnePost

Sabtu, 11 Februari 2017

BENGAWAN BRANTAS, SUNGAI SEJARAH DI JAWA DWIPA


Bengawan Brantas - foto @wedya_wiwied


Di Pulau Jawa, ada dua sungai legendaris yang telah dikenal sejak ribuan tahun silam. Sungai-sungai itu, dahulu menjadi jalur penting bagi aktivitas kerajaan-kerajaan kuno. Baik sebagai pertahanan pasukan, maupun jalur perdagangan dengan negeri-negeri seberang.

Sungai pertama adalah Bengawan Solo. Merupakan sungai terpanjang di Jawa yang mengalir dari mata air di pegunungan Seribu di Jawa Tengah, lalu masuk ke kabupaten-kabupaten di provinsi Jawa Timur melalui Madiun, Ngawi, Bojonegoro, Lamongan dan bermuara di Gresik.

Sungai kedua adalah Bengawan Brantas (Kali Brantas). Merupakan sungai terbesar di Jawa. Bermata air di kaki gunung Arjuno, Batu, Malang, Jawa Timur. Alirannya membelah Lodaya (Blitar, Tulungagung), Panjalu (Kediri), Anjuk Ladang (Nganjuk), Watugaluh-Tamwlang (Megaluh-Tembelang, Jombang) dan Kotaraja Majapahit Antawulan (Trowulan, Mojokerto).

Sampai di pelabuhan kuno Canggu (sekitar desa Mlirip, Jetis, Mojokerto sekarang) dekat kotaraja Majapahit, aliran bengawan Brantas terpecah menjadi dua. Pertama alirannya terus lurus menuju ke arah timur, menjadi Bengawan Porong. Bermuara di daerah Bangèr (Bangil, Pasusuruan sekarang). Pecahan kedua, mengalir ke utara, menjadi Bengawan Mas. Bermuara di Ujung Galuh (Pelabuhan Kalimas Surabaya sekarang).

Pelabuhan Canggu, di masa silam merupakan sebuah dermaga penting bagi perdagangan Majapahit. Para saudagara dari negeri Tiongkok, Syiam, Champa, India dan Arab senantiasa melanjutkan pelayaran ke pelabuhan kuno itu menggunakan BALANDONG (kapal kayu kecil kuno) setelah merapatkan JUNG (kapal layar kuno berbendera asing) di Bangèr atau Ujung Galuh.

Brantas Dalam Sejarah.
Bengawan Brantas, sudah mulai dikenal sebagai jalur penting sejak era perang pasukan Mpu Sindok (Mataram Kuno) dengan pasukan Melayu (Sriwijaya) yang mengejarnya hingga ke lembah gunung Wilis, Nganjuk, Jawa Timur.

Pasukan Sriwijaya yang berasal dari pangkalan militer divisi Jambi (Swarna Dwipa/Sumatera) mengerahkan kekuatannya mengarungi samudera Jawa, lalu mendarat di pelabuhan kuno Kembang Putih (Tuban, Jawa Timur sekarang).

Dari Tuban, pasukan Sriwijaya bergerak ke selatan hingga sampai di bengawan Brantas. Mereka singgah di pelabuhan kecil Watugaluh (Megaluh, Jombang sekarang) untuk membuat BALANDONG.

Perjalanan dilanjutkan menyusuri ke arah hulu bengawan Brantas hingga sampai di seberang pelabuhan Bandar Alim (desa Demangan, Tanjunganom, Nganjuk sekarang). Di tempat itu, pasukan Sriwijaya mendirikan pangkalan militer untuk menyiapkan kekuatan menggempur Mpu Sindok di lembah gunung Wilis.

Bengawan Brantas sekaligus menjadi batas pertahanan antara dua negeri yang berseteru. Sriwijaya dan Mataram Kuno.

Bengawan Brantas - foto Angga Kris
Pasukan Tar-Tar dari Mongolia yang dikirim Kaisar Kubilai Khan untuk menghukum raja Singhasari, Prabu Kertaêgara juga melalui bengawan Brantas. Nahas, pasukan yang buta peta kekuasaan Jawa Dwipa itu, setelah menghabisi Jayakatwang----penguasa Kediri yang mengkudeta Kertaêgara sehingga dianggap sebagai raja Singhasari---- justru digempur habis-habisan oleh para punggawa menantu mendiang Kertanêgara , Lembu Sora, Arya Wiraraja, Ronggolawé dan pasukannya. Kocar-kacir prajurit Tar-Tar di bengawan Brantas. Dikisahkan, air Brantas berubah warna menjadi merah karena banjir darah orang-orang Mongolia.

Di sungai Brantas inilah, dulu terjadi pertarungan satu lawan satu antara Arya Ronggolawé dan Kêbo Anabrang, ketika Adipati I Tuban itu memberontak kepada Bathara Ring Wilwatikta Kapisan----raja Majapahit pertama----, Sanggramawijaya (Raden Wijaya).

Di Brantas pula (desa Jatiduwur, kecamatan Kesamben, kabupaten Jombang sekarang), dulu Bêkêl Gajah Mada melarikan Bathara Ring Wilwatikta Karo----raja Majapahit kedua----, Jayanêgara (Raden Kalagêmêt) ketika terjadi pemberontakan besar-besaran oleh seorang Dharmaputra bernama Rakuti. Mereka dikawal sepuluh prajurit Bhayangkara (pasukan elit Majapahit yang dibentuk dan dilatih Gajah Mada).

Dari Jatiduwur, Gajah Mada membawa Jayanègara menyeberangi Bengawan Brantas menuju Kudu. Lalu terus ke utara hingga sampai di kabuyutan ----pemukiman kuno---- Badander (desa Bedander, kecamatan Kabuh, kabupaten Jombang sekarang). Di sana, rombongan tinggal di rumah seorang Samgat/Sam Pamegat ----Lurah kuno----, Ki Ageng Badander.

Malam ketiga setelah Jayanêgara tinggal di Badander, seorang prajurit Bhayangkara ngotot meminta ijin ingin pulang ke kotaraja Majapahit sebentar. Gajah Mada melarangnya. Dia curiga sang prajurit adalah teliksandi yang berkhianat kepada Jayanêgara pula, dan berniat akan membocorkan keberadaan mereka kepada Rakuti. Karena ngotot meninggalkan rombongan, Gajah Mada menghabisinya!

Malam ketujuh sejak meninggalkan kotaraja Antawulan, Gajah Mada pamit kepada Jayanêgara untuk membuat perhitungan dengan Rakuti. Bathara Ring Wilwatikta Karo sementara tetap tinggal di Badander, dijaga sembilan prajurit Bhayangkara.

Terjadilah tanding satu lawan satu antara Dharmaputra yang telah menguasai istana Wilwatikta dengan Gajah Mada.

Tombak Patmayoni milik sang pemberontak tidak mampu menandingi keris Luk Pitu milik bèkêl muda yang kelak menaklukkan Nusantara.

Rakuti meregang nyawa di tangan Gajah Mada!

Heru Sang Mahadewa
Member of #OneDayOnePost

Jumat, 10 Februari 2017

RATU ANTOLOGI DI ONE DAY ONE POST



www.facebook.com/dewie.dean

Jika melihat garis wajah dan penampilannya, kita pasti akan mengatakan dia tidak beda jauh dengan bunda Helvy Tiana Rosa dan bunda Asma Nadia di masa muda. Berciri khas wanita Indonesia yang memegang teguh syariat Islam. Menutup aurat dengan hijab syar’i. Sepasang lensa kaca mata tebal menegaskan bahwa dia type manusia kutu buku (baca---gemar membaca).

Saya mengenalnya semenjak sama-sama menjadi siswa One Day One Post. Sebuah gerakan menulis setiap hari yang di prakarsasi Bang Syaiha. Novelis, guru bloger, motivator, dan pendiri sekolah sosial Rumah Muda Indonesia di Bogor.

Perempuan asal Tebing Tinggi, Sumatera Utara yang fasih berbahasa Jawa ini awalnya saya pikir adalah seorang buruh migran. Sebuah tulisannya yang mengangkat tema tenaga kerja kita di Malaysia menjadi penyebabnya. Ramadhan Tanpa Hari Raya, judul tulisan yang dia buat ketika itu, berhasil menjuarai event menulis khusus bagi TKI. Baca cerita selengkapnya DISINI.

Dugaan saya ternyata salah.

Dewi Mariyana, pemilik nama pena Dewie Dean ini sejatinya seorang akademis yang menyamar sebagai buruh migran. Kini, dia sedang menempuh pendidikan di salah satu perguruan tinggi di negerinya Safee Sali. Pemain sepakbola yang pernah memporak-porandakan gawang tim nasional Indonesia. Malaysia.

Iya, negeri serumpun kita. Dari sanalah, suatu hari Kak Awie ---sapaan akrabnya oleh sesama siswa One Day One Post--- pernah menghubungi saya.

“Mas, ada waktu luang enggak?” sebuah pesan singkat melalui Whatsapp masuk ke ponsel saya.

“Iya, mbak Dewi. Ada apa ya?” saya balik bertanya.

Hari itu, ternyata Kak Awie sedang menyamar sebagai seorang jurnalis. Melalui percakapan chat Whattsapp itu, diam-diam dia sedang melakukan wawancara dengan saya.

Luar biasa. Hasil penggalian informasi itu yang akhirnya menjadi sebuah tulisan yang paling berkesan bagi saya. Selengkapnya silahkan baca DISINI.

Kini, saya harus melakukan hal yang sama. Menulis sisik melik----jejak profil----perempuan berkaca mata tebal itu versi saya. Tentu tidak sebagus tulisan dia tentang saya.

Dewi Mariyana, penulis muda Indonesia ini sudah mengenyam banyak pengalaman di berbagai komunitas menulis. Tak heran, jika di kalangan siswa One Day One Post, termasuk salah satu diantara beberapa member yang dianggap senior. Sosoknya banyak menginspirasi para penulis pemula seperti saya.

Namanya pun banyak menghiasi sampul buku Antologi. Jejak Jejak Mas Gagah, Babu Backpacker, Seronok Negeri Jiran, Orang Indonesia Kok Dilawan dan beberapa buku lainnya banyak yang telah terbit atas kontribusi tulisannya.

Ratu Antologi Di One Day One Post pun kiranya pantas saya sematkan kepada pemilik akun Facebook Dewie Dean ini. Untuk lebih mengenalnya, silahkan add pertemanan dengan Kak Awie DISINI.

Satu hal lagi, saya merasa bangga bisa menjadi satu tim kontributor bersama Mbak Dewi, untuk sebuah buku yang lagi-lagi adalah Antologi, persembahan siswa-siswa One Day One Post. Mutiara Hitam Dari Papua. Judul buku yang Insya Allah cetak pada bulan Juli 2017 ini juga diambil dari judul tulisan dia.

Sahabat sekalian ingin membaca karya-karyanya? Meluncurlah ke blog pribadi Mbak Dewie Dean: https://dewieajaa.blogspot.co.id

Sutau hari nanti, saya yakin bisa menemukan buku solo di rak-rak Gramedia dan Toga Mas, karya dari Sang Ratu Antologi ini.

Aamiin Ya Robbal Alaamiin.

Saya juga senantiasa mendoakan, sebagai sesama siswa One Day One Post, juga sebagai junior kepada seniornya, Mugi prinyantunipun tansah pinaringan wilujeng selamet, bagas kasarasan, saha lumebering rejeki dening Gusti Ingkang Murbeng Dumadi.

Semoga panjenenganipun Mbak Dewi senantiasa mendapatkan keselamatan, kesehatan serta rejeki yang berlimpah dari Allah SWT. Sehingga dapat terus berkarya dan memberi warna dunia literasi tanah air. Khususnya dalam memajukan One Day One Post.

Ayu, Hayu Rahayu Wilujeng.

Heru Sang Mahadewa
Member of #OneDayOnePost

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *