image google |
Salah satu pahlawan nasional yang memiliki nama
besar dari masa ke masa adalah Rakryan Mahamentri Gajah Mada. Lebih dikenal
masyarakat dengan sebutan Patih Gajah Mada.
Putra Jawa kelahiran desa Modo yang memiliki nama
kecil Jaka Mada itu menjadi the rising
star, ketika berhasil menyelamatkan Jayanegara, raja kedua Majapahit dari
percobaan pembunuhan oleh seorang pemberontak bernama Ra Kuti. Puncak kariernya adalah
ketika dengan Sumpah Amukti Palapa, Gajah Mada berhasil menyatukan wilayah
Nusantara ke dalam kekuasaan Wilwatikta
(bahasa Sanskerta, Vilva yang berarti buah Maja, dan Tikta yang artinya Pahit).
Tetapi, konon tidak ada satu pun jalan di tanah
Sunda, khususnya kota Bandung yang menggunakan nama Gajah Mada.
Kenapa?
Perang Bubat adalah penyebabnya.
Iya, sebuah tragedi berdarah yang bukan hanya
memupuskan harapan penguasa Majapahit ketika itu, Hayam Wuruk, untuk meminang
seorang putri Sunda, tetapi juga menjadi cikal bakal mitos larangan menikahi
orang Jawa bagi rakyat Sunda.
Apakah sebenarnya perang Bubat itu?
Hayam Wuruk (Sri Rajasanegara Hyang Wêkasing Shuka) yang masih lajang naik tahta
menggantikan ibunya Ratu Tribhuwana Tunggadewi pada Saka Warsa 1272, sekitar tahun 1350 M (selisih penanggalan Saka
dengan Masehi adalah 78 tahun).
Pada saat usianya telah matang, tersiar berita
tentang kecantikan Dyah Pitaloka Citraresmi, putri dari Prabu Lingga Buana,
raja Galuh. Disebarlah teliksandhi Majapahit untuk mencari informasi
sebanyak-banyaknya perihal kejelitaan mojang parahyangan yang konon memiliki
wahyu prajna paramitha (anugerah
tertinggi seorang wanita, berupa kecantikan tiada tara, dulu pernah dimiliki
Ken Dedes).
Akhirnya sebuah lukisan Dyah Pitaloka Citreresmi
hasil guratan tinta seorang pelukis bernama Sungging Prabangkara sampai juga ke
tangan Prabu Hayam Wuruk di kotaraja Antawulan (Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur sekarang). Kepada
para tandha (pejabat, punggawa, sesepuh) Majapahit,
raja muda itu mengutarakan niatnya untuk mempersunting sang putri Sunda.
Rakryan Mahamentri (Perdana Menteri) Gajah Mada
menentang keinginan Prabu Hayam Wuruk. Galuh adalah target selanjutnya
bagi Majapahit untuk menyempurnakan wilayah Nusantara. Hanya tanah pasundan yang belum tersentuh invasi Wilwatikta.
Sementara Prabu Hayam Wuruk bersikukuh untuk menikahi Dyah
Pitaloka Citraresmi. Dikirimlah beberapa Rakryan Demung dan Rakryan Tumenggung untuk
melamar ke Galuh.
Bak gayung bersambut, pinangan raja besar tanah
Jawa itu diterima dengan suka cita oleh Prabu Lingga Buana dan Dyah Pitaloka
Citraresmi. Sesuai permintaan Prabu Hayam Wuruk, pesta pernikahan besar-besaran
akan dilangsungkan di Antawulan, Majapahit.
Rencana ini ditentang oleh Mangkubumi Hyang Bunisora
Suradipati. Menurut tokoh dewan kerajaan Galuh itu, tidak lazim seorang
mempelai wanita harus mendatangi calon pengantin lelaki. Ini pertanda buruk
bagi tanah pasundan.
Seolah-olah silau dengan nama besar Prabu Hayam
Wuruk dan Majapahit, Prabu Lingga Buana bersikukuh mengantar Dyah
Pitaloka Citraresmi ke Antawulan. Bersama permaisuri, seluruh kerabat dan
pembesar Galuh, rombongan calon mempelai wanita berangkat pada Saka Warsa 1273 atau sekitar 1351 Masehi.
Sementara di kotaraja Majapahit, Rakryan
Mahamentri Gajah Mada juga bersikukuh menentang niat Prabu Hayam Wuruk untuk mempersunting
Dyah Pitaloka Citraresmi.
Gajah Mada menyarankan, demi tetap terlaksananya
pernikahan Prabu Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka Citraresmi, maka biarlah putri
Prabu Lingga Buana itu diserahkan kepada raja Majapahit sebagai sesembahan.
Tanda bahwa tanah pasundan tunduk dan patuh di bawah kekuasaan Majapahit, tanpa ada pertumpahan darah.
Sampailah rombongan Galuh di sebuah tempat
bernama Bubat. Mereka disambut secara hormat oleh cethi----pelayan wanita----dan prajurit-prajurit suruhan Prabu Hayam
Wuruk. Di sana didirikan pesanggrahan untuk melayani segala keperluan Dyah
Pitaloka Citraresmi, Prabu Linggabuana, permaisuri serta seluruh rombongan calon
mempelai wanita.
Nahas bagi orang-orang Sunda, malam hari setelah
menginjakkan kaki di bumi Majapahit, Rakryan Mahapatih Gajah Mada beserta
Bhayangkara (pasukan elit Wilwatikta, semacam Kopassus sekarang) bergerak diam-diam,
lalu menemui mereka di pesanggrahan. Kepada Prabu Lingga Buana, Gajah Mada
mengutarakan maksud kedatangannya. Pernikahan Dyah Pitaloka Citraresmi adalah
sesembahan Galuh kepada Bathara Ring
Majapahit----raja di Majapahit----Prabu Hayam Wuruk. Agar penyatuan sunda
ke wilayah Nusantara tanpa melalui pertumpahan darah.
Sontak keinginan Gajah Mada membuat harga diri
Prabu Lingga Buana terinjak-injak. Pantang bagi orang-orang Sunda untuk tunduk
sedikitpun kepada Majapahit, tantangnya. Terjadi keributan. Seluruh punggawa Galuh dan Bhayangkara sama-sama tidak bisa menahan diri.
Bubat berdarah!
Prabu Lingga Buana, ratu permaisuri dan seluruh
punggawa Galuh tewas dalam tragedi itu. Tersisa Dyah Pitaloka Citraresmi. Tak ada
prajurit Bhayangkara, termasuk Gajah Mada yang berani melukai sedikitpun calon
istri raja Majapahit itu.
Tetapi di luar dugaan Gajah Mada, Dyah Pitaloka
Citraresmi menghunus Keris Singa Barong----keris
berlekuk tiga belas, pusaka tanah Pasundan, peninggalan Prabu Jayasinga Warman,
raja Tarumanegara----lalu menusukkan ke jantungnya sendiri. Putri Sunda itu
memilih jalan bela pati (bunuh diri).
Tradisi menjaga kehormatan keluarga keraton hampir di seluruh Nusantara.
Pernikahan Prabu Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka
yang tinggal di depan mata batal!
Prabu Hayam Wuruk murka. Dia menganggap tragedi
Bubat ini adalah buah dari blunder
Gajah Mada yang ambisius. Sumpah Amukti Palapa-nya terlalu berlebihan. Hingga
mengesampingkan perasaan junjungannya sendiri.
Seorang tamu negara dari Balidwipa yang awalnya
berniat menghadiri undangan pernikahan, dikirim ke Sunda untuk menyampaikan pralaya
dan permohonan maaf kepada Hyang Bunisora Suradipati yang memutuskan tidak ikut
ke Majapahit.
Satu-satunya putra Prabu Lingga Buana yang tersisa
adalah Niskala Wastu Kencana. Adik Dyah Pitaloka Citraresmi itu tidak diajak ke Majapahit karena masih
terlalu kecil. Ketika naik tahta, dia mengeluarkan seruan 'melarang orang Sunda menikah dengan orang Jawa'. Larangan ini yang akhirnya menjadi mitos
selama berabad-abad.
Sejak saat itu, rengganglah hubungan Hayam Wuruk
dan Gajah Mada.
Sang Rakryan Mahamentri semakin dibatasi ruang
lingkup dan wewenangnya. Puncaknya adalah ketika dia ditempatkan di
Madakaripura (sekitar Tongas, Probolinggo, Jawa Timur sekarang), sebuah tanah
perdikan yang jauh dari kotaraja. Gajah Mada menganggap itu sebagai hukuman.
Dia pun mengundurkan diri dari pemerintahan Majapahit.
Sejak saat itu, Gajah Mada menghilang bak ditelan
bumi. Tak ada kabar tentang Mahapatih yang berhasil menyatukan wilayah
Nusantara mulai dari Champa di utara, Kepulauan Fiji di timur, hingga
Madagaskar di belahan barat.
Nama besarnya lenyap seiring meredupnya pamor
Majapahit, sejak tragedi pembantaian di pesanggrahan Bubat.
Kontroversi Sejarah.
Semua catatan diatas saya rujuk dari Kidung Sunda
dan Sêrat Pararaton. Tulisan kuno yang memuat kisah perang Bubat. Tidak ada
satu pun prasasti (batu tulis) yang mencantumkan tragedi ini.
Kidung Sunda diangkat (diterjemahkan) oleh
seorang Belanda C.C. Berg pada tahun 1927. Masa di mana Indonesia sedang
dikuasai bangsa Penjajah.
Sebagian orang mengatakan bahwa Perang Bubat dalam
Kidung Sunda adalah pesanan Belanda untuk memuluskan politik devide at impera. Politik adu domba.
Tujuannya adalah menciptakan konflik horisontal antara suku Sunda dan Jawa.
Satu lagi yang membuat Kidung Sunda diragukan validitas-nya
adalah penyebutan Jaka Sasuruh, seorang putra Sunda, anak dari Rakryan
Jayadarma dan Dyah Lembu Tal sebagai pendiri Majapahit.
Catatan di atas sangat berbeda dengan beberapa kitab
lain (Sêrat Pararaton dan Kakawin Negarakertagama) yang menyebutkan Dyah Lembu
Tal adalah seorang wanita, putri dari Singasari yang menikah dengan Mahisa
Campaka, lalu memiliki putra bernama Sanggramawijaya yang kelak mendirikan
Majapahit.
Sementara, Sêrat Pararaton, kitab tentang kisah raja-raja Jawa mulai era Singasari hingga Majapahit, juga diragukan kebenarannya.
Pustaka ini ditulis jauh pada masa setelah terjadi Perang Bubat. Bait terakhir
yang mencantumkan Saka Warsa 1522 atau 1600 Masehi dijadikan rujukan waktu
pembuatannya. Namun, tidak dicantumkannya nama penulis, meragukan validitas isi
kitab ini.
Selanjutnya, data pembanding yang saya gunakan
adalah Kakawin Negarakertagama, karya Mpu Prapanca. Kitab ini tidak
mencantumkan satu pun tragedi Perang Bubat dalam seluruh Pupuh-nya.
Kakawin Negarakertagama cukup valid dibanding
kedua rujukan sebelumnya. Selain mencantumkan tahun pembuatan, Saka Warsa 1287
atau 1365 Masehi, nama penulisnya, Mpu Prapanca juga terpampang. Kumpulan syair-syair ini dibuat pada waktu terjadinya Perang Bubat, sehingga keakuratan isinya lebih
mendekati kebanaran fakta sejarah (analisa saya).
Namun, baik Kidung Sunda, Serat Pararaton, maupun
Kakawin Negarakertagama adalah sama-sama karya sastra. Ditulis oleh para
pujangga. Bukan sebuah prasasti yang bisa dijadikan sebagai kronik sejarah.
Ketiganya lebih tepat dikatakan tafsir sejarah, atau bahkan opini dari penulis
di masa itu.
Bubat sendiri, nama tempat yang disebut-sebut
dalam Kidung Sunda dan Serat Pararaton masih misteri keberadaannya sampai
sekarang. Saya sudah berkali-kali ke Trowulan dan sekitarnya, namun tidak ada petunjuk
yang mengarah di mana Bubat berada.
Tempat itu benar-benar masih misterius, seperti kontroversi kebenaran
kisahnya.
Heru
Sang Mahadewa
Member
of #OneDayOnePost.
Wow
BalasHapusAku isik mumet kang
Iki yo nyoba-nyoba mbakyu
HapusSaya sangat suka cerita perang Bubat, Menjadi satu2 kerajaan yang tidak terkena invasi majapahit. hehe
BalasHapusDan mitos itu sepertinya akan semakin hilang ketika Aa mempersunting Cili ...
HapusEh ...
keceplosan
Aku nek moco perang bubat ki juga gemes karo gajah mada..
BalasHapusTokoh besar, kuat, tegas, berani, namun seorang destroyer!!!
HapusKeberaniannya mengarungi samudera untuk mendapatkan wilayah kekuasaan Majapahit yang lebih luas, tidak kalah hebat dengan tokoh-tokoh penjelajahan samudera dari bangsa Eropa semacam Colombus, Marcopolo, De Houtman, dll.
Mas heru kereeen udah 2 aja yang di posting misterinya kekekekek
BalasHapusini juga masih nerka-nerka mbak Antika :)
Hapus