Pesanggrahan Randuwatang diselimuti suasana
berkabung. Asap nampak membumbung tinggi di pelataran. Sebagian kepulannya menggulung
jasad Raden Gatotkaca yang tercabik-cabik oleh lalapan bara api attiwa-tiwa.1 Membawa putra
Bhimasena melesat meninggalkan kehidupan. Sukma kesatria Pringgodani itu
melayang di atas mega-mega, melambaikan tangan ke arah ramanda, uwak dan
paman-pamannya. Ia terbang menuju Sang Hyang Tunggal.
Petang tadi, matahari terasa tenggelam lebih cepat. Kawanan burung pemakan
bangkai menyambutnya dengan pesta pora serpihan daging manusia. Kuru Setra
masih tetap menyisakan kekelaman dari perseteruan berdarah antar sesama wangsa Bharata. Wajah bulan yang murung, seperti
enggan menggantung di cakrawala. Sejak senjakala hingga malam itu, alam bagai
ikut berbela sungkawa atas pralaya yang menimpa Pandawa.
Karna tak kuasa melihat pemandangan di
depan matanya. Di antara adik-adiknya yang mengelilingi api attiwa-tiwa, putra
sulung Kunti itu menyumpal mulut dengan telapak tangan. Menjelang senja tadi,
senjata miliknya, Kunta Wijayandanu2 telah memecahkan dada Raden Gatotkaca.
Senopati Kurawa itu mundur beberapa
langkah, lalu pelahan meninggalkan pesanggrahan Randuwatang. Ia memacu kuda
menuju bengawan Bagiratri. Sampai di tepian, dibasuhnya muka dan kedua tangan,
mencoba melakukan panglukatan----pembersihan, penebusan----terhadap dosa yang telah ia perbuat atas nama
dharma perang.
Karna berjalan mendekati sebatang pohon genitri.3 Di bawah pohon suci itu, ia duduk bersila. Angin
malam yang membawa aroma anyir darah dan bau bangkai dari Kuru Setra menyapu pepohonan
yang tumbuh di sepanjang aliran bengawan Bagiratri. Membuat daun-daun yang
sudah renta berguguran satu per satu. Namun, Karna tidak terusik sedikitpun
oleh gemerisiknya. Adipati di Awangga itu justru kian larut ke dalam keheningan yang menghanyutkan batinnya. Ia mengambil posisi duduk padmasana.4
Tangannya membentuk sikap amusthikarana.5 Sejenak kemudian,
seluruh indera dan pikirannya telah menyatu ke dalam alam suwung.6
Dalam kehampaan yang benar-benar kosong
itu, Karna melihat dirinya sendiri sedang berdiri tak jauh dari tempat ia melakukan
samadhi.7
“Apa yang telah engkau lakukan, Karna?”
“Siapa engkau?”
“Aku adalah engkau. Engkau adalah aku.”
“Tidak! Hanya ada satu Karna di dunia.
Katakan, siapa sebenarnya engkau?”
“Aku adalah nafsumu. Watak yang kau
umbar demi membela sifat angkara murka Doryudana!”
“Jangan dengarkan dia, Karna!”
Seseorang menyahut dari arah lain.
Ketika menoleh, Karna melihat sosok yang juga dirinya sendiri berdiri menantang
pula.
“Apa yang telah kaulakukan adalah
bentuk dharma seorang kesatria. Di Kuru Setra, yang ada hanyalah dibunuh atau
membunuh. Sudah menjadi garis dewata, hidup Gatotkaca akan berakhir di
tanganmu, Karna!”
“Engkau bisa merubahnya dengan
mendharmakan hidup untuk ibu dan adik-adikmu. Seharusnya engkau tidak berada di
bawah panji-panji Kurawa. Seharusnya engkau berperang sambil mengibarkan umbul-umbul
Pandawa. Tetapi, yang ada justru cinta
terhadap kedudukan yang diberikan Duryodana telah membuatmu sanggup membunuh anak
keturunan Pandawa!”
Karna Basusena membisu. Ia memejamkan
mata, sambil menutup kedua telinganya dari suara sahut menyahut dua sosok yang
mirip dengan perwujudannya.
“Apa yang harus dibela dari Pandawa?
Justru Duryodana yang telah memberikan kedudukan dan kemuliaan kepadamu, Karna.
Tidakkah engkau ingat, bagaimana dulu perlakuan Kunti yang tega membuatmu
nyaris celaka?”
Karna kembali terhenyak. Pikirannya
melayang ke peristiwa saat ia bertatap empat mata dengan Kunti. Janda dari
Pandudewanata itu mengaku bahwa sejatinya Karna adalah anak yang keluar dari
rahimnya.
-o0o-
Dahulu,
menjelang pernikahan dengan Pandudewanata, Pritha----Kunti muda----sempat
mendapat ajaran mantra Aji Dipamanunggal dari Begawan Dwurasa. Jika doa itu
dilantunlangitkan, maka akan datang kepadanya sosok dewata yang ia sebutkan
dalam mantra.
Nahas,
suatu malam ketika sedang tergolek di atas balai-balai biliknya, Pritha tak
mampu mengontrol gejolak keingintahuan terhadap doa puja yang diajarkan sang
guru. Dirapalkanlah Aji Dipamanunggal. Dalam sekejap, berdiri di hadapannya
seorang dewata yang mengaku sebagai penguasa matahari. Sang Hyang Bathara
Surya. Tak mampu menahan ketertarikannya kepada kecantikan Kunti, maka
tertanamlah benih sang dewata ke dalam rahim putri penguasa negeri Boja.
Merasa
kehamilan itu adalah aib, maka Begawan Dwurasa mengambil janin yang dilahirkan
Pritha melewati lubang telinga atas kewaskitaan Bathara Surya. Janin yang
kemudian dilarung ke bengawan Gangga. Janin yang pada akhirnya ditemukan
seorang kusir kereta dan dibesarkan di wilayah kadipaten Awangga.
Pengembaraan
mencari guru spiritual, akhirnya membawa Karna kepada perkenalan dengan
Duryodana, pangeran dari Hastina.
Kini,
janin malang yang dulu terbuang itu telah tumbuh menjadi seorang senopati
perang Kurawa.
-o0o-
Dua sosok yang berdiri di hadapan Karna
tiba-tiba lenyap. Senopati Kurawa itu menyipitkan mata. Pandangannya mencoba
menangkap perawakan seorang lelaki yang berjalan dari sudut lain. Kian lama,
jaraknya kian dekat dengan tempat ia bersamadhi. Segera Karna dapat mengenali wajah
lelaki itu.
“Yayi Arjuna, kaukah itu?”
Sosok yang rupanya adalah Arjuna, tidak
menjawab. Karna mencoba mengusap-usap kedua kelopak matanya. Memicingkan
pandangan. Meyakinkan diri bahwa lelaki di hadapannya adalah Arjuna. Adiknya.
Tak ada sepatah katapun keluar dari
mulut Arjuna. Kesatria Pandawa itu justru menatap tajam sambil merentangkan
busur lebar-lebar. Sebatang anak panah bermata bulan sabit juga dibidikkan ke
arah Karna. Panah Pasoepati. Beberapa kedip mata kemudian, anak panah pemberian
Bhatara Indra itu melesat. Tepat mengenai dada Karna hingga pecah. Adipati Awangga
tersungkur. Darah membasahi kain wastra8
yang menyampir di pundaknya.
Dalam pandangan mata yang ditaburi
ratusan kunang-kunang, Karna masih sempat melihat Arjuna menjatuhkan busur,
lalu menitikkan air mata. Di sudut lain, Kunti menjerit histeris
memanggil-manggil namanya.
-o0o-
“Rupanya engkau ada di sini, menantuku.”
“Ngger9
Karna, bangunlah!”
Sebuah guncangan di punggung, membuat
Karna tersadar. Adipati Awangga itu bangun dari alam suwung. Ia mendongakkan
kepala. Mencoba mengenali kembali alam kasunyatan10. Nampak mertuanya, Prabu
Salyapati, telah berdiri di sampingnya.
“Bersiaplah, ngger. Arjuna telah
menunggumu di Kuru Setra!”
Tubuh Karna menggigil. Ia bergidik
mendengar nama Arjuna kembali disebut. Dalam hati ia berkata, ”Aku titip yayi
Surtikanti, ramanda prabu. Hari ini, hidupku
akan berakhir di Kuru Setra.”
(Heru
Sang Mahadewa)
Member
of One Day One Post
Tantangan
menulis cerpen dengan menggunakan kata matahari, celaka, hidup, cinta dan
berdarah.
Catatan:
1.Upacara
penghormatan/pembakaran jenazah.
2.Nama
senjata milik Karna Basusena, diperoleh dengan merebutnya dari Bathara Narada.
3.Elaeocarpus serratus, buahnya disebut juga dengan nama “Air Mata Dewa
Syiwa”.
4.Posisi
duduk bersila seperti bunga teratai.
5.Sikap
kedua tangan membentuk kerucut dengan tangan kiri menggenggam tangan kanan,
kedua ujung ibujari dan telunjuk tangan kanan saling bertemu.
6.Hampa,
kosong.
7.Meditasi,
tapa brata.
8.Kain penutup badan yang membelit pinggang hingga lutut, sebagian disampirkan pundak.
8.Kain penutup badan yang membelit pinggang hingga lutut, sebagian disampirkan pundak.
9.Kependekan
dari Angger yang berarti Nak (bahasa Jawa).
10.Kenyataan, berasal dari kata dasar nyata.
10.Kenyataan, berasal dari kata dasar nyata.
Tuh kan. Mantap sangat. Ajari saya, Guru...
BalasHapusEh... Tantangannya bukannya pov 1 mas?
BalasHapusBhuahaha ... iya POV 1
BalasHapusSaya nulis ya asal nulis aja, enggak tahu kalau tantangannya POV 1.
Aseeek ditunggu tulisan barunya...
HapusMantap Bang....
BalasHapusTerima kasih, pak Bari.
HapusSaya masih harus banyak belajar.
Jadi, Karna ini yang membunuh pandawa?
BalasHapus