This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sabtu, 04 Maret 2017

BELAJAR DARI PAK SARNO SANG PEJUANG



Foto dokumen pribadi


Sore itu, mendung bergelayut di atas langit kota tua Majapahit (baca Mojokerto, Jawa Timur). Sang Bagaskara enggan menampakkan diri, meski sebenarnya petang belum datang. Sinarnya lenyap oleh gumpalan awan pekat yang bersiap-siap menjatuhkan jutaan kubik tirta cakarawala.

Sejam yang lalu, saya baru saja terbebas dari kemacetan yang mencengkeram jalur Surabaya – Mojokerto, mulai bundaran Waru hingga pertigaan Kletek, Sepanjang, Sidoarjo. Perjalanan pulang kampung kali ini saya tempuh bersepeda motor seorang diri.

Sampai di pintu keluar tol baru Sumo (Surabaya – Mojokerto) yang diresmikan Presiden RI Joko Widodo tahun lalu, saya berhenti sejenak. Hayalan saya terbang ke masa sekitar sepuluh abad silam.

Dari posisi berhenti, saya menengok ke arah kanan, tepat di bawah jembatan tol Sumo. Bengawan Mas terpampang indah dengan arusnya yang deras. Sungai yang menjadi pecahan bengawan Brantas itu terus mengalir ke arah timur laut, hingga jauh ke Surabaya sana.

Seratus meter dari tempat saya berhenti, adalah titik dimana dahulu terdapat sebuah pelabuhan kuno. Canggu. Perlahan saya mendekat ke sana. Dengan kamera ponsel yang sangat minim resolusi, bekas dermaga bersejarah itu saya abadikan.

Pelabuhan Canggu sekarang - foto dokumen pribadi

Gerimis perlahan turun. Tetesannya terasa menimpa lengan dan wajah. Perjalanan pun saya lanjutkan, berpacu dengan pekatnya awan yang terlihat tak lama lagi akan  runtuh. Beruntung, hingga setengah jam kemudian, hujan tak kunjung tiba. Hanya rintik-rintik kecil yang menimpa saya.

Ketika sampai di pertigaan Gedeg, sekitar dua ratus meter di depan saya, samar-samar terlihat seorang lelaki paruh baya melambai-lambaikan tangan. Dia berusaha menghentikan setiap kendaraan yang lewat. Maksudnya jelas, ingin menumpang. Nahas, tak ada satupun sepeda motor yang mau berhenti. Apalagi mobil, menengok pun enggan.

Ah, mungkin para pengendara memang tidak melihat lambaian tangan lelaki paruh baya itu, pikir saya. Buru-buru menepis prasangka buruk yang tadi sempat terlintas di benak.

Pak, badhé ngilèn punapa-----mau ke arah barat kah, pak?” Tanya saya ketika menghentikan laju sepeda motor, tepat di hadapan lelaki paruh baya itu.

Injih masé-----iya mas,” jawab si bapak dengan mimik sedikit memelas.

Tiba-tiba ada perasaan trenyuh melihatnya. Tanpa berpikir panjang, saya melepas ransel dari punggung, lalu saya pindahkan ke bawah jok depan.

Monggo sarêng, pak. Kulo njih badhé ngilèn niki-----mari bersama, pak. Saya juga ke arah barat ini,” lanjut saya.

Sedikit malu-malu, si bapak langsung naik ke boncengan motor butut saya. Dua ratus meter di depan kami adalah sebuah pos penjagaan Polisi Sektor Gedeg. Saya baru ingat bahwa tidak ada helm cadangan hari itu.

Saya geber laju sepeda motor dengan kecepatan lebih tinggi dari biasanya. Boleh dibilang ngebut. Tentu sebelumnya saya meminta maaf kepada si bapak sambil menjelaskan keberadaan pos polisi di depan kami.

Beruntung, tak ada satu pun petugas polisi yang melihat penumpang tanpa helm di boncengan saya. Mungkin berkah dari si bapak yang mengaku sudah berdiri di pinggir jalanan Gedeg hampir satu jam, namun tak ada pengendara yang mau menghampirinya.

Saking pundi tho panjêngêngan niki wau-----Darimana bapak tadi?” tanya saya memulai percakapan, berusaha mencairkan suasana setelah sejenak beradu nyali melewati pos penjagaan polisi tadi.

“Suroboyo, mas,” jawab si bapak.

Botên wontên ojek saking mriki-----tidak ada ojek dari sini,” lanjutnya. Pertigaan Gedeg, tempat si bapak berdiri memang bukan titik strategis untuk dijadikan pangkalan ojek. Selain lokasinya tidak menjadi titik perpecahan jalur utama, setahu saya jarang ada penumpang disana.

Lha badhé mandhap pundi-----mau turun mana?”

“Keboan, mas.”

Nyambut dathêng Suroboyo punapa----kerja di Surabaya kah?”

Injih, mas. Sabtu mêkatên nêmbé manthuk dusun-----iya, mas. Setiap sabtu begini baru pulang ke desa,” pungkasnya.

Sepanjang perjalanan sore itu, si bapak juga bercerita bahwa sudah puluhan tahun bekerja dengan membuka sebuah bengkel tambal ban di Surabaya. Tentunya demi menafkahi istri dan anak-anaknya yang ditinggal di desa. Pada akhir pekan, dengan penghasilan yang tidak menentu itu, beliau akan menunjukkan bukti sebagai seorang ksatria. Bukti seorang suami yang berjuang di perantauan demi mengemban tanggung jawab mulia. Memberi penghidupan kepada orang-orang tercinta.

Kulo njih nguli dathêng Suroboyo, pak-----saya juga bekerja sebagai buruh (pabrik) di Surabaya, pak,” sela saya.

Sing atos-atos, mas. Mpun tumut néka-néka. Padhos rêjêki ingkang halal-----hati-hati, mas. Jangan ikut-ikutan yang aneh-aneh. Carilah rejeki dengan jalan halal,” tutur si bapak.

Pangèstu panjênêngan, pak----mohon doa restunya, pak,” jawab saya.

Diam-diam, dalam hati saya kagum dengan lelaki paruh baya yang saya ojekin sore itu. Betapa berat perjuangannya sebagai seorang kepala keluarga, merantau ke kota buaya dengan membuka usaha sebuah bengkel, tetapi masih bisa memberikan pencerahan kepada saya.

Sampun, mriki mawon, mas-----sudah, turun sini saja mas.” Si bapak menepuk-nepuk pundak saya ketika kami sampai di pertigaan Keboan, Jombang, Jawa Timur.

Lha dalêm panjênêngan pundi-----Lha rumah bapak mana?” jawab saya sembari bertanya.

“Gunung Pucangan,”

Têbih sangêt-----jauh amat?”

Botên punapa-punapa, mriki mawon. Sakmangké wontên ingkang muruki-----tidak apa-apa, turun disini saja. Nanti ada yang menjemput saya.”

Saya mengeluarkan ponsel, hendak meminta selfie bersama lelaki paruh baya itu. Sayang, dengan ramahnya beliau menolak. Saya pun tidak etis kalau memaksa.

Setelah berjabat tangan, penumpang ojek saya itu melambaikan tangan, lalu menyeberang dengan langkah tegar. Menuju arah gunung Pucangan. Saat itulah saya mengabadikan moment kenangan penuh pelajaran.

Pak, asma panjênêngan sintên-----nama bapak siapa?” teriak saya dari kejauhan.

Lelaki paruh baya itu menoleh, lalu tersenyum ke arah saya, “Sarno!” jawabnya singkat.

Saya berganti melambaikan tangan ke arahnya, “Sarno sang pejuang!” bisik saya dalam hati.


~ Tancep Kayon ~


Heru Sang Mahadewa
Member of #OneDayOnePost

Jumat, 03 Maret 2017

CANGGU, PELABUHAN KUNO DI MASA LAMPAU


Pelabuhan Canggu sekarang - foto dokumen ribadi


Majapahit dikenal sebagai negeri yang memiliki armada perang laut terbesar di Asia Tenggara. Kekuatan pasukannya bertumpu pada kepiawaian memanfaatkan perairan Nusantara, baik bengawan (sungai kuno) maupun lautan.

Tak mengherankan, jika di masa kejayaan Majapahit, terdapat pelabuhan-pelabuhan besar di berbagai kota. Beberapa diantaranya adalah pelabuhan Kambang Putih (Tuban, Jawa Timur sekarang),  pelabuhan Watu Galuh (Megaluh, Jombang, Jawa Timur sekarang), pelabuhan Ujung Galuh (Kali Mas, Surabaya, Jawa Timur sekarang), pelabuhan Bangèr (Bangil, Pasuruan, Jawa Timur sekarang) dan pelabuhan Canggu.

Nama terakhir, Canggu, merupakan pelabuhan dalam (pelabuhan sungai) yang terbesar di masa Majapahit. Letaknya yang berada di pusat kotaraja menjadikannya sebagai pangkalan strategis bagi armada laut kerajaan yang didirikan oleh Sanggramawijaya (Raden Wijaya).

Selain dijadikan pangkalan militer angkatan laut Majapahit, pelabuhan Canggu juga menjadi titik pertemuan  para pedagang dari negeri Atas Angin (sebutan untuk bangsa asing pada abad XI di tanah Jawa).

Saudagar-saudagar dari Champa, Tiongkok dan Arab yang menjual barang dagangan dari dan ke Jiao Tung/Paguhan (Pasuruan, Jawa Timur sekarang), Bangèr, Ujung Galuh, Tumapèl (Malang sekarang), Daha (Kediri sekarang) senantiasa singgah disana.

Konon, di masa itu sudah banyak berdiri penginapan-penginapan di sana. Bahkan, Canggu, selain menjadi pelabuhan besar, juga dikenal sebagai salah satu tempat rumah bordir (lokalisasi/pusat prostitusi) kuno.

Di kota pelabuhan inilah, Bhré Paguhan, tewas dibunuh secara tragis ketika berpesta di sebuah rumah bordir. Pelakunya adalah Arya Bangah dan Arya Gajah Para. Dua senopati kinasih Bhré Kertabumi yang ketika itu belum naik tahta Majapahit, masih menjadi Rakai Kanuruhan di Kêling (Pare, Kediri, Jawa Timur sekarang).

Ketika itu, Majapahit memang telah dilanda perang saudara semenjak meletus perang Paregreg.

Berbeda dengan pelabuhan kuno Watu Galuh di Megaluh, Jombang, yang masih tetap digunakan sebagai penyeberangan penduduk setempat, kini Canggu telah sirna tak berbekas. Orang-orang menyebutnya sebagai dusun Pelabuhan. Masuk wilayah Desa Mlirip, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.

Dari jalan raya Surabaya – Mojokerto, bekas lokasi pelabuhan Canggu sangat mudah di akses. Berada pada titik pecahan bengawan Brantas menjadi dua aliran. Ke arah utara menjadi bengawan Mas yang bermuara di Ujung Galuh (Kali Mas Surabaya), dan lurus ke arah timur menjadi bengawan Porong, bermuara di Bangèr (Bangil, Pasuruan, Jawa Timur).

Heru Sang Mahadewa
Member of #OnedayOnePost

Kamis, 02 Maret 2017

KRIMINALISASI PEMUKA AGAMA DI MASA SILAM



twitter.com


Sepuluh abad silam, peristiwa perseteruan antara penguasa dan tokoh spiritualis/brahmana (Ulama dalam Islam)/pujangga pernah terjadi di jaman kerajaan Panjalu (Kadhri/Kediri).

Sinuwun Prabu Sri Aji Jayabhaya belum bisa sepenuhnya memadamkan api cemburu kepada Mpu Sêdah, seorang pujangga dari kasta brahmana yang di masa mudanya sebelum menjadi spiritualis pernah menjalin hubungan kekasih dengan ratu Dewi Sara, ketika wanita berparas jelita itu belum dipinang sang penguasa Panjalu.

Diperintahkannya sang pujangga dari kasta brahmana itu untuk menulis sebuah kitab. Berisi tentang pertumpahan darah sesama wangsa Bharata, antara Pandawa dan Kurawa. Kisah ini sebagai pengejawantahan perang saudara antara Panjalu dan Jenggala. Dua negeri yang sebetulnya adalah sama-sama anak dari mendiang Prabu Erlangga (Airlangga).

Sinuwun Prabu Sri Aji Jayabhaya-lah raja yang berhasil menyatukan kembali kedua negeri itu. Peristiwa ini tertulis pada prasasti Hantang. Panjalu Jatayu yang berarti Kediri menang. Sejak itulah Kahuripan atau Jenggala kembali menjadi bagian tak terpisahkan dari Panjalu.

Mpu Sèdah diwajibkan menuangkan seluruh cipta, rasa dan jiwanya dalam mengguratkan tinta ke dalam kakawin yang diminta Sinuwun Prabu Sri Aji Jayabhaya.

Ketika tulisannya sampai pada kisah percintaan malam terakhir antara Salya (Prabu Salyapati) dan Dewi Setyowati, konon Mpu Sêdah tidak mampu melanjutkan dan menyerah. Sebagai seorang brahmana, dia tak mampu menuangkan cipta, rasa dan jiwa dalam adegan beradu asmara.

Saat itulah, Sinuwun Prabu Sri Aji Jayabhaya memerintahkan ratu Dewi Sara agar menjadi narasumber bagi Mpu Sêdah.

Skenario sang pencemburu berhasil!

Terjadi dialog empat mata antara Dewi Sara dan Mpu Sêdah. Sang pujangga kasta brahmana larut dalam cipta, rasa dan jiwa dalam menggali data adegan beradu asmara dari permaisuri Panjalu.

Peristiwa ini menyeret Mpu Sêdah sebagai terdakwa karena dituduh melakukan tindakan amoral kepada simbol kebesaran Panjalu.

Banyak pro dan kontra atas kasus yang menjerat Mpu Sêdah. Sebagian pihak mendukung agar segera dijatuhkan hukuman berat. Sebagian lagi menganggap peristiwa ini adalah kriminalisasi. Sengaja dirancang seseorang yang dekat dengan penguasa Panjalu untuk melampiaskan dendam api cemburu sang raja.

Meski menuai banyak kontroversi terhadap kisah ini, Mpu Sêdah akhirnya menghembuskan napas terakhir di tiang hukuman jaksa negara Panjalu. Penulisan terhadap kitab yang belum selesai diteruskan oleh Mpu Panuluh.

Kelak, kita mengenal kitab kuno itu sebagai KAKAWIN BHARATA YUDHA.

Hingga kini, masih banyak tafsir yang berbeda terhadap peristiwa Mpu Sêdah. Entah, tragedi itu adalah kesalahan sang pujangga dari kasta brahmana atau hanya sebuah kriminalisasi.

-o0o-

Sejarah bisa terulang.

Negeri ini sedang gonjang-ganjing sekarang. Berbagai kasus sedang disangkakan kepada beberapa tokoh pemuka agama (Ulama). Mulai kasus penodaan dasar negara, kasus pencucian uang, hingga kasus chat dengan motiv mengumbar syahwat.

Seperti halnya peristiwa Mpu Sêdah, banyak pula pihak yang pro dan kontra dalam menyikapinya. Sebagian berpendapat agar proses hukum dipercepat, sebagian meminta agar penyidikan segera dihentikan.

Stop kriminalisasi ulama! Seru mereka.

Terlepas dari benar atau tidaknya sangkaan Polisi, yang tahu kebenarannya tentu beliau-beliau para Ulama itu, juga Gusti Ingkang Makarya Jagad. Allah SWT.

Saya hanya ingin mengatakan: Terkadang sejarah itu seperti sebuah siklus. Bisa terulang kembali pada titik waktu tertentu.

Tan Hana Dharma Mangrwa (tiada kebenaran yang mendua).


Heru Sang Mahadewa
Member of #OneDayOnePost

Rabu, 01 Maret 2017

WATU GALUH, KOTA BESAR DI MASA LAMPAU

Dermaga Watu Galuh sekarang - dokumen pribadi
 

Berabad-abad lalu, nama Watu Galuh telah dikenal dalam peradaban masyarakat Jawa Kuno. Tempat ini merupakan sebuah kota besar di masa silam. 

Watu Galuh biasa digunakan transit Jung (kapal besar) dan Balandongan (kapal kecil) para pedagang negeri Atas Angin----sebutan untuk bangsa asing----setelah singgah di Canggu Majapahit dan hendak melanjutkan perjalanan ke Bandar Alim (Demangan, Tanjunganom, Nganjuk) dan Daha (Kediri).Terletak di tepi bengawan Brantas.

Di Watu Galuh ini, pasukan Sriwijaya dari divisi/pangkalan tentara Jambi bermarkas. Mereka melakukan pengejaran terhadap Rakryan I Hino Mpu Sindok dan Rara Paramèswari Sri Wardhani yang melarikan diri dari Mataram Kuno dan bersembunyi di lembah gunung Wilis, untuk menjaga kelangsungan trah raja Dyah Wawa.

Dari Watu Galuh, Sriwijaya meneruskan pengejaran dengan menyusuri bengawan Brantas dan Kali Widas. Selanjutnya, tentara dari divisi/pangkalan Jambi membuat markas baru di seberang dermaga Bandar Alim. Itu sebabnya, kini dikenal dengan nama Desa Jambi. Berada di wilayah Kec. Baron, Kab. Nganjuk.

Nahas, pasukan dari Melayu/Swarna Dwipa itu justru dibantai secara tragis oleh Rakryan I Hino Mpu Sindok yang dibantu ribuan penduduk pribumi Jawa Dwipa saat terjadi perang Gejag di kaki gunung Wilis. Tempat pembantaian tentara Sriwijaya kini dinamakan Desa Gejagan, Kec. Loceret, Kab. Nganjuk.

Mpu Sindok pun berhasil meraih kemenangan gemilang, lalu memproklamirkan negeri baru yang berdaulat dengan nama Medang Kamulan. Pertama kali kerajaan ini berpusat di Wawtan Mas, lereng gunung Wilis antara Nganjuk dan Madiun sekarang.

Medang Kamulan merupakan penerus dari trah raja Dyah Wawa, penguasa Mataram Hindu periode Jawa Tengah. Peristiwa ini sekaligus menjadi tonggak berdirinya Mataram Kuno era Jawa Timur.

Mpu Sindok mengukuhkan dirinya sebagai pendiri dinasti Isana. Beliau memakai abhiseka----gelar----Sri Maharaja Rakai Hino Sri Isana Dharmatunggadewa.

Mengingat letak geografis yang kurang ideal bagi sebuah kotaraja dan pusat pemerintahan, karena berda di lereng perbukitan dan gunung, Mpu Sindok akhirnya memindahkan ibu kota ke daerah Watu Galuh.

Hingga kini, pelabuhan kuno itu masih digunakan meski hanya oleh kapal-kapal kecil yang menyeberangi Bengawan Brantas. Watu Galuh masih menjadi jalur trnasportasi air yang seakan-akan tiada pernah lekang oleh jaman.

Kini, orang-orang menyebutnya sebagai tambangan/dermaga Megaluh. Berada di Kec. Megaluh, Kab. Jombang, Jawa Timur.


Heru Sang Mahadewa
Member of #OneDayOnePost

Dermaga Watu Galuh sekarang - dokumen pribadi

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *