Foto dokumen pribadi |
Sore
itu, mendung bergelayut di atas langit kota tua Majapahit (baca Mojokerto, Jawa
Timur). Sang Bagaskara enggan menampakkan diri, meski sebenarnya petang belum
datang. Sinarnya lenyap oleh gumpalan awan pekat yang bersiap-siap menjatuhkan
jutaan kubik tirta cakarawala.
Sejam
yang lalu, saya baru saja terbebas dari kemacetan yang mencengkeram jalur
Surabaya – Mojokerto, mulai bundaran Waru hingga pertigaan Kletek, Sepanjang,
Sidoarjo. Perjalanan pulang kampung kali ini saya tempuh bersepeda motor
seorang diri.
Sampai
di pintu keluar tol baru Sumo (Surabaya – Mojokerto) yang diresmikan Presiden
RI Joko Widodo tahun lalu, saya berhenti sejenak. Hayalan saya terbang ke masa
sekitar sepuluh abad silam.
Dari
posisi berhenti, saya menengok ke arah kanan, tepat di bawah jembatan tol Sumo.
Bengawan Mas terpampang indah dengan arusnya yang deras. Sungai yang menjadi
pecahan bengawan Brantas itu terus mengalir ke arah timur laut, hingga jauh ke
Surabaya sana.
Seratus
meter dari tempat saya berhenti, adalah titik dimana dahulu terdapat sebuah
pelabuhan kuno. Canggu. Perlahan saya mendekat ke sana. Dengan kamera ponsel
yang sangat minim resolusi, bekas dermaga bersejarah itu saya abadikan.
Pelabuhan Canggu sekarang - foto dokumen pribadi |
Gerimis
perlahan turun. Tetesannya terasa menimpa lengan dan wajah. Perjalanan pun saya
lanjutkan, berpacu dengan pekatnya awan yang terlihat tak lama lagi akan runtuh. Beruntung, hingga setengah jam
kemudian, hujan tak kunjung tiba. Hanya rintik-rintik kecil yang menimpa saya.
Ketika
sampai di pertigaan Gedeg, sekitar dua ratus meter di depan saya, samar-samar terlihat
seorang lelaki paruh baya melambai-lambaikan tangan. Dia berusaha menghentikan
setiap kendaraan yang lewat. Maksudnya jelas, ingin menumpang. Nahas, tak ada
satupun sepeda motor yang mau berhenti. Apalagi mobil, menengok pun enggan.
Ah,
mungkin para pengendara memang tidak melihat lambaian tangan lelaki paruh baya
itu, pikir saya. Buru-buru menepis prasangka buruk yang tadi sempat terlintas
di benak.
“Pak, badhé ngilèn punapa-----mau ke arah
barat kah, pak?” Tanya saya ketika menghentikan laju sepeda motor, tepat di
hadapan lelaki paruh baya itu.
“Injih masé-----iya mas,” jawab si bapak
dengan mimik sedikit memelas.
Tiba-tiba
ada perasaan trenyuh melihatnya. Tanpa berpikir panjang, saya melepas ransel
dari punggung, lalu saya pindahkan ke bawah jok depan.
“Monggo sarêng, pak. Kulo njih badhé ngilèn
niki-----mari bersama, pak. Saya juga ke arah barat ini,” lanjut saya.
Sedikit
malu-malu, si bapak langsung naik ke boncengan motor butut saya. Dua ratus
meter di depan kami adalah sebuah pos penjagaan Polisi Sektor Gedeg. Saya baru
ingat bahwa tidak ada helm cadangan hari itu.
Saya
geber laju sepeda motor dengan kecepatan lebih tinggi dari biasanya. Boleh
dibilang ngebut. Tentu sebelumnya saya meminta maaf kepada si bapak sambil
menjelaskan keberadaan pos polisi di depan kami.
Beruntung,
tak ada satu pun petugas polisi yang melihat penumpang tanpa helm di boncengan saya.
Mungkin berkah dari si bapak yang mengaku sudah berdiri di pinggir jalanan
Gedeg hampir satu jam, namun tak ada pengendara yang mau menghampirinya.
“Saking pundi tho panjêngêngan niki wau-----Darimana
bapak tadi?” tanya saya memulai percakapan, berusaha mencairkan suasana setelah
sejenak beradu nyali melewati pos penjagaan polisi tadi.
“Suroboyo,
mas,” jawab si bapak.
“Botên wontên ojek saking mriki-----tidak
ada ojek dari sini,” lanjutnya. Pertigaan Gedeg, tempat si bapak berdiri memang
bukan titik strategis untuk dijadikan pangkalan ojek. Selain lokasinya tidak
menjadi titik perpecahan jalur utama, setahu saya jarang ada penumpang disana.
“Lha badhé mandhap pundi-----mau turun mana?”
“Keboan,
mas.”
“Nyambut dathêng Suroboyo punapa----kerja
di Surabaya kah?”
“Injih, mas. Sabtu mêkatên nêmbé manthuk
dusun-----iya, mas. Setiap sabtu begini baru pulang ke desa,” pungkasnya.
Sepanjang
perjalanan sore itu, si bapak juga bercerita bahwa sudah puluhan tahun bekerja
dengan membuka sebuah bengkel tambal ban di Surabaya. Tentunya demi menafkahi
istri dan anak-anaknya yang ditinggal di desa. Pada akhir pekan, dengan
penghasilan yang tidak menentu itu, beliau akan menunjukkan bukti sebagai
seorang ksatria. Bukti seorang suami yang berjuang di perantauan demi mengemban
tanggung jawab mulia. Memberi penghidupan kepada orang-orang tercinta.
“Kulo njih nguli dathêng Suroboyo, pak-----saya
juga bekerja sebagai buruh (pabrik) di Surabaya, pak,” sela saya.
“Sing atos-atos, mas. Mpun tumut néka-néka.
Padhos rêjêki ingkang halal-----hati-hati, mas. Jangan ikut-ikutan yang
aneh-aneh. Carilah rejeki dengan jalan halal,” tutur si bapak.
“Pangèstu panjênêngan, pak----mohon doa
restunya, pak,” jawab saya.
Diam-diam,
dalam hati saya kagum dengan lelaki paruh baya yang saya ojekin sore itu. Betapa
berat perjuangannya sebagai seorang kepala keluarga, merantau ke kota buaya
dengan membuka usaha sebuah bengkel, tetapi masih bisa memberikan pencerahan
kepada saya.
“Sampun, mriki mawon, mas-----sudah,
turun sini saja mas.” Si bapak menepuk-nepuk pundak saya ketika kami sampai di
pertigaan Keboan, Jombang, Jawa Timur.
“Lha dalêm panjênêngan pundi-----Lha
rumah bapak mana?” jawab saya sembari bertanya.
“Gunung
Pucangan,”
“Têbih sangêt-----jauh amat?”
“Botên punapa-punapa, mriki mawon. Sakmangké wontên ingkang muruki-----tidak apa-apa, turun disini saja. Nanti ada yang
menjemput saya.”
Saya
mengeluarkan ponsel, hendak meminta selfie bersama lelaki paruh baya itu.
Sayang, dengan ramahnya beliau menolak. Saya pun tidak etis kalau memaksa.
Setelah
berjabat tangan, penumpang ojek saya itu melambaikan tangan, lalu menyeberang
dengan langkah tegar. Menuju arah gunung Pucangan. Saat itulah saya
mengabadikan moment kenangan penuh pelajaran.
“Pak, asma panjênêngan sintên-----nama
bapak siapa?” teriak saya dari kejauhan.
Lelaki
paruh baya itu menoleh, lalu tersenyum ke arah saya, “Sarno!” jawabnya singkat.
Saya
berganti melambaikan tangan ke arahnya, “Sarno sang pejuang!” bisik saya dalam
hati.
~ Tancep Kayon ~
Heru Sang Mahadewa
Member
of #OneDayOnePost
Salut perjuangan pak Sarno. Juga untuk kebaikan mas Heru yg jadi relawan Ojek. Semoga Allah memberkahi pak Sarno dan Mas Heru.
BalasHapus#wah ini sekaligus tantangan dari mbak denik... hehehe...
Dari orang-orang seperti pak Sarno, banyak pelajaran yang dapat dipetik.
BalasHapus