twitter.com |
Sepuluh abad silam, peristiwa perseteruan antara
penguasa dan tokoh spiritualis/brahmana (Ulama dalam Islam)/pujangga pernah
terjadi di jaman kerajaan Panjalu (Kadhri/Kediri).
Sinuwun Prabu Sri Aji Jayabhaya belum bisa sepenuhnya
memadamkan api cemburu kepada Mpu Sêdah, seorang pujangga dari kasta brahmana
yang di masa mudanya sebelum menjadi spiritualis pernah menjalin hubungan kekasih
dengan ratu Dewi Sara, ketika wanita berparas jelita itu belum dipinang sang
penguasa Panjalu.
Diperintahkannya sang pujangga dari kasta brahmana
itu untuk menulis sebuah kitab. Berisi tentang pertumpahan darah sesama wangsa
Bharata, antara Pandawa dan Kurawa. Kisah ini sebagai pengejawantahan perang
saudara antara Panjalu dan Jenggala. Dua negeri yang sebetulnya adalah
sama-sama anak dari mendiang Prabu Erlangga (Airlangga).
Sinuwun Prabu Sri Aji Jayabhaya-lah raja yang berhasil menyatukan kembali
kedua negeri itu. Peristiwa ini tertulis pada prasasti Hantang. Panjalu Jatayu yang berarti Kediri
menang. Sejak itulah Kahuripan atau Jenggala kembali menjadi bagian tak terpisahkan dari
Panjalu.
Mpu Sèdah diwajibkan menuangkan seluruh cipta, rasa
dan jiwanya dalam mengguratkan tinta ke dalam kakawin yang diminta Sinuwun Prabu Sri Aji
Jayabhaya.
Ketika tulisannya sampai pada kisah percintaan
malam terakhir antara Salya (Prabu Salyapati) dan Dewi Setyowati, konon Mpu Sêdah tidak
mampu melanjutkan dan menyerah. Sebagai seorang brahmana, dia tak mampu
menuangkan cipta, rasa dan jiwa dalam adegan beradu asmara.
Saat itulah, Sinuwun Prabu Sri Aji Jayabhaya memerintahkan ratu Dewi Sara
agar menjadi narasumber bagi Mpu Sêdah.
Skenario sang pencemburu berhasil!
Terjadi dialog empat mata antara Dewi Sara dan Mpu
Sêdah. Sang pujangga kasta brahmana larut dalam cipta, rasa dan jiwa dalam menggali
data adegan beradu asmara dari permaisuri Panjalu.
Peristiwa ini menyeret Mpu Sêdah sebagai terdakwa
karena dituduh melakukan tindakan amoral kepada simbol kebesaran Panjalu.
Banyak pro dan kontra atas kasus yang menjerat Mpu
Sêdah. Sebagian pihak mendukung agar segera dijatuhkan hukuman berat. Sebagian
lagi menganggap peristiwa ini adalah kriminalisasi. Sengaja dirancang seseorang
yang dekat dengan penguasa Panjalu untuk melampiaskan dendam api cemburu sang
raja.
Meski menuai banyak kontroversi terhadap kisah ini,
Mpu Sêdah akhirnya menghembuskan napas terakhir di tiang hukuman jaksa negara
Panjalu. Penulisan terhadap kitab yang belum selesai diteruskan oleh Mpu
Panuluh.
Kelak, kita mengenal kitab kuno itu sebagai KAKAWIN
BHARATA YUDHA.
Hingga kini, masih banyak tafsir yang berbeda
terhadap peristiwa Mpu Sêdah. Entah, tragedi itu adalah kesalahan sang pujangga
dari kasta brahmana atau hanya sebuah kriminalisasi.
-o0o-
Sejarah
bisa terulang.
Negeri ini sedang gonjang-ganjing sekarang.
Berbagai kasus sedang disangkakan kepada beberapa tokoh pemuka agama (Ulama).
Mulai kasus penodaan dasar negara, kasus pencucian uang, hingga kasus chat
dengan motiv mengumbar syahwat.
Seperti halnya peristiwa Mpu Sêdah, banyak pula
pihak yang pro dan kontra dalam menyikapinya. Sebagian berpendapat agar proses
hukum dipercepat, sebagian meminta agar penyidikan segera dihentikan.
Stop kriminalisasi ulama! Seru mereka.
Terlepas dari benar atau tidaknya sangkaan Polisi,
yang tahu kebenarannya tentu beliau-beliau para Ulama itu, juga Gusti Ingkang
Makarya Jagad. Allah SWT.
Saya hanya ingin mengatakan: Terkadang sejarah itu
seperti sebuah siklus. Bisa terulang kembali pada titik waktu tertentu.
Tan
Hana Dharma Mangrwa (tiada
kebenaran yang mendua).
Heru
Sang Mahadewa
Member of #OneDayOnePost
Iya Kang, pernah denger kitab kakawin bharata yudha, tapi lum pernah baca
BalasHapusKeinget Conan... Kebenaran hanya ada 1.
BalasHapusdan, motif ini akan terulang-ulang lagi, dizaman dulu sampai kedepannya. siapa yang memegang amar mahruf nahi munkar, akan dibenturkan sampai tidak bernama :(
BalasHapussejarah pasti terulang
BalasHapus