Kamis, 02 Maret 2017

KRIMINALISASI PEMUKA AGAMA DI MASA SILAM



twitter.com


Sepuluh abad silam, peristiwa perseteruan antara penguasa dan tokoh spiritualis/brahmana (Ulama dalam Islam)/pujangga pernah terjadi di jaman kerajaan Panjalu (Kadhri/Kediri).

Sinuwun Prabu Sri Aji Jayabhaya belum bisa sepenuhnya memadamkan api cemburu kepada Mpu Sêdah, seorang pujangga dari kasta brahmana yang di masa mudanya sebelum menjadi spiritualis pernah menjalin hubungan kekasih dengan ratu Dewi Sara, ketika wanita berparas jelita itu belum dipinang sang penguasa Panjalu.

Diperintahkannya sang pujangga dari kasta brahmana itu untuk menulis sebuah kitab. Berisi tentang pertumpahan darah sesama wangsa Bharata, antara Pandawa dan Kurawa. Kisah ini sebagai pengejawantahan perang saudara antara Panjalu dan Jenggala. Dua negeri yang sebetulnya adalah sama-sama anak dari mendiang Prabu Erlangga (Airlangga).

Sinuwun Prabu Sri Aji Jayabhaya-lah raja yang berhasil menyatukan kembali kedua negeri itu. Peristiwa ini tertulis pada prasasti Hantang. Panjalu Jatayu yang berarti Kediri menang. Sejak itulah Kahuripan atau Jenggala kembali menjadi bagian tak terpisahkan dari Panjalu.

Mpu Sèdah diwajibkan menuangkan seluruh cipta, rasa dan jiwanya dalam mengguratkan tinta ke dalam kakawin yang diminta Sinuwun Prabu Sri Aji Jayabhaya.

Ketika tulisannya sampai pada kisah percintaan malam terakhir antara Salya (Prabu Salyapati) dan Dewi Setyowati, konon Mpu Sêdah tidak mampu melanjutkan dan menyerah. Sebagai seorang brahmana, dia tak mampu menuangkan cipta, rasa dan jiwa dalam adegan beradu asmara.

Saat itulah, Sinuwun Prabu Sri Aji Jayabhaya memerintahkan ratu Dewi Sara agar menjadi narasumber bagi Mpu Sêdah.

Skenario sang pencemburu berhasil!

Terjadi dialog empat mata antara Dewi Sara dan Mpu Sêdah. Sang pujangga kasta brahmana larut dalam cipta, rasa dan jiwa dalam menggali data adegan beradu asmara dari permaisuri Panjalu.

Peristiwa ini menyeret Mpu Sêdah sebagai terdakwa karena dituduh melakukan tindakan amoral kepada simbol kebesaran Panjalu.

Banyak pro dan kontra atas kasus yang menjerat Mpu Sêdah. Sebagian pihak mendukung agar segera dijatuhkan hukuman berat. Sebagian lagi menganggap peristiwa ini adalah kriminalisasi. Sengaja dirancang seseorang yang dekat dengan penguasa Panjalu untuk melampiaskan dendam api cemburu sang raja.

Meski menuai banyak kontroversi terhadap kisah ini, Mpu Sêdah akhirnya menghembuskan napas terakhir di tiang hukuman jaksa negara Panjalu. Penulisan terhadap kitab yang belum selesai diteruskan oleh Mpu Panuluh.

Kelak, kita mengenal kitab kuno itu sebagai KAKAWIN BHARATA YUDHA.

Hingga kini, masih banyak tafsir yang berbeda terhadap peristiwa Mpu Sêdah. Entah, tragedi itu adalah kesalahan sang pujangga dari kasta brahmana atau hanya sebuah kriminalisasi.

-o0o-

Sejarah bisa terulang.

Negeri ini sedang gonjang-ganjing sekarang. Berbagai kasus sedang disangkakan kepada beberapa tokoh pemuka agama (Ulama). Mulai kasus penodaan dasar negara, kasus pencucian uang, hingga kasus chat dengan motiv mengumbar syahwat.

Seperti halnya peristiwa Mpu Sêdah, banyak pula pihak yang pro dan kontra dalam menyikapinya. Sebagian berpendapat agar proses hukum dipercepat, sebagian meminta agar penyidikan segera dihentikan.

Stop kriminalisasi ulama! Seru mereka.

Terlepas dari benar atau tidaknya sangkaan Polisi, yang tahu kebenarannya tentu beliau-beliau para Ulama itu, juga Gusti Ingkang Makarya Jagad. Allah SWT.

Saya hanya ingin mengatakan: Terkadang sejarah itu seperti sebuah siklus. Bisa terulang kembali pada titik waktu tertentu.

Tan Hana Dharma Mangrwa (tiada kebenaran yang mendua).


Heru Sang Mahadewa
Member of #OneDayOnePost

4 komentar:

  1. Iya Kang, pernah denger kitab kakawin bharata yudha, tapi lum pernah baca

    BalasHapus
  2. Keinget Conan... Kebenaran hanya ada 1.

    BalasHapus
  3. dan, motif ini akan terulang-ulang lagi, dizaman dulu sampai kedepannya. siapa yang memegang amar mahruf nahi munkar, akan dibenturkan sampai tidak bernama :(

    BalasHapus

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *