Malam itu, hujan baru saja mengguyur kota Surabaya.
Genting yang beberapa hari kering kerontang pun akhirnya membasah ditimpa titik-titik
air yang menari-nari di sela-sela langit dan awan. Suara nyanyian katak
terdengar nyaring dari rawa yang berada tepat dibelakang kamar kontrakan saya.
Sebentar kemudian saya membuka jendela, lalu melongok
keluar. Menatap hamparan luas langit Surabaya.
Cerah sekali.
Terlihat lintang
panjerwengi (bintang Alpha Centauri) bersinar terang di sisi timur cakrawala.
Pertanda bahwa sudah tidak ada awan yang menggelayut di atas kota kami.
Sembari menyesap sisa kopi yang telah dingin, saya
melirik jarum jam dinding yang tergantung di kamar. Bersebelahan dengan
sebuah poster usang timnas Garuda 1991. Skuad terakhir yang mempersembahkan
gelar juara bagi Indonesia.
“Masih lima belas lagi,” gumam saya dalam hati.
Buru-buru saya kembalikan sebuah kaleng biscuit berisi
kue sisa lebaran bulan kemarin ke atas meja yang terletak di sudut kamar. Sembari
megambil sweater kumal kesayangan.
Warkop Cak Di. Kedai langganan berhutang anak-anak
perantauan itu yang menjadi tujuan saya.
Selain satu-satunya warung yang menyediakan televisi kala
itu, Cak Di, si pemilik warung juga penyuka bola. Hampir setiap ada tayangan
sepakbola, ia selalu menjadikan kedainya sebagai tongkrongan para bolamania.
Maklum, di jaman itu, televisi masih menjadi barang
mewah. Jarang ada orang yang memilikinya di kamar kontrakan. Apalagi untuk
ukuran pemuda perantauan seperti saya.
Hari itu adalah hari dimana seluruh ketegangan terasa
menjalar di sekujur tubuh. Adrenalin dipaksa terus naik dari menit ke menit,
sejak pagi hari.
Indonesia harus berjuang hidup mati menghadapai Vietnam
yang menjadi tuan rumah grup A babak penyisihan Piala AFF 2004.
Meski hanya membutuhkan hasil seri, tetapi menghadapi
laskar The Golden Star (julukan
timnas Vietnam) di kandang mereka, stadion My Dinh, Hanoi tentu tidaklah mudah.
Apalagi Vietnam juga membutuhkan kemenangan untuk mengincar babak semifinal.
Saya memesan secangkir kopi hitam kepada Cak Di. Kopi
keempat yang saya sesap pada hari itu.
Ketegangan terasa memuncak, ketika saya dan tiga orang
pengunjuk warung kopi yang tidak saya kenal sama-sama hanya membisu dan tak
berkedip menatap layar kaca. Ingin sekali rasanya saya berdiri, lalu
menghormat. Lagu kebangsaan kita, Indonesia Raya sedang dikumandangkan di
satdion My Dinh.
Saya melirik ke arah salah satu anak muda yang duduk di
pojok warung. Ia bertepuk tangan secara sembunyi-sembunyi, mencoba menyemangati
para pemain merah putih dengan cara dia yang konyol itu. Hal yang sebenarnya diam-diam
juga saya lakukan. Meski hanya dalam hati.
Delapan belas menit kemudian, saya dan ketiga pemuda yang
tidak saling kenal melonjak dan berteriak sekeras-kerasnya ketika Mauli Lessy
melesatkan sebuah gol ke gawang tuan rumah Vietnam. Cak Di yang berada di ruangan
dapur sontak berlari keluar dan ikut berteriak-teriak meluapkan emosinya.
Satu bola Indonesia memimpin atas Vietnam kala itu!
“Boaz .. Boaz!” jerit reporter televisi yang menayangkan
pertandingan tatkala tiga menit setelah gol pertama, anak muda asal Papua yang
menjadi the rising star timnas Merah Putih kembali mengoyak gawang Vietnam.
Boaz Salossa membawa Indonesia unggul 2-0.
“Modiarrrr koen
(mampus kalian) … !” teriak pemuda lain, pengunjung warung kopi ketika Ilham
Jaya Kesuma menamatkan perlawanan tuan rumah dengan golnya pada penghujung
babak pertama. Gol yang membuat nyali para pemain Vietnam runtuh dan tidak
berbekas di babak kedua.
Unggul dengan selisih bola tiga margin membuat Indonesia menorehkan
sejarah dengan tinta emas. Menghentikan langkah sang tuan rumah.
Hari itu, stadion My Dinh, Hanoi Vietnam benar-benar
menjadi kuburan bagi laskar The Golden
Star.
Setelah pertandingan, saya bergegas jalan kaki pulang
menuju kamar kontrakan. Kembali saya dongakkan kepala ke atas cakrawala Surabaya.
Bintang Alpha Centauri tampak semakin
terang benderang disana.
*****
Dua belas tahun berlalu sudah.
Hari ini, kita kembali bersua mereka di tempat yang sama.
Dengan kondisi yang sama pula. Kita hanya membutuhkan hasil seri, sementara
Vietnam mau tidak mau harus memenangkan pertandingan.
Semoga sejarah terulang kembali malam ini. Semoga tuah
dari Boaz Salossa masih berlaku bagi tim nasional Garuda.
Jayalah Indonesia. Negeriku, tumpah darahku.
*****
Surabaya, 7 Desember 2016
(
Heru Sang Mahadewa)
Member
Of #OneDayOnePost
Semoga Indonesia bisa menang Tahun ini
BalasHapusaamiin
BalasHapus