Jumat, 02 Desember 2016

KANGSA TAKON BAPA (1)



Kangsadewa - image google


“Jahanam!” teriak Jaka Maruta.

“Akan aku kuliti hidup-hidup engkau, Basudewa!” sesumbarnya sambil memamerkan kedua taring yang menyeruak keluar dari mulutnya. Bagai dua pedang yang tajam berkilat-kilat diterpa sinar sang Bagaskara.

“Sabar ngger, Maruta. Jangan menuruti gejolak amarahmu,” Resi Anggawangsa mencoba menenangkan muridnya.

Sinar Bathara Surya masih terasa hangat, memanjakan setiap manusia yang dibelainya. Ia belum beranjak meninggi di atas gunung Rawisrengga, ketika seorang pemuda dari bangsa raksasa berperawakan tegap menghadap sang guru di serambi padepokan.

Jaka Maruta, murid kinasih dari Begawan Anggawangsa memberanikan diri bertanya perihal asal-usulnya. Sejak kecil hidup di puncak gunung Rawisrengga, ia belum pernah bertemu dengan bapa dan biyungnya. 

Dua puluh tahun mencoba tutup mulut, akhirnya hari itu Begawan Anggawangsa berkesimpulan bahwa sudah saatnya membeberkan jati diri Jaka Maruta. Selain umur murid knasihnya itu sudah cukup dewasa, ilmu kadigdayaan yang telah ia turunkan juga dirasa telah dikuasai dengan sempurna oleh pemuda yang dulu dititipkan oleh Suratimantra semenjak masih bayi.

Pertapa sakti yang juga berwujud raksasa itu menceritakan, sebenarnya Jaka Maruta bukanlah putra dari Prabu Basudewa, raja negeri Mandaraka, seperti yang selama ini diberitakan banyak orang.

*****

Kisah kelahiran Jaka Maruta dimulai ketika Prabu Basudewa sedang pergi berburu. Ia meninggalkan ketiga istrinya, Dewi Mahera, Dewi  Mahindra dan Dewi Badrahini di istana kaputren masing-masing.

Istri pertama sang raja, diam-diam telah membutakan hati seorang raja bangsa raksasa dari negeri Gowa Barong. Prabu Gorawangsa. Ia bertekad akan merebut Dewi Mahera dari Prabu Basudewa.

Mengetahui suami dari sang pujaan hatinya sedang tidak berada di istananya, Prabu Gorawangsa bergegas menyusup ke Mandura. Dengan kedigdayaannya, raksasa itu berubah wujud menjadi sosok Prabu Basudewa. Ia mendatangi puri kaputren tempat Dewi Mahera tinggal. Dengan tipu muslihatnya, sang raja negeri Gowa Barong berhasil mengajak berpadu asmara.

Sebulan kemudian, Dewi Mahera hamil. Prabu Basudewa murka!

Dalam kurun waktu beberapa bulan itu, sang raja Mandura merasa tidak pernah menyentuh ketiga istrinya, karena sedang menjalani tirakat lahir batin. Berpuasa dari kesenangan duniawi selama empat bulan purnama. Demi mendapatkan wangsit dari Dewata terhadap masa depan Mandura.

Prabu Basudewa yakin bahwa janin yang dikandung Dewi Mahera berasal dari perselingkuhan istrinya dengan lelaki lain. Bagi sang raja dan negeri sebesar Mandura, ini tentu aib. Ia pun menghukum istri pertamannya itu dengan membuang ke tengah hutan tanpa boleh menginjakkan kaki lagi di istananya seumur hidup.

Diam-diam, Prabu Basudewa yang telah hancur hati dan perasaannya karena pengkhianatan Dewi Mahera ternyata memerintahkan agar istri pertamanya itu dibunuh sesampai di tengah hutan nanti.

Haryaprabu Rukma, adik dari Prabu Basudewa yang menjadi eksekutor merasa tidak tega. Bagaimanapun juga, Dewi Mahera adalah kakak iparnya. Wanita malang itu sedang hamil pula. Ia pun meninggalkan begitu saja di tengah hutan gunung Rawisrengga.

Beberapa bulan tinggal sendirian, akhirnya Dewi Mahera melahirkan janin yang dikandungnya. Jabang bayi berwujud raksasa laki-laki. Namun naas, sesaat setelah berjuang dalam persalinan itu, ia menghembuskan napas terakhir. Sukmanya terbang ke alam sunyaruri sembari menjerit-jerit meminta pertolongan.

“Wahai alam semesta, selamatkanlah putraku!” jerit Dewi Mahera dari dimensi lain. Suaranya menggema hingga menggetarkan seisi hutan di gunung Rawisrengga.

Begawan Anggawangsa yang tinggal di puncak gunung itu, segera melesat menuju tempat yang memancarkan aura kesedihan. Ia menemukan seorang jabang bayi berlumur darah menangis sekeras-kerasnya. Tanpa berpikir panjang, pertapa sakti itu membawa pulang ke padepokan miliknya, di puncak gunung Rawisrengga.

*****

Memerah muka Jaka Maruta mendengar penuturan Begawan Anggawangsa. Kedua tangannya tergenggam erat. Ia ingin memukul apa saja yang ada di dekatnya. Tak sabar rasanya ingin segera bertemu dengan Prabu Basudewa. Sosok yang dianggap telah tega menelantarkan Dewi Mahera saat mengandung dirinya.

“Selang beberapa hari, aku mendapat pawisik dari Dewata bahwa engkau adalah anak dari Prabu Gorawangsa. Saat menemuinya ke negeri Gowabarong, ternyata raja itu telah terbunuh oleh Prabu Basudewa. Hanya ada Suratimantra di sana, pamanmu yang akhirnya memberimu nama Kangsadewa,” tutup Begawan Anggawangsa.

“Lalu, kenapa aku berada di sini?” tanya Jaka Maruta.

“Pamanmu Suratimantra menitipkan kepadaku agar menjadikan engkau murid. Menjadikanmu seorang kesatria yang digdaya,” pungkas sang guru.

“Aku akan menyerang Mandura untuk membuat perhitungan dengan Basudewa!” kembali Jaka Maruta bersesumbar.

Begawan Anggawangsa hanya tersenyum. Ia bangkit dari tempat duduknya, lalu menepuk-nepuk pundak murid kinasihnya.

“Tekadmu sungguh kuat, Jaka Maruta. Tetapi menghadapi Prabu Basudewa, engkau tidak bisa sendirian. Mandura adalah negeri yang berkoalisi dengan Prabu Pandudewanata, raja Hastina yang tersohor memiliki ilmu linuwih.” Jelas Begawan Anggawangsa.

“Sedikitpun aku tak gentar, guru!” balas Jaka Maruta.

“Baguslah. Itu modal berharga bagi seorang kesatria. Berangkatlah ke Gowa Barong menemui pamanmu Suratimantra. Kita minta dukungan pasukan raksasa untuk menggempur Mandura. Mari kuantar, ngger.” Saran sang guru.

“Budhal!” tutup Jaka Maruta.

*****

Haru bercampur bahagia mewarnai pendopo Gowa Barong, ketika Begawan Anggawangsa memperkenalkan seorang pemuda raksasa yang diajaknya menemui Suratimantra. Pertapa sakti dari gunung Rawisrengga itu menceritakan bahwa Jaka Maruta adalah putra mendiang Prabu Gorawangsa yang dua puluh tahun silam dititipkan kepadanya.

“Kangsadewa, rasa kangenku terhadap kakakku Gorawangsa serasa terobati dengan kehadiranmu di Gowa Barong, ngger,” Suratimantra memeluk Jaka Maruta.

Adik dari Prabu Gorawangsa itu lalu menuturkan, setelah mangkatnya raja mereka, tahta Gowa Barong sengaja dikosongkan. Para punggawa dan dirinya sepakat menunggu Kangsadewa hingga dewasa untuk dinobatkan sebagai raja.

Hari itu, akhirnya Jaka Maruta diangkat menjadi raja muda negeri Gowa Barong. Ia kembali menggunakan nama pemberian Patih Suratimantra sebagai gelarnya. Prabu Kangsadewa. Diambil dari perpaduan nama Gorawangsa dan Basudewa.

“Jangan lupa, selain Prabu Basudewa, di Mandura juga ada Haryaprabu Rukma dan Harya Ugrasena. Mereka adalah adik sang raja sekaligus senopati-senopati digdaya. Perlu akal yang cerdik untuk memuluskan rencanamu, Jaka Maruta.” tutur Begawan Anggawangsa.

“Haryaprabu Rukma meski lebih lemah dibanding dua saudaranya, tetapi sangat teliti. Akal dan pikirannya sangat jitu. Sebaliknya, Harya Ugrasena meski paling sakti, tetapi tidak memiliki akal yang cerdik. Masukkan strategimu lewat Ugrasena!” saran sang guru.

Budhal!” sesumbar Kangsadewa.

*****

Kangsadewa diterima oleh Harya Ugrasena di Kesatrian Lesanpura. Kepada adik Prabu Basudewa itu, ia mengaku sebagai putra dari mendiang Dewi Mahera yang pernah dibuang ke tengah hutan Rawisrengga saat sedang mengandung. Dengan penuh muslihat, ia bahkan berani bersumpah bahwa sejatinya dirinya tetaplah anak dari sang raja Mandura.

Harya Ugrasena tidak langsung percaya dengan pengakuan Kangsadewa. Seingatnya, dahulu Dewi Mahira berselingkuh dengan Prabu Gorawangsa dari negeri Gowa Barong.

Untuk membuktikan ucapannya, Kangsadewa menjebak Harya Ugrasena dengan adu tanding kedigdayaan, ”semua orang tahu, Prabu Basudewa adalah seorang raja yang berilmu linuwih, tentu keturunannya juga memiliki kesaktian yang sama pula. Nah, jika aku bisa mengalahkanmu, itu sebagai bukti bahwa aku keturunan sang raja Mandura.” Tantangnya.

Bukan Harya Ugrasena jika tidak menerima tantangan Kangsadewa. Meski usianya tak lagi muda, tetapi senopati Mandura itu sudah malang melintang mengenyam berbagai pengalaman berperang melawan banyak kesatria digdaya.

Pertarungan pun terjadi di halaman Kesatrian Lesanpura. Di luar dugaan, Kangsadewa yang dua puluh telah digembleng oleh Begawan Anggawangsa dengan mudah membekuk Harya Ugrasena. Hanya dua jurus, cukup untuk membuktikan bahwa  putra Dewi Mahera itu juga mewarisi kedigdayaan dari ayahnya. Prabu Basudewa.

Harya Ugrasena pun memeluk Kangsadewa. Ia mengajak keponakannya menemui Prabu Basudewa di istana Mandura.

Terjadi perdebatan antara Haryprabu Rukma, Patih Saragupita yang sedang mendampingi Prabu Basudewa dengan Harya Ugrasena, ketika Kangsadewa diperkenalkan dihadapan mereka sebagai putra dari mendiang Dewi Mahera.

Harya Ugrasena menceritakan bahwa istri pertama kakaknya itu telah meninggal saat melahirkan Kangsadewa. Ia sempat berwasiat agar kelak jika telah dewasa, putranya menemui Prabu Basudewa di Mandura. Bagiamanapun juga, jabang bayi itu tidak memiliki dosa apa-apa.

Berkali-kali Haryaprabu Rukma mengingatkan agar kakaknya tidak terbujuk oleh tipu muslihat Dewi Mahera dan Kangsadewa. Prabu basudewa pun hanya terdiam. Hatinya masih bimbang, kasihan melihat sosok putra mendiang istrinya sedang memelas di hadapannya.

“Baiklah, kakang Basudewa. Jika paduka tidak mau menerima Kangsadewa sebagai anak, biarlah aku yang menggantikannya sebagai ayah,” pungkas Harya Ugrasena.

“Oh, ayahku,” seru Kangsadewa. Seketika ia menubruk tubuh Harya Ugrasena dan memeluknya dengan berderaian air mata.

*****

Gempar suasana pendopo Mandura yang sedang berdebat tiada ujung pangkal atas kehadiran Kangsadewa, ketika terdengar hiruk pikuk suara prajurit dari alun-alun.

“Musuh datang … musuh datang!” seru puluhan prajurit penjaga perbatasan.

Patih Saragupita, Harya Ugrasena dan Haryaprabu Rukma sebagai senopati Mandura sontak langsung menyiapkan pasukannya. Dari kejauhan tampak ratusan pasukan bangsa raksasa dipimpin Suratimantra bergerak mendekati alun-alun.

Kangsadewa tersenyum dalam hati. Pamannya, Suratimantra datang tepat pada waktunya, tidak meleset sedikitpun dari rencana yang telah ia susun. Dengan penuh percaya diri, putra Dewi Mahera pun ikut bergabung bersama pasukan Harya Ugrasena.

Kocar-kacir para prajurit Mandura menahan gempuran bala tentara raksasa. Meski jumlah kedua kubu berimbang, tetapi postur tubuh pasukan Suratimantra jauh lebih tinggi dan besar. Harya Ugrasena, Haryaprabu Rukma dan Patih Saragupita pun kewalahan.

Sesosok anak muda bertubuh tegap tiba-tiba menerobos ke barisan terdepan. Tanpa ampun dia langsung menerjang Suratimantra.

Seolah-olah itu adalah pertempuran nyata, Suratimantra terjungkal dari kudanya. Belum sempat ia bangun, pemuda yang tak lain adalah Kangsadewa tadi telah menjambak rambutnya. Dalam hitungan beberapa detik, tubuh sang paman telah dibanting berkali-kali ke rerumputan alun-alun Mandura. Tanpa sempat memberikan perlawanan sedikitpun.

Suratimantra dan pasukannya menyatakan menyerah kepada Kangsadewa. Mereka berpura-pura lari tunggang langgang meninggalkan Mandura.

Prabu Basudewa menepuk-nepuk pundak Kangsadewa,”Terima kasih, Kangsa. Meskipun belum sepenuhnya aku percaya dengan semua kejadian ini, tetapi jasamu sungguh besar untuk Mandura. Engkau kuberi hadiah Kadipaten Sengkapura!” titah sang raja Mandura.

Sejak hari itu, Kangsadewa diangkat menjadi Adipati di Sengkapura. Ia juga diakui Prabu Basudewa sebagai anak.

Sepeninggal putra Dewi Mahera, Prabu Basudewa baru teringat pada pesan Bhatara Narada dua puluh tahun silam dalam tapa bratanya,”Kelak, sembunyikan putra-putrimu semenjak kecil, karena akan datang seorang putra yang sebenarnya tak engkau inginkan. Ia yang akan membuat keonaran di Mandura, Basudewa.”  

Sang raja Mandura menerka-nerka, apakah Kangsadewa adalah sosok yang disebut Bhatara Narada dalam wangsitnya?

*****

Waktu terus berjalan, tanpa sepengetahuan Mandura, Adipati Kangsadewa diam-diam menyusun kekuatan baru di Sengkapura. Ia juga menggabungkan kekuatan pasukan Gowa Barong yang sejatinya telah dikuasainya. Suratimantra menjadi penasehat ulungnya.

Dengan bekal ilmu linuwih yang dua puluh tahun ia pelajari dari Begawan Anggawangsa di gunung Rawisrengga, Kangsadewa merasa sudah memiliki persiapan kekuatan lebih dari cukup untuk menaklukkan Mandura.

Ia pun memerintahkan seluruh pasukan Gowa Barong dan Sengkapura bergerak menuju Mandura.

Setengah hari perjalanan, sampailah Kangsadewa dan Suratimantra di pendopo Mandura. Sementara bala tentara mereka masih bersembunyi diluar perbatasan. Hadir ketika itu Prabu Basudewa bersama Patih Saragupita, Haryaprabu Rukma dan Harya Ugrasena.

“Ayahanda Prabu Basudewa, teliksandi Sengkapura melaporkan ada gerak-gerik mencurigakan di desa Widarakandang. Seorang pertapa tua bersama ketiga muridnya menanam sepasang pohon beringin besar mirip benteng. Perbuatan itu bisa menjadi cikal bakal makar terhadap kedaulatan Mandura. Ijinkan aku menggempurnya hari ini,” lapor Kangsadewa.

“Jangan gegabah, Kangsadewa. Tidak perlu engkau menyerang desa kecil itu. Cukuplah kita mengirimkan seorang utusan untuk meminta penjelasan dari mereka dahulu. Kita tegur secara baik-baik,” jawab Prabu Basudewa. Dalam hati sebenarnya ia mengerti bahwa orang-orang yang dimaksud Kangsadewa adalah ketiga putra-putinya. Kakrasana, Narayana dan Roro Ireng yang sejak lahir ia titipkan kepada Buyut Antagopa dan Nyai Sagopi di desa Widarakandang. Sesuai petunjuk Bhatara Narada dalam tapa bratanya.

Begitu pula dengan Kangsadewa, sejatinya ia juga mengetahui bahwa tiga murid Begawan Antagopa adalah anak-anak Prabu Basudewa yang selama ini ia cari untuk dibunuh.

Kangsadewa pun kecewa, ia keluar dari pendopo Mandura tanpa pamit. Tak berselang lama, bersama Suratimantra dan ribuan bala tentara raksasa Gowa Barong dan Sengkapura, mereka kembali lagi memasuki istana Mandura. Kali ini sudah mengangkat senjata dan menyerang setiap orang yang ditemui.

Prabu Basudewa dan Harya Ugrasena terkejut ketika Kangsadewa tiba-tiba menerobos masuk pendopo dan menghajar mereka berdua dengan Gada Lohitamuka pemberian gurunya, Begawan Anggawangsa.

Tanpa perlawanan berarti, Kangsadewa berhasil meringkus Prabu Basudewa dan Harya Ugrasena. Dua orang yang sebelumnya telah memberinya banyak kedudukan dan kesempatan, kini dikhianatinya.

Di tempat lain, tak jauh dari pendopo Mandura, Suratimantra bersama senopati Gowa Barong Ditya Kalanasura dan puluhan pasukan raksasa mengeroyok Patih Saragupita dan Haryaprabu Rukma. Jumlah yang tak berimbang itu membuat kedua punggawa Mandura menyerah di tangan pemberontak.

Kangsadewa tertawa puas melihat kemenangan gemilang pasukannya. Ia menjebloskan Prabu Basudewa, Patih Saragupita, dan Harya Ugrasena ke dalam penjara. Sedangkan Haryaprabu Rukma tetap dibiarkan bebas, sebagai balas budi atas perbuatannya ketika membiarkan Dewi Mahera tetap hidup di tengah hutan Rawisrengga dahulu.

“Tetapi engkau harus menuruti perintahku, Haryaprabu Rukma. Berangkatlah ke Widarakandang untuk menjemput anak-anak Basudewa!” seru Kangsadewa.

*****

Dengan dikawal Ditya Kalanasura dan pasukan raksasa, berangkatlah Haryaprabu Rukma menuju desa Widarakandang.

Buyut Antagopa menyambut kedatangan pasukan besar utusan Kangsadewa di depan padepokan Widarakandang. Firasatnya mengatakan ada peristiwa buruk yang akan menimpa para momongannya.

Pagi hari tadi, Buyut Antagopa telah memerintahkan istrinya Nyai Sagopi untuk membawa pergi jauh Roror Ireng ke Hastina. Mengungsi ke istana Prabu Pandudewanata. Sementara Narayana, sejak beberapa bulan terakhir telah pergi berkelana. Menimba ilmu pada Resi Padmanaba.

Hanya ada Kakrasana di Widarakandang hari itu. Ia sedang membajak sawah saat Haryaprabu Rukma bersama pasukan Ditya Kalanasura datang.

“Tujuan kami kemari adalah menyampaikan undangan dari Prabu Kangsadewa kepada ketiga momonganmu. Tujuh hari lagi, mereka diminta datang ke Mandura. Ada sayembara Adu Jago yang diadakan raja kami yang baru,” jelas Haryaprabu Rukma.

Buyut Antagopa sejatinya mengerti bahwa Haryaprabu Rukma berbicara sembari memberikan isyarat kepadanya agar para putra Prabu Basudewa diselamatkan dari tipu muslihat Kangsadewa ini.

Sambil manggut-manggut seolah setuju, Buyut Antagopa berjalan mendekati Haryaprabu Rukma, “Nanti jika Kakrasana datang, berpura-puralah menyerangku. Saat terjadi keributan, paduka Haryaprabu Rukma segeralah lari sejauh-jauhnya. Datangi Begawan Abyasa di puncak gunung Sapta Arga untuk meminta bantuan. Hanya beliau yang tahu caranya menyelesaikan sepak terjang Kangsadewa,” bisiknya.

Brak!

Haryaprabu Rukma mendorong tubuh Buyut Antagopa ketika melihat seorang pemuda berkulit bule memasuki padepokan Widarakandang.

Seketika, Kakrasana, pemuda berkulit bule meradang. Tanpa berkenalan, ia langsung balas menyerang Haryaprabu Rukma. Terjadi pertarungan sengit antara keduanya.

“Bantu aku, Ditya Kalanasura!” teriak Haryaprabu Rukma saat ia melihat Buyut Antagopa memberi isyarat bahwa sudah tiba saatnya rencana yang dibisikkan pertapa Widarakandang tadi dijalankan.

Serentak Ditya Kalanasura dan pasukan raksasa menyerang Kakrasana. Haryaprabu Rukma bergeser ke belakang. Ketika Buyut Antagopa mengibaskan tangannya, secepat kilat ia berlari sekencang-kencangnya meninggalkan padepokan Widarakandang.

Sementara Kakrasana masih berjibaku menghadapi keroyokan Ditya Kalanasura dan pasukan raksasanya. Buyut Antagopa ikut membantu, lalu berbisik,”Ngger, segera larilah menyelamatkan diri. Bertapalah di gunung Rewataka. Mintalah petunjuk dari Dewata untuk menghadapi masalah ini,” pungkasnya.

“Aku tidak bisa meninggalkan bapa sendirian menghadapi mereka,” jawab Kakrasana.

“Cepat pergi, Kakrasana. Biar aku menahan mereka!” perintah Buyut Antagopa.

Dengan deraian air mata karena melihat tubuh renta Buyut Antagopa  mulai berlumur darah menahan gempuran keroyokan Ditya Kalanasura dan para prajurit raksasa, akhirnya Kakrasana melesat meninggalkan Widarakandang.

Dengan sisa-sisa tenaganya, Buyut Antagopa bertahan selama mungkin menghadang setiap raksasa yang hendak mengejar momongannya. Ia pun akhirnya roboh meregang nyawa.

Pengorbanannya tidak sia-sia. Hari itu Haryaprabu Rukma telah sampai di pertapaan gunung Sapta Arga menemui Begawan Abyasa untuk meminta bantuan. Sementara Kakarasana berhasil menyelamatkan diri dan kini bertapa brata di puncak gunung Rewataka.


oo00 BERSAMBUNG 00oo

Heru Sang Mahadewa
Member of #OneDayOnePost

Baca cerita selanjutnya [ Disini ]

1 komentar:

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *