Kangsadewa - image google |
“Jahanam!” teriak Jaka Maruta.
“Akan aku kuliti hidup-hidup engkau,
Basudewa!” sesumbarnya sambil memamerkan kedua taring yang menyeruak keluar dari
mulutnya. Bagai dua pedang yang tajam berkilat-kilat diterpa sinar sang
Bagaskara.
“Sabar ngger, Maruta. Jangan menuruti gejolak amarahmu,” Resi Anggawangsa
mencoba menenangkan muridnya.
Sinar Bathara Surya masih terasa
hangat, memanjakan setiap manusia yang dibelainya. Ia belum beranjak meninggi
di atas gunung Rawisrengga, ketika seorang pemuda dari bangsa raksasa
berperawakan tegap menghadap sang guru di serambi padepokan.
Jaka Maruta, murid kinasih dari
Begawan Anggawangsa memberanikan diri bertanya perihal asal-usulnya. Sejak kecil
hidup di puncak gunung Rawisrengga, ia belum pernah bertemu dengan bapa
dan biyungnya.
Dua puluh tahun mencoba tutup mulut,
akhirnya hari itu Begawan Anggawangsa berkesimpulan bahwa sudah saatnya membeberkan jati diri Jaka Maruta. Selain umur murid knasihnya itu sudah cukup dewasa, ilmu kadigdayaan yang telah
ia turunkan juga dirasa telah dikuasai dengan sempurna oleh pemuda yang dulu
dititipkan oleh Suratimantra semenjak masih bayi.
Pertapa sakti yang juga berwujud raksasa itu menceritakan, sebenarnya Jaka Maruta bukanlah putra dari
Prabu Basudewa, raja negeri Mandaraka, seperti yang selama ini diberitakan
banyak orang.
*****
Kisah kelahiran Jaka Maruta dimulai
ketika Prabu Basudewa sedang pergi berburu. Ia meninggalkan ketiga istrinya,
Dewi Mahera, Dewi Mahindra dan Dewi
Badrahini di istana kaputren masing-masing.
Istri pertama sang raja, diam-diam
telah membutakan hati seorang raja bangsa raksasa dari negeri Gowa Barong.
Prabu Gorawangsa. Ia bertekad akan merebut Dewi Mahera dari Prabu Basudewa.
Mengetahui suami dari sang pujaan
hatinya sedang tidak berada di istananya, Prabu Gorawangsa bergegas menyusup ke
Mandura. Dengan kedigdayaannya, raksasa itu berubah wujud menjadi sosok Prabu
Basudewa. Ia mendatangi puri kaputren tempat Dewi Mahera tinggal. Dengan tipu
muslihatnya, sang raja negeri Gowa Barong berhasil mengajak berpadu asmara.
Sebulan kemudian, Dewi Mahera hamil.
Prabu Basudewa murka!
Dalam kurun waktu beberapa bulan itu,
sang raja Mandura merasa tidak pernah menyentuh ketiga istrinya, karena sedang
menjalani tirakat lahir batin. Berpuasa dari kesenangan duniawi selama empat
bulan purnama. Demi mendapatkan wangsit dari Dewata terhadap masa depan
Mandura.
Prabu Basudewa yakin bahwa janin yang
dikandung Dewi Mahera berasal dari perselingkuhan istrinya dengan lelaki lain.
Bagi sang raja dan negeri sebesar Mandura, ini tentu aib. Ia pun menghukum
istri pertamannya itu dengan membuang ke tengah hutan tanpa boleh menginjakkan
kaki lagi di istananya seumur hidup.
Diam-diam, Prabu Basudewa yang telah
hancur hati dan perasaannya karena pengkhianatan Dewi Mahera ternyata
memerintahkan agar istri pertamanya itu dibunuh sesampai di tengah hutan
nanti.
Haryaprabu Rukma, adik dari Prabu
Basudewa yang menjadi eksekutor merasa tidak tega. Bagaimanapun juga, Dewi
Mahera adalah kakak iparnya. Wanita malang itu sedang hamil pula. Ia pun meninggalkan
begitu saja di tengah hutan gunung Rawisrengga.
Beberapa bulan tinggal sendirian,
akhirnya Dewi Mahera melahirkan janin yang dikandungnya. Jabang bayi berwujud
raksasa laki-laki. Namun naas, sesaat setelah berjuang dalam persalinan itu, ia
menghembuskan napas terakhir. Sukmanya terbang ke alam sunyaruri sembari
menjerit-jerit meminta pertolongan.
“Wahai alam semesta, selamatkanlah
putraku!” jerit Dewi Mahera dari dimensi lain. Suaranya menggema hingga
menggetarkan seisi hutan di gunung Rawisrengga.
Begawan Anggawangsa yang tinggal di
puncak gunung itu, segera melesat menuju tempat yang memancarkan aura
kesedihan. Ia menemukan seorang jabang bayi berlumur darah menangis sekeras-kerasnya.
Tanpa berpikir panjang, pertapa sakti itu membawa pulang ke padepokan
miliknya, di puncak gunung Rawisrengga.
*****
Memerah muka Jaka Maruta mendengar
penuturan Begawan Anggawangsa. Kedua tangannya tergenggam erat. Ia ingin
memukul apa saja yang ada di dekatnya. Tak sabar rasanya ingin segera bertemu
dengan Prabu Basudewa. Sosok yang dianggap telah tega menelantarkan Dewi Mahera saat mengandung dirinya.
“Selang beberapa hari, aku mendapat pawisik dari Dewata bahwa engkau adalah anak dari Prabu Gorawangsa. Saat
menemuinya ke negeri Gowabarong, ternyata raja itu telah terbunuh oleh Prabu
Basudewa. Hanya ada Suratimantra di sana, pamanmu yang akhirnya memberimu nama
Kangsadewa,” tutup Begawan Anggawangsa.
“Lalu, kenapa aku berada di sini?”
tanya Jaka Maruta.
“Pamanmu Suratimantra menitipkan
kepadaku agar menjadikan engkau murid. Menjadikanmu seorang kesatria yang digdaya,”
pungkas sang guru.
“Aku akan menyerang Mandura untuk
membuat perhitungan dengan Basudewa!” kembali Jaka Maruta bersesumbar.
Begawan Anggawangsa hanya tersenyum.
Ia bangkit dari tempat duduknya, lalu menepuk-nepuk pundak murid kinasihnya.
“Tekadmu sungguh kuat, Jaka Maruta.
Tetapi menghadapi Prabu Basudewa, engkau tidak bisa sendirian. Mandura adalah
negeri yang berkoalisi dengan Prabu Pandudewanata, raja Hastina yang tersohor
memiliki ilmu linuwih.” Jelas Begawan Anggawangsa.
“Sedikitpun aku tak gentar, guru!”
balas Jaka Maruta.
“Baguslah. Itu modal berharga bagi
seorang kesatria. Berangkatlah ke Gowa Barong menemui pamanmu Suratimantra. Kita
minta dukungan pasukan raksasa untuk menggempur Mandura. Mari kuantar, ngger.”
Saran sang guru.
“Budhal!” tutup Jaka Maruta.
*****
Haru bercampur bahagia mewarnai
pendopo Gowa Barong, ketika Begawan Anggawangsa memperkenalkan seorang pemuda
raksasa yang diajaknya menemui Suratimantra. Pertapa sakti dari gunung
Rawisrengga itu menceritakan bahwa Jaka Maruta adalah putra mendiang Prabu
Gorawangsa yang dua puluh tahun silam dititipkan kepadanya.
“Kangsadewa, rasa kangenku terhadap
kakakku Gorawangsa serasa terobati dengan kehadiranmu di Gowa Barong, ngger,” Suratimantra memeluk Jaka
Maruta.
Adik dari Prabu Gorawangsa itu lalu
menuturkan, setelah mangkatnya raja mereka, tahta Gowa Barong sengaja
dikosongkan. Para punggawa dan dirinya sepakat menunggu Kangsadewa hingga
dewasa untuk dinobatkan sebagai raja.
Hari itu, akhirnya Jaka Maruta
diangkat menjadi raja muda negeri Gowa Barong. Ia kembali menggunakan nama
pemberian Patih Suratimantra sebagai gelarnya. Prabu Kangsadewa. Diambil dari
perpaduan nama Gorawangsa dan Basudewa.
“Jangan lupa, selain Prabu Basudewa,
di Mandura juga ada Haryaprabu Rukma dan Harya Ugrasena. Mereka adalah adik
sang raja sekaligus senopati-senopati digdaya. Perlu akal yang cerdik untuk
memuluskan rencanamu, Jaka Maruta.” tutur Begawan Anggawangsa.
“Haryaprabu Rukma meski lebih lemah
dibanding dua saudaranya, tetapi sangat teliti. Akal dan pikirannya sangat
jitu. Sebaliknya, Harya Ugrasena meski paling sakti, tetapi tidak memiliki akal
yang cerdik. Masukkan strategimu lewat Ugrasena!” saran sang guru.
“Budhal!”
sesumbar Kangsadewa.
*****
Kangsadewa diterima oleh Harya
Ugrasena di Kesatrian Lesanpura. Kepada adik Prabu Basudewa itu, ia mengaku
sebagai putra dari mendiang Dewi Mahera yang pernah dibuang ke tengah hutan
Rawisrengga saat sedang mengandung. Dengan penuh muslihat, ia bahkan berani
bersumpah bahwa sejatinya dirinya tetaplah anak dari sang raja Mandura.
Harya Ugrasena tidak langsung percaya
dengan pengakuan Kangsadewa. Seingatnya, dahulu Dewi Mahira berselingkuh dengan
Prabu Gorawangsa dari negeri Gowa Barong.
Untuk membuktikan ucapannya, Kangsadewa
menjebak Harya Ugrasena dengan adu tanding kedigdayaan, ”semua orang tahu, Prabu
Basudewa adalah seorang raja yang berilmu linuwih,
tentu keturunannya juga memiliki kesaktian yang sama pula. Nah, jika aku bisa
mengalahkanmu, itu sebagai bukti bahwa aku keturunan sang raja Mandura.” Tantangnya.
Bukan Harya Ugrasena jika tidak
menerima tantangan Kangsadewa. Meski usianya tak lagi muda, tetapi senopati
Mandura itu sudah malang melintang mengenyam berbagai pengalaman berperang
melawan banyak kesatria digdaya.
Pertarungan pun terjadi di halaman
Kesatrian Lesanpura. Di luar dugaan, Kangsadewa yang dua puluh telah digembleng
oleh Begawan Anggawangsa dengan mudah membekuk Harya Ugrasena. Hanya dua jurus,
cukup untuk membuktikan bahwa putra Dewi
Mahera itu juga mewarisi kedigdayaan dari ayahnya. Prabu Basudewa.
Harya Ugrasena pun memeluk Kangsadewa.
Ia mengajak keponakannya menemui Prabu Basudewa di istana Mandura.
Terjadi perdebatan antara Haryprabu
Rukma, Patih Saragupita yang sedang mendampingi Prabu Basudewa dengan Harya
Ugrasena, ketika Kangsadewa diperkenalkan dihadapan mereka sebagai putra dari
mendiang Dewi Mahera.
Harya Ugrasena menceritakan bahwa
istri pertama kakaknya itu telah meninggal saat melahirkan Kangsadewa. Ia sempat
berwasiat agar kelak jika telah dewasa, putranya menemui Prabu Basudewa di
Mandura. Bagiamanapun juga, jabang bayi itu tidak memiliki dosa apa-apa.
Berkali-kali Haryaprabu Rukma
mengingatkan agar kakaknya tidak terbujuk oleh tipu muslihat Dewi Mahera dan
Kangsadewa. Prabu basudewa pun hanya terdiam. Hatinya masih bimbang, kasihan
melihat sosok putra mendiang istrinya sedang memelas di hadapannya.
“Baiklah, kakang Basudewa. Jika paduka
tidak mau menerima Kangsadewa sebagai anak, biarlah aku yang menggantikannya
sebagai ayah,” pungkas Harya Ugrasena.
“Oh, ayahku,” seru Kangsadewa. Seketika
ia menubruk tubuh Harya Ugrasena dan memeluknya dengan berderaian air mata.
*****
Gempar suasana pendopo Mandura yang sedang
berdebat tiada ujung pangkal atas kehadiran Kangsadewa, ketika terdengar
hiruk pikuk suara prajurit dari alun-alun.
“Musuh datang … musuh datang!” seru
puluhan prajurit penjaga perbatasan.
Patih Saragupita, Harya Ugrasena dan
Haryaprabu Rukma sebagai senopati Mandura sontak langsung menyiapkan
pasukannya. Dari kejauhan tampak ratusan pasukan bangsa raksasa dipimpin
Suratimantra bergerak mendekati alun-alun.
Kangsadewa tersenyum dalam hati. Pamannya,
Suratimantra datang tepat pada waktunya, tidak meleset sedikitpun dari rencana
yang telah ia susun. Dengan penuh percaya diri, putra Dewi Mahera pun ikut
bergabung bersama pasukan Harya Ugrasena.
Kocar-kacir para prajurit Mandura
menahan gempuran bala tentara raksasa. Meski jumlah kedua kubu berimbang,
tetapi postur tubuh pasukan Suratimantra jauh lebih tinggi dan besar. Harya
Ugrasena, Haryaprabu Rukma dan Patih Saragupita pun kewalahan.
Sesosok anak muda bertubuh tegap
tiba-tiba menerobos ke barisan terdepan. Tanpa ampun dia langsung menerjang
Suratimantra.
Seolah-olah itu adalah pertempuran
nyata, Suratimantra terjungkal dari kudanya. Belum sempat ia bangun, pemuda
yang tak lain adalah Kangsadewa tadi telah menjambak rambutnya. Dalam hitungan
beberapa detik, tubuh sang paman telah dibanting berkali-kali ke rerumputan
alun-alun Mandura. Tanpa sempat memberikan perlawanan sedikitpun.
Suratimantra dan pasukannya menyatakan
menyerah kepada Kangsadewa. Mereka berpura-pura lari tunggang langgang
meninggalkan Mandura.
Prabu Basudewa menepuk-nepuk pundak
Kangsadewa,”Terima kasih, Kangsa. Meskipun belum sepenuhnya aku percaya dengan
semua kejadian ini, tetapi jasamu sungguh besar untuk Mandura. Engkau kuberi
hadiah Kadipaten Sengkapura!” titah sang raja Mandura.
Sejak hari itu, Kangsadewa diangkat menjadi
Adipati di Sengkapura. Ia juga diakui Prabu Basudewa sebagai anak.
Sepeninggal putra Dewi Mahera, Prabu
Basudewa baru teringat pada pesan Bhatara Narada dua puluh tahun silam dalam
tapa bratanya,”Kelak, sembunyikan putra-putrimu semenjak kecil, karena akan
datang seorang putra yang sebenarnya tak engkau inginkan. Ia yang akan membuat
keonaran di Mandura, Basudewa.”
Sang raja Mandura menerka-nerka,
apakah Kangsadewa adalah sosok yang disebut Bhatara Narada dalam wangsitnya?
*****
Waktu terus berjalan, tanpa
sepengetahuan Mandura, Adipati Kangsadewa diam-diam menyusun kekuatan baru di
Sengkapura. Ia juga menggabungkan kekuatan pasukan Gowa Barong yang sejatinya
telah dikuasainya. Suratimantra menjadi penasehat ulungnya.
Dengan bekal ilmu linuwih yang dua puluh tahun ia pelajari dari Begawan Anggawangsa
di gunung Rawisrengga, Kangsadewa merasa sudah memiliki persiapan kekuatan
lebih dari cukup untuk menaklukkan Mandura.
Ia pun memerintahkan seluruh pasukan
Gowa Barong dan Sengkapura bergerak menuju Mandura.
Setengah hari perjalanan, sampailah
Kangsadewa dan Suratimantra di pendopo Mandura. Sementara bala tentara mereka
masih bersembunyi diluar perbatasan. Hadir ketika itu Prabu Basudewa bersama
Patih Saragupita, Haryaprabu Rukma dan Harya Ugrasena.
“Ayahanda Prabu Basudewa, teliksandi
Sengkapura melaporkan ada gerak-gerik mencurigakan di desa Widarakandang.
Seorang pertapa tua bersama ketiga muridnya menanam sepasang pohon beringin
besar mirip benteng. Perbuatan itu bisa menjadi cikal bakal makar terhadap kedaulatan Mandura.
Ijinkan aku menggempurnya hari ini,” lapor Kangsadewa.
“Jangan gegabah, Kangsadewa. Tidak
perlu engkau menyerang desa kecil itu. Cukuplah kita mengirimkan seorang utusan
untuk meminta penjelasan dari mereka dahulu. Kita tegur secara baik-baik,”
jawab Prabu Basudewa. Dalam hati sebenarnya ia mengerti bahwa orang-orang yang
dimaksud Kangsadewa adalah ketiga putra-putinya. Kakrasana, Narayana dan Roro
Ireng yang sejak lahir ia titipkan kepada Buyut Antagopa dan Nyai Sagopi di
desa Widarakandang. Sesuai petunjuk Bhatara Narada dalam tapa bratanya.
Begitu pula dengan Kangsadewa,
sejatinya ia juga mengetahui bahwa tiga murid Begawan Antagopa adalah anak-anak
Prabu Basudewa yang selama ini ia cari untuk dibunuh.
Kangsadewa pun kecewa, ia keluar dari
pendopo Mandura tanpa pamit. Tak berselang lama, bersama Suratimantra dan
ribuan bala tentara raksasa Gowa Barong dan Sengkapura, mereka kembali lagi
memasuki istana Mandura. Kali ini sudah mengangkat senjata dan menyerang setiap
orang yang ditemui.
Prabu Basudewa dan Harya Ugrasena
terkejut ketika Kangsadewa tiba-tiba menerobos masuk pendopo dan menghajar mereka
berdua dengan Gada Lohitamuka pemberian gurunya, Begawan Anggawangsa.
Tanpa perlawanan berarti, Kangsadewa
berhasil meringkus Prabu Basudewa dan Harya Ugrasena. Dua orang yang sebelumnya
telah memberinya banyak kedudukan dan kesempatan, kini dikhianatinya.
Di tempat lain, tak jauh dari pendopo
Mandura, Suratimantra bersama senopati Gowa Barong Ditya Kalanasura dan puluhan
pasukan raksasa mengeroyok Patih Saragupita dan Haryaprabu Rukma. Jumlah yang
tak berimbang itu membuat kedua punggawa Mandura menyerah di tangan
pemberontak.
Kangsadewa tertawa puas melihat
kemenangan gemilang pasukannya. Ia menjebloskan Prabu Basudewa, Patih
Saragupita, dan Harya Ugrasena ke dalam penjara. Sedangkan Haryaprabu Rukma
tetap dibiarkan bebas, sebagai balas budi atas perbuatannya ketika membiarkan
Dewi Mahera tetap hidup di tengah hutan Rawisrengga dahulu.
“Tetapi engkau harus menuruti
perintahku, Haryaprabu Rukma. Berangkatlah ke Widarakandang untuk menjemput anak-anak Basudewa!” seru Kangsadewa.
*****
Dengan dikawal Ditya Kalanasura dan
pasukan raksasa, berangkatlah Haryaprabu Rukma menuju desa Widarakandang.
Buyut Antagopa menyambut kedatangan
pasukan besar utusan Kangsadewa di depan padepokan Widarakandang. Firasatnya
mengatakan ada peristiwa buruk yang akan menimpa para momongannya.
Pagi hari tadi, Buyut Antagopa telah
memerintahkan istrinya Nyai Sagopi untuk membawa pergi jauh Roror Ireng ke
Hastina. Mengungsi ke istana Prabu Pandudewanata. Sementara Narayana, sejak
beberapa bulan terakhir telah pergi berkelana. Menimba ilmu pada Resi
Padmanaba.
Hanya ada Kakrasana di Widarakandang
hari itu. Ia sedang membajak sawah saat Haryaprabu Rukma bersama pasukan Ditya
Kalanasura datang.
“Tujuan kami kemari adalah
menyampaikan undangan dari Prabu Kangsadewa kepada ketiga momonganmu. Tujuh
hari lagi, mereka diminta datang ke Mandura. Ada sayembara Adu Jago yang
diadakan raja kami yang baru,” jelas Haryaprabu Rukma.
Buyut Antagopa sejatinya mengerti
bahwa Haryaprabu Rukma berbicara sembari memberikan isyarat kepadanya agar para
putra Prabu Basudewa diselamatkan dari tipu muslihat Kangsadewa ini.
Sambil manggut-manggut seolah setuju, Buyut
Antagopa berjalan mendekati Haryaprabu Rukma, “Nanti jika Kakrasana datang,
berpura-puralah menyerangku. Saat terjadi keributan, paduka Haryaprabu Rukma
segeralah lari sejauh-jauhnya. Datangi Begawan Abyasa di puncak gunung Sapta
Arga untuk meminta bantuan. Hanya beliau yang tahu caranya menyelesaikan sepak
terjang Kangsadewa,” bisiknya.
Brak!
Haryaprabu Rukma mendorong tubuh Buyut
Antagopa ketika melihat seorang pemuda berkulit bule memasuki padepokan
Widarakandang.
Seketika, Kakrasana, pemuda berkulit bule meradang. Tanpa berkenalan, ia langsung balas menyerang Haryaprabu Rukma.
Terjadi pertarungan sengit antara keduanya.
“Bantu aku, Ditya Kalanasura!” teriak
Haryaprabu Rukma saat ia melihat Buyut Antagopa memberi isyarat bahwa sudah
tiba saatnya rencana yang dibisikkan pertapa Widarakandang tadi dijalankan.
Serentak Ditya Kalanasura dan pasukan
raksasa menyerang Kakrasana. Haryaprabu Rukma bergeser ke belakang. Ketika
Buyut Antagopa mengibaskan tangannya, secepat kilat ia berlari sekencang-kencangnya
meninggalkan padepokan Widarakandang.
Sementara Kakrasana masih berjibaku menghadapi
keroyokan Ditya Kalanasura dan pasukan raksasanya. Buyut Antagopa ikut
membantu, lalu berbisik,”Ngger,
segera larilah menyelamatkan diri. Bertapalah di gunung Rewataka. Mintalah
petunjuk dari Dewata untuk menghadapi masalah ini,” pungkasnya.
“Aku tidak bisa meninggalkan bapa
sendirian menghadapi mereka,” jawab Kakrasana.
“Cepat pergi, Kakrasana. Biar aku
menahan mereka!” perintah Buyut Antagopa.
Dengan deraian air mata karena melihat
tubuh renta Buyut Antagopa mulai
berlumur darah menahan gempuran keroyokan Ditya Kalanasura dan para prajurit raksasa,
akhirnya Kakrasana melesat meninggalkan Widarakandang.
Dengan sisa-sisa tenaganya, Buyut
Antagopa bertahan selama mungkin menghadang setiap raksasa yang hendak mengejar
momongannya. Ia pun akhirnya roboh meregang nyawa.
Pengorbanannya tidak sia-sia. Hari itu
Haryaprabu Rukma telah sampai di pertapaan gunung Sapta Arga menemui Begawan
Abyasa untuk meminta bantuan. Sementara Kakarasana berhasil menyelamatkan diri
dan kini bertapa brata di puncak gunung Rewataka.
oo00 BERSAMBUNG 00oo
Heru Sang Mahadewa
Member of #OneDayOnePostBaca cerita selanjutnya [ Disini ]
Aku suka pas kangsadewa bilang budhal, jawa banget :)
BalasHapus