4.DEWI PRAMESTI
Plak!
Sebuah tamparan dari telapak tangan Astradarma yang kekar
mendarat di wajah Dewi Pramesti. Meninggalkan bekas merah pada kulit pipi putri
kesayangan Prabu Jayabaya.
“Dasar perempuan jalang!” maki Astradarma.
“Dari dulu, kelakuan wangsa Gendrayana tidak pernah
benar. Pantas kalau anak cucunya juga berwatak asusila sepertimu, Pramesti!”
belum puas Astradarma meluapkan amarahnya.
Dewi Pramesti tersungkur di sudut biliknya. Ia tidak
sempat membela diri. Sanggahan yang diucapkannya pun tidak bisa diterima oleh
nalar Astradarna.
Tamparan terakhir dari putra mahkota Yawastina memecahkan bibir Dewi Pramesti. Darah segar mengalir. Menyatu dengan buliran air mata yang
membasahi lukanya.
*****
Dua bulan tinggal Yawastina, Dewi Pramesti
bermimpi didatangi lagi sosok yang dulu cuma dikenal sebatas dalam dongeng para brahmana.
Namun saat ayahnya memberikan Kalung
Robyong Mustikowati, ia dapat bertatap muka langsung dengan Dewa yang
dipuja-puja rakyat Mamenang.
Bhatara Wisnu.
Seperti saat pertama kali bertemu, Dewi Pramesti kembali
gemetar. Keringat dingin bercucuran lagi pada tubuhnya yang menggigil.
Ia bersimpuh di hadapan sosok berjubah putih.
“Apakah paduka adalah ayanda Prabu Jayabaya?”
“Bukan!”
“Paduka siapa?”
“Aku Bhatara Wisnu.”
“Bhatara Wisnu? Sembahku untukmu, Dewa.”
“Kuterima sembahmu, Pramesti.”
“Untuk apa Bhatara Wisnu menemuiku?”
“Ketahuilah Pramesti, setelah ini aku akan menitis ke
dalam putramu. Aku akan turun lagi ke Arcapada melalui janin dalam kandunganmu,”
jelas Bhatara Wisnu.
Sesaat kemudian, sosok Bhatara Wisnu berubah menjadi sinar kuning keemasan.
Cahayanya membentuk sebuah gumpalan, lalu melesat ke perut Dewi Pramesti.
Ruangan kembali gelap gulita.
Seketika Dewi Pramesti terjaga dari mimpinya. Ia meloncat
dari tempat tidur. Napasnya masih terengah-engah. Astradarma yang ikut
terbangun, segera menyeka keringat yang bercucuran di pelipis dan dahi.
“Engkau bermimpi buruk, Pramesti?” tanya Astradarma.
Dewi Pramesti tidak menjawab. Ia hanya menggeleng-gelengkan
kepala. Tangannya meraih guci berisi air minum yang terletak di meja dekat
pembaringan.
Dengan tangan yang tetap menyisakan gemetar, ia tuang beberapa teguk air untuk membasahi kerongkongan.
*****
Yawastina gempar!
Ketika bangun dari tidurnya, perut Dewi Pramesti, istri
putra mahkota pangeran Astradarma sudah membuncit. Dalam usia pernikahan yang
baru dua bulan, mustahil ia telah mengandung sebesar itu.
Dewi Pramesti berusaha menjelaskan mimpinya kepada
sang suami. Bahwa dalam tidurnya ia didatangi Bhatara Wisnu yang mengatakan hendak menitis
kepada putra mereka kelak.
“Jangan membual engkau, Pramesti!” Astradarma tidak
mempercayai ucapan Dewi Pramesti.
Ia menganggap sebelum pernikahan mereka, Dewi Pramesti
telah berbuat perbuatan asusila saat masih tinggal di Mamenang.
“Jagat seisinya menjadi saksi, aku tak pernah sekalipun di
sentuh lelaki selain dirimu, kakang Astradarma,” jelas Dewi Pramesti.
Pangeran Astradarma sudah tidak bisa menguasai diri.
Amarahnya telah memuncak tatkala mengetahui perut istrinya membesar. Kondisi Dewi Pramesti memang seperti tinggal
menunggu hari saja untuk melahirkan.
“Minggato 17) dari Yawastina!”
usir pangeran Astradarma.
Ia mengangkat tubuh Dewi Pramesti yang menangis
sesenggukan di sudut bilik. Setelah berdiri, didorongnya putri kesayangan Prabu Jayabaya keluar dari ruangan.
“Jangan pernah menginjakkan kaki lagi di tanah Yawastina,
perempuan jalang!” pungkas pangeran Astradarma.
*****
Dua hari sudah Dewi Pramesti berjalan menyusuri belantara
hutan Yawastina. Ia terus melangkahkan kaki menuju arah selatan. Tanpa
pengawalan seorang prajurit pun. Wanita malang yang sedang mengandung tua itu
hanya mengandalkan rasi bintang gubuk penceng 18) sebagai tujuan. Ketika
malam hari, ia mencari letak gugusan benda langit itu, lalu saat pagi tiba,
langkahnya diarahkan kesana.
"Bengawan Brantas terletak di bawah gugusan itu," pikir
Dewi Pramesti.
Suara kokok ayam hutan terdengar bersahut-sahutan. Sang
Bagaskara mulai mengintip dengan warna kemerahan di ufuk timur, Dewi Pramesti sampai tepi hutan yang penuh dengan tanaman
pandan.
“Ini pasti gunung Pandan. Aku telah berhasil melewatinya. Berarti Mamenang tinggal sehari perjalanan,” gumamnya.
Belum sempat ia melanjutkan perjalanan, tiba-tiba timbul
rasa nyeri dalam perutnya. Dewi Pramesti mengira bahwa mungkin ia hendak
membuang hajat.
Tetapi rasa nyeri itu berubah menjadi sakit yang luar
biasa, ketika ia sampai di tepi sebuah parit. Semakin lama kian tak
tertahankan.
Dewi Pramesti terjatuh di tepian parit, kesadarannya
masih utuh. Tangannya menggapai akar-akar pohon gayam yang banyak tumbuh disana.
Ia menjerit sekeras-kerasnya ketika darah segar merembes keluar dari pangkal
kedua kakinya.
Dengan sisa-sisa tenaganya, Dewi Pramesti berusaha
mengatur napasnya yang naik turun tak beraturan. Keringat sebesar biji jagung
bergelintiran jatuh dari dahi dan pelipisnya.
“Ya Dewata, kuatkahlah aku ….!” jeritnya.
Jeritan yang disambut dengan tangis keras seorang jabang bayi laki-laki. Seorang bocah mungil baru saja keluar dari rahimnya.
Setelah itu, Dewi Pramesti hanya bisa melihat warna hitam dan gelap gulita dalam pandangannya. Padahal hari telah pagi. Sang putri kesayangan Prabu Jayabaya tergolek tak berdaya. Pingsang
beberapa saat.
Ketika membuka mata, buru-buru Dewi Pramesti memeluk erat
bayinya. Ia ingat akan kejadian yang dialaminya sebelum pingsan tadi.
Namun yang membuat dirinya bertanya-tanya adalah kenapa
putranya kini telah bersih dari lumuran darah. Selembar kain sutera juga telah
membalut tubuh bayinya.
Siapa yang telah menolongnya?
*****
Sepasang mata mengintai dari balik rerimbunan belukar
hutan pandan. Mata yang buas dan liar. Hidungnya terlihat kembang-kempis
menahan hasrat jahat terhadap dua manusia dihadapannya. Dewi Pramesti dan
bayinya.
“Pergi kau!” usir Dewi Pramesti.
“Jangan mendekat!” bentaknya.
Seekor harimau jantan yang sejak tadi mengintainya, kini telah berdiri di hadapannya.
Binatang buas itu menjawab dengan auman keras. Mulutnya
terbuka lebar. Taring-taring yang tajam dan basah oleh tetesan air liur membuat
sang harimau terlihat semakin menakutkan.
Dalam hitungan beberapa detik, harimau lapar itu telah
mengambil ancang-ancang hendak menerkam Dewi Pramesti dan bayinya.
Tanpa berpikir panjang, Dewi
Pramesti berlari sekuat tenaga sambil menggendong bayinya. Harimau yang tampaknya telah lama tidak
mendapatkan mangsa langsung mengejar. Bintang itu tak mau kehilangan buruannya.
Naas bagi Dewi Pramesti, ia jatuh tersungkur ketika
kakinya tersangkut akar pohon gayam. Dilihatnya harimau jantan yang mengejarnya
semakin mendekat.
Kalung Robyong
Mustikowati!
Dewi Pramesti teringat pesan ayahnya, Prabu Jayabaya.
Dalam keadaan tertimpa bahaya, sentuhlah kalung pusaka itu.
Harimau yang memburunya telah melompat dan menerkam Dewi
Pramesti. Nyaris bersamaan dengan gerakan tangannya menyentuh kulit leher, tempat pusaka
pemberian Prabu Jayabaya menyatu.
Grhhhhhhhhhh ….!
Terpental tubuh sang harimau. Terhempas pada
bebatuan besar, lalu berguling-guling akibat benturan keras dengan sebuah
kekuatan tak tampak mata yang keluar
dari tubuh Dewi Pramesti.
Binatang buas itu terus terlempar hingga jauh ke bawah
bukit. Tidak bergerak lagi.
Tetapi naas bagi Dewi Pramesti. Kekuatan dahsyat Kalung Robyong Mustikowati juga membuat
jabang bayinya ikut terpental dari gendongannya.
Tubuh bayi mungil tak berdosa itu bahkan terperosok ke
dalam jurang terjal. Ketika Dewi Pramesti mengejarnya, ia tidak bisa melihat
dasarnya. Hanya rerimbunan pohon dan semak belukar yang tampak jauh di bawah
sana.
Dewi Pramesti menangis sekeras-kerasnya. Meratapi
penderitaan yang dialaminya semenjak terusir dari Yawastina.
Ia terlunta-lunta hingga melahirkan di tengah hutan belantara.
Lalu, kini kehilangan jabang bayinya pula.
-ooOO BERSAMBUNG OOoo-
(Heru Sang
Mahadewa)
Member Of #OneDayOnePost
Baca cerita sebelumnya [Disini ]
Catatan
:
17) minggato = Enyahlah.
18) gubuk penceng = Rasi
bintang pari.
Wow...keren..
BalasHapusTegang nih kang.
suwun mbakyu ..
BalasHapus