2.DEWI PRAMESTI
Suara gemericik air dari tujuh pancuran yang
berada di sudut petirtaan terdengar riuh rendah.
Bersahut dengan tawa dua bocah perempuan yang bermain di taman dekat petirtaan.
Tempat itu dikelilingi pagar tinggi mirip benteng. Pintu gerbangnya dijaga puluhan prajurit. Siapapun tidak diperbolehkan masuk kecuali
keluarga Prabu Jayabaya. Juga para abdi
dalem8) kepercayaan.
Tak jauh dari taman dan petirtaan, tepatnya di
tengah-tengah kompleks, berdiri sebuah bangunan joglo dengan serambi dan
halaman cukup luas. Pilar-pilar yang terbuat dari kayu jati berukuran besar
menopang pendopo yang menjadi ruang utama.
Berbagai jenis kembang bertebaran tumbuh di halaman
pendopo. Beberapa abdi dalem terlihat
menyiram dan memetik dedaunan bunga yang menguning.
Istana Kaputren Mamenang.
Kompleks yang menjadi tempat tinggal istri dan anak-anak Prabu
Jayabaya. Terletak di belakang paseban agung istana kerajaan Mamenang.
Bersebelahan dengan bale kedaton yang menjadi tempat peristirahatan sang nata9).
*****
Ratu Dewi Sara, permaisuri Prabu Jayabaya meninggalkan
petirtaan. Ia yang telah selesai membersihkan diri di tempat permandian ratu
itu, membiarkan ketiga putrinya asyik bermain-main di pancuran dan taman.
Selagi hari masih pagi, sang ratu ingin merias diri lebih cepat. Firasatnya
mengatakan sang nata sedang berkeinginan menemuinya.
“Pramesti, jaga adik-adikmu,” ucap ratu kepada anak
perempuan tertuanya.
“Iya kanjeng ibu.”
Dewi Pramesti. Begitu Prabu Jayabaya memberi nama kepada
putri pertamanya, setelah sebelumnya ia mendapatkan seorang putra sulung,
Pangeran Jaya Amijaya dari permaisurinya.
Berbeda dengan kakaknya pangeran Jaya Amijaya yang gemar
berlatih ilmu kanuragan ke berbagai Mpu di penjuru Mamenang, Dewi Pramesti
lebih sering menghabiskan waktunya di istana kaputren. Menjadi pamomong10)
bagi kedua adik perempuannya yang masih belia. Dewi Pramuni, berusia tujuh
tahun, dan Dewi Sasanti, putri bungsu sang ratu yang baru menginjak tiga tahun
umurnya.
Pada usia enam belas tahun sekarang, aura kecantikan ratu
Dewi Sara mulai menitis kepada Dewi Pramesti. Kulitnya kuning bersih, tubuh
lencir dengan postur tinggi. Rambutnya hitam tergurai sebatas pinggang. Bulu
matanya lentik. Lengkap sudah apa yang menjadi kelebihan seorang wanita, lekat
padanya.
“Engkau pemilik wahyu
prajna paramitha11),
putriku,” begitu sanjungan Dewi Sara dan Prabu Jayabaya setiap kali memanjakan
putrinya.
Biasanya, Dewi Pramesti hanya tersenyum kecil, sambil
bergelayut di lengan ibunya. Ia memang gadis yang rendah hati, lembut
tutur katanya pula.
Pagi itu, setelah ibunya lebih dahulu meninggalkan
petirtaan, Dewi Pramesti buru-buru membersihkan diri, lalu bergegas menghampiri
kedua adiknya, Dewi Pramuni dan Dewi Sasanti yang sedang bermain-main di taman
dekat tempat pemandian.
“Ayo segera mandi di petirtaan dan kembali ke istana,
Pramuni, Sasanti,” bujuk Dewi Pramesti kepada dua adiknya.
Dewi Pramuni dan Dewi Sasanti menurut saja. Sosok kakak
perempuan mereka yang lembut dan penyabar, memang membuat keduanya tidak pernah
berkeinginan untuk membantah.
Dewi Pramesti langsung menyambut tubuh si bungsu, Dewi
Sasanti yang meloncat ke gendongan pinggang sebelah kirinya. Sementara tangan
kanan putri kesayangan Prabu Jayabaya itu menggandeng adik satunya, Dewi
Pramuni.
*****
“Gusti prabu Jayabaya datang, segera kembali ke istana,
gusti putri,” bisik seorang dayang kepada Dewi Pramesti.
Setelah mempercepat membantu membersihkan tubuh kedua
adiknya di petirtaan, Dewi Pramesti segera mengajak mereka kembali ke bilik
kaputren.
Raja Mamenang, Prabu Jayabaya tidak dikawal seorang
prajurit pun hari itu. Ia sendirian memasuki kompleks istana kaputren. Ratu Dewi
Sara, bergegas menyambut suaminya setelah mendapat laporan dari abdi dalem bahwa sang nata telah datang.
“Bhaktiku untuk kakanda prabu,” sembah ratu Dewi Sara
sembari mencium tangan Jayabaya.
“Janur gunung12), kakanda datang di
kedaton sepagi ini?” tanya permaisuri.
“Tentu saja karena aku merindukanmu, ratuku,” balas
Jayabaya dengan senyum wibawanya. Senyum yang dulu semasa muda senantiasa
menghiasi bangunan dinding sukma Dewi Sara.
“Ah, kakanda prabu dari dulu selalu pandai membahagiakan
perasaanku,” balas Dewi Sara tersipu. Ia tertunduk, lalu mengambil duduk di
sebuah kursi berukiran indah. Tepat di samping sang nata. Prabu Jayabaya.
“Hingga aku muksa kelak, engkau tetap yang terindah, adinda,”
kembali ucapan Jayabaya membuat muka ratu
permaisuri kian memerah.
Tangan sang nata
menggenggam jemari Dewi Sara. Suasana pendopo kaputren Mamenang yang hening, seolah
ikut tersipu menjadi saksi bisu romantisme penguasa Jawadipa.
Sayup-sayup kembali terdengar gemericik air dari taman
petirtaan. Juga kicauan gareng pong13), semakin menenggelamkan
Jayabaya dan Dewi Sara dalam reuni pesona hati.
“Adinda, sebenarnya aku kemari ingin membicarakan putri
kita, Dewi Pramesti,” Jayabaya mulai membuka pembicaraan setelah beberapa waktu
sebelumnya larut dalam pesona Dewi Sara.
“Ada apa dengan Pramesti, apakah dia telah melakukan
kesalahan, kakanda?” tanya ratu permaisuri.
“Tidak adinda. Ini berkait dengan kedatangan Resi Hanoman
dari Kendalisada kemarin,” jawab Jayabaya.
“Brahmana sakti bermujud wanara seta itu berkeinginan
mengakhiri permusuhan Mamenang dengan Yawastina,” lanjut sang nata.
“Dengan jalan seperti apa?” tanya ratu Dewi Sara kembali.
“Resi Hanoman telah singgah di Yawastina sebelum
menemuiku. Brahmana itu juga sudah sepakat dengan Prabu Sariwahana dan pangeran
Astradarma untuk meminang putri kita, Dewi Pramesti. Jika kita menerima saran
itu, maka tak lama lagi utusan mereka akan datang melamar ke Mamenang,” pungkas
Jayabaya.
Dewi Sara terdiam. Sesaat ratu permaisuri Mamenang itu
terlihat memejamkan mata. Berandai-andai dengan pernikahan antara dua negeri
yang telah lama bermusuhan.
Bagaimana jika putrinya diboyong ke Yamastina? Lalu
disia-siakan disana? Ia tentu tidak ingin Dewi Pramesti menjadi sasaran
pelampiasan dendam keturunan mendiang Sudarsana.
Ah, tidak. Itu hanya hayalan buruk saja, pikirnya. Niat
baik dari Resi Hanoman dan Prabu Sariwahana untuk menyatukan pangeran
Astradarma dengan Dewi Pramesti dalam ikatan pernikahan suci, tentu harus
disambut dengan niat mulia pula.
“Adinda ratu, bagiamana menurutmu?” suara teduh Jayabaya
membuyarkan lamunan Dewi Sara.
“Ah, aku sedang bimbang, kakanda. Tetapi menurutku niat
Resi Hanoman ini sungguh mulia. Menyatukan Yawastina yang telah hidup segan
mati tak mau dengan Mamenang yang termahsyur, tentu akan dapat merekatkan lagi
ikatan persaudaran kita, eyang Yudayana pasti bahagia di alam baka,” jawab sang
permaisuri.
Perkataan Dewi Sara sangat beralasan. Dalam beberapa
tahun, Yawastina semakin tenggelam oleh kemajuan Mamenang yang tumbuh menjadi
negeri maritim dan agraris. Kecakapan Prabu Jayabaya dalam memimpin jauh
melesat meninggalkan sepupunya, Prabu Sariwahana. Tidak heran, jika Mamenang
menuai masa keemasan kala itu.
Mendiang Prabu Yudayana, kakek dari Jayabaya dan
Sariwahana tentu tidak pernah menginginkan keturunannya terjerumus dalam perang
Bharatayuda. Perang saudara sesama wangsa Yudayana, yang berawal dari
perseteruan kedua putranya. Gendrayana, ayah Jayabaya dengan Sudarsana, ayah
Sariwahana.
“Aku sependapat denganmu, adinda. Tetapi keputusan dari
masalah ini justru berada di tangan putri kita. Serahkan semua kepadanya. Biarlah
Pramesti yang memilih, apakah bersedia dipersunting Astradarma atau tidak,”
jelas Jayabaya.
“Panggil Dewi Pramesti kemari, adinda!” perintah sang
nata.
“Sendika dhawuh14), kakanda prabu,”
jawab ratu Dewi Sara.
Sang ratu permaisuri meninggalkan raja Mamenang sesaat.
Berjalan ke belakang pendopo kaputren, lalu masuk ke bilik putri tertuanya.
Dewi Pramesti.
*****
Putri kesayangan Jayabaya, Dewi Pramesti sedang merias
diri di dalam bilik, ketika ibunya ratu Dewi Sara menghampiri.
Sang permaisuri Mamenang berdecak kagum melihat
kecantikan putrinya. Sungguh, semasa ia muda pun, meski dulu dikenal sebagai
pemilik wahyu prajna paramitha, tidak
ada seujung kuku dibanding pesona Dewi Pramesti sekarang.
“Pemilik wahyu prajna
paramitha, engkau dipanggil ramamu15),” sapa Dewi Sara kepada putrinya.
“Ah, ibunda. Selalu saja menyanjungku,” jawab Dewi Pramesti
sembari mencium tangan Dewi Sara.
“Ramamu Prabu Jayabaya sedang menunggu di pendopo
kaputren. Mari kuantar menemuinya,” ajak ratu permaisuri.
“Sendika dhawuh,
kanjeng ibu,” jawab Dewi Pramesti.
Dua wanita jelita beda generasi, ibu dan anak perempuannya berjalan keluar bilik. Beriringan tanpa dikawal abdi dalem, yang memang
sejak tadi dilarang oleh sang ratu. Mereka menuju pendopo kaputren.
Dengan senyum penuh wibawa, Jayabaya menyambut kedatangan
putri kesayangan. Tangannya dibentangkan lebar-lebar ketika Dewi Pramesti menyembah.
“Sembah bhaktiku untuk rama prabu,” ucap Dewi Pramesti.
“Kuterima bhaktimu, putriku,” balas Prabu Jayabaya lalu
memeluk tubuh putrinya.
“Duduklah disamping rama, Pramesti,” lanjut sang nata
sembari memerintahkan Dewi Pramesti mengambil posisi duduk disampingnya ia dan Dewi
Sara.
Kini, ketiga orang ayah, ibu dan putri telah
berhadap-hadapan di pendopo Mamenang.
Setelah bercengkerama sejenak, Jayabaya mengutarakan
maksudnya memanggil Dewi Pramesti. Kepada putri tertuanya itu, sang nata
menjelaskan perihal kisah masa lalu leluhur mereka dan Yawastina yang sejatinya
adalah sama. Mendiang eyang prabu Yudayana.
Perseteruan antara kakek Dewi Pramesti, Gendrayana dengan
Sudarsana berlanjut hingga ke masa Jayabaya dan Sariwahana. Hal itu belum
pernah diketahui oleh para penerus tahta Mamenang, baik pangeran Jaya Amijaya
maupun Dewi Pramesti. Apalagi Dewi Pramuni dan Dewi Sasanti yang masih kecil.
Setahu putra mahkota, pangeran Jaya Amijaya dan Dewi
Pramesti, Yawastina adalah negeri tetangga yang selalu menebar permusuhan
dengan Mamenang. Seringkali terjadi peperangan antara pasukan penjaga perbatasan
kedua kerajaan.
Prabu Jayabaya lalu menuturkan bahwa dirinya baru saja
menerima tamu seorang pertapa tua dari Kendalisada. Resi Hanoman, brahmana
berwujud kera putih berniat mendamaikan Yawastina dan Mamenang.
Atas saran Resi Hanoman, putra mahkota Yawastina pangeran
Astradarma hendak mempersunting Dewi Pramesti, untuk nempukake balung kapisah. Menyatukan kambali wangsa Yudayana yang
telah tercerai berai oleh perang saudara.
Prabu Jayabaya menyerahkan sepenuhnya keputusan ini
kepada Dewi Pramesti. Sebagai orang tua, ia akan mendukung apapun sikap
putrinya.
“Prinsipku hanya ingin menciptakan kedamaian di bumi
Jawadipa ini, rama. Jika memang pernikahan ini bisa mempersatukan hubungan
persaudaraan wangsa Yudayana yang telah koyak moyak, aku bersedia melakukan
dharma bhakti atas nama kemanusiaan. Semoga Dewata menjadikan Mamenang sebagai
negeri yang penuh kedamaian!” tegas Dewi Pramesti.
“Sungguh mulia sifatmu, Dewi Pramesti. Engkau bukan hanya
cantik di paras, tetapi juga elok di hati,” jawab Prabu Jayabaya sambil memeluk
erat putrinya.
*****
Jauh di puncak gunung Wilis, dua sosok berbeda wujud yang
sama-sama berilmu linuwih sedang
berhadap-hadapan.
Jayabaya yang melepas seluruh jubah kebesaran raja
Mamenang hanya berpakaian layaknya seorang pengembara. Sementara Resi Hanoman,
sosok pertapa sakti berwujud kera putih tampak serius mendengarkan penuturan
sang nata.
Gemuruh suara air terjun Singokromo tidak menyurutkan
keseriusan percakapan dua kesatria digdaya. Jayabaya dan Resi Hanoman duduk
bersila diatas bebatuan besar.
-ooOO BERSAMBUNG OOoo-
(Heru Sang
Mahadewa)
Member Of #OneDayOnePost
Catatan
:
8) Abdi dalem =
pelayan.
9) Nata =
raja.
10) Pamomomg =
pengasuh.
11) Wahyu prajna
paramitha = anugerah tertinggi Dewa kepada wanita, berupa
kecantikan.
12) Janur gunung =
tumben.
13) Garengpung = uir-uir,
jenis serangga yang mengeluarkan suara nyaring. Bahasa latinnya tibicen linnei. Biasa muncul di
penghujung musim penghujan. Di daerah Sunda disebut tongeret. Orang Makassar menamakan nyenyeng.
14) Sendika dhawuh =
siap laksanakan.15) Rama = ayah.
Akhirnya bisa buka link mas Heru. Asyiiikk...aku jadi ngebayangin ada di cerita itu mas.
BalasHapusHahaha ...
Hapusakhirnya disinggahi juga gubug ini
terima kasih mbk Denik
Ini dibikin drama kolosalnya keren kali ya.. 😍😍😍
BalasHapusBisa jadi ...
Hapushehehe
Suweeee men to her, anglingdarma ne jedul
BalasHapusSengaja menampilkan kisah klasik (legenda) iki dari sisi yang laen Lis.
Hapushahaha