Selasa, 06 Desember 2016

PELANGI DI LANGIT MALWAPATI (3)




2.DEWI PRAMESTI



Suara gemericik air dari tujuh pancuran yang berada di sudut petirtaan terdengar riuh rendah. Bersahut dengan tawa dua bocah perempuan yang bermain di taman dekat petirtaan.

Tempat itu dikelilingi pagar tinggi mirip benteng. Pintu gerbangnya dijaga puluhan prajurit. Siapapun tidak diperbolehkan masuk kecuali keluarga Prabu Jayabaya. Juga para abdi dalem8) kepercayaan.

Tak jauh dari taman dan petirtaan, tepatnya di tengah-tengah kompleks, berdiri sebuah bangunan joglo dengan serambi dan halaman cukup luas. Pilar-pilar yang terbuat dari kayu jati berukuran besar menopang pendopo yang menjadi ruang utama.

Berbagai jenis kembang bertebaran tumbuh di halaman pendopo. Beberapa abdi dalem terlihat menyiram dan memetik dedaunan bunga yang menguning.

Istana Kaputren Mamenang.

Kompleks yang menjadi tempat tinggal istri dan anak-anak Prabu Jayabaya. Terletak di belakang paseban agung istana kerajaan Mamenang. Bersebelahan dengan bale kedaton yang menjadi tempat peristirahatan sang nata9).

*****

Ratu Dewi Sara, permaisuri Prabu Jayabaya meninggalkan petirtaan. Ia yang telah selesai membersihkan diri di tempat permandian ratu itu, membiarkan ketiga putrinya asyik bermain-main di pancuran dan taman. Selagi hari masih pagi, sang ratu ingin merias diri lebih cepat. Firasatnya mengatakan sang nata sedang berkeinginan menemuinya.

“Pramesti, jaga adik-adikmu,” ucap ratu kepada anak perempuan tertuanya.

“Iya kanjeng ibu.”

Dewi Pramesti. Begitu Prabu Jayabaya memberi nama kepada putri pertamanya, setelah sebelumnya ia mendapatkan seorang putra sulung, Pangeran Jaya Amijaya dari permaisurinya.

Berbeda dengan kakaknya pangeran Jaya Amijaya yang gemar berlatih ilmu kanuragan ke berbagai Mpu di penjuru Mamenang, Dewi Pramesti lebih sering menghabiskan waktunya di istana kaputren. Menjadi pamomong10) bagi kedua adik perempuannya yang masih belia. Dewi Pramuni, berusia tujuh tahun, dan Dewi Sasanti, putri bungsu sang ratu yang baru menginjak tiga tahun umurnya.

Pada usia enam belas tahun sekarang, aura kecantikan ratu Dewi Sara mulai menitis kepada Dewi Pramesti. Kulitnya kuning bersih, tubuh lencir dengan postur tinggi. Rambutnya hitam tergurai sebatas pinggang. Bulu matanya lentik. Lengkap sudah apa yang menjadi kelebihan seorang wanita, lekat padanya.

“Engkau pemilik wahyu prajna paramitha11), putriku,” begitu sanjungan Dewi Sara dan Prabu Jayabaya setiap kali memanjakan putrinya.

Biasanya, Dewi Pramesti hanya tersenyum kecil, sambil bergelayut di lengan ibunya. Ia memang gadis yang rendah hati, lembut tutur katanya pula.

Pagi itu, setelah ibunya lebih dahulu meninggalkan petirtaan, Dewi Pramesti buru-buru membersihkan diri, lalu bergegas menghampiri kedua adiknya, Dewi Pramuni dan Dewi Sasanti yang sedang bermain-main di taman dekat tempat pemandian.

“Ayo segera mandi di petirtaan dan kembali ke istana, Pramuni, Sasanti,” bujuk Dewi Pramesti kepada dua adiknya.

Dewi Pramuni dan Dewi Sasanti menurut saja. Sosok kakak perempuan mereka yang lembut dan penyabar, memang membuat keduanya tidak pernah berkeinginan untuk membantah.

Dewi Pramesti langsung menyambut tubuh si bungsu, Dewi Sasanti yang meloncat ke gendongan pinggang sebelah kirinya. Sementara tangan kanan putri kesayangan Prabu Jayabaya itu menggandeng adik satunya, Dewi Pramuni.

*****

“Gusti prabu Jayabaya datang, segera kembali ke istana, gusti putri,” bisik seorang dayang kepada Dewi Pramesti.

Setelah mempercepat membantu membersihkan tubuh kedua adiknya di petirtaan, Dewi Pramesti segera mengajak mereka kembali ke bilik kaputren.

Raja Mamenang, Prabu Jayabaya tidak dikawal seorang prajurit pun hari itu. Ia sendirian memasuki kompleks istana kaputren. Ratu Dewi Sara, bergegas menyambut suaminya setelah mendapat laporan dari abdi dalem bahwa sang nata telah datang.

“Bhaktiku untuk kakanda prabu,” sembah ratu Dewi Sara sembari mencium tangan Jayabaya.

Janur gunung12), kakanda datang di kedaton sepagi ini?” tanya permaisuri.

“Tentu saja karena aku merindukanmu, ratuku,” balas Jayabaya dengan senyum wibawanya. Senyum yang dulu semasa muda senantiasa menghiasi bangunan dinding sukma Dewi Sara.

“Ah, kakanda prabu dari dulu selalu pandai membahagiakan perasaanku,” balas Dewi Sara tersipu. Ia tertunduk, lalu mengambil duduk di sebuah kursi berukiran indah. Tepat di samping sang nata. Prabu Jayabaya.

“Hingga aku muksa kelak, engkau tetap yang terindah, adinda,” kembali ucapan Jayabaya  membuat muka ratu permaisuri kian memerah.

Tangan sang nata menggenggam jemari Dewi Sara. Suasana pendopo kaputren Mamenang yang hening, seolah ikut tersipu menjadi saksi bisu romantisme penguasa Jawadipa.

Sayup-sayup kembali terdengar gemericik air dari taman petirtaan. Juga kicauan gareng pong13), semakin menenggelamkan Jayabaya dan Dewi Sara dalam reuni pesona hati.

“Adinda, sebenarnya aku kemari ingin membicarakan putri kita, Dewi Pramesti,” Jayabaya mulai membuka pembicaraan setelah beberapa waktu sebelumnya larut dalam pesona Dewi Sara.

“Ada apa dengan Pramesti, apakah dia telah melakukan kesalahan, kakanda?” tanya ratu permaisuri.

“Tidak adinda. Ini berkait dengan kedatangan Resi Hanoman dari Kendalisada kemarin,” jawab Jayabaya.

“Brahmana sakti bermujud wanara seta itu berkeinginan mengakhiri permusuhan Mamenang dengan Yawastina,” lanjut sang nata.

“Dengan jalan seperti apa?” tanya ratu Dewi Sara kembali.

“Resi Hanoman telah singgah di Yawastina sebelum menemuiku. Brahmana itu juga sudah sepakat dengan Prabu Sariwahana dan pangeran Astradarma untuk meminang putri kita, Dewi Pramesti. Jika kita menerima saran itu, maka tak lama lagi utusan mereka akan datang melamar ke Mamenang,” pungkas Jayabaya.

Dewi Sara terdiam. Sesaat ratu permaisuri Mamenang itu terlihat memejamkan mata. Berandai-andai dengan pernikahan antara dua negeri yang telah lama bermusuhan.

Bagaimana jika putrinya diboyong ke Yamastina? Lalu disia-siakan disana? Ia tentu tidak ingin Dewi Pramesti menjadi sasaran pelampiasan dendam keturunan mendiang Sudarsana.

Ah, tidak. Itu hanya hayalan buruk saja, pikirnya. Niat baik dari Resi Hanoman dan Prabu Sariwahana untuk menyatukan pangeran Astradarma dengan Dewi Pramesti dalam ikatan pernikahan suci, tentu harus disambut dengan niat mulia pula.

“Adinda ratu, bagiamana menurutmu?” suara teduh Jayabaya membuyarkan lamunan Dewi Sara.

“Ah, aku sedang bimbang, kakanda. Tetapi menurutku niat Resi Hanoman ini sungguh mulia. Menyatukan Yawastina yang telah hidup segan mati tak mau dengan Mamenang yang termahsyur, tentu akan dapat merekatkan lagi ikatan persaudaran kita, eyang Yudayana pasti bahagia di alam baka,” jawab sang permaisuri.

Perkataan Dewi Sara sangat beralasan. Dalam beberapa tahun, Yawastina semakin tenggelam oleh kemajuan Mamenang yang tumbuh menjadi negeri maritim dan agraris. Kecakapan Prabu Jayabaya dalam memimpin jauh melesat meninggalkan sepupunya, Prabu Sariwahana. Tidak heran, jika Mamenang menuai masa keemasan kala itu.

Mendiang Prabu Yudayana, kakek dari Jayabaya dan Sariwahana tentu tidak pernah menginginkan keturunannya terjerumus dalam perang Bharatayuda. Perang saudara sesama wangsa Yudayana, yang berawal dari perseteruan kedua putranya. Gendrayana, ayah Jayabaya dengan Sudarsana, ayah Sariwahana.

“Aku sependapat denganmu, adinda. Tetapi keputusan dari masalah ini justru berada di tangan putri kita. Serahkan semua kepadanya. Biarlah Pramesti yang memilih, apakah bersedia dipersunting Astradarma atau tidak,” jelas Jayabaya.

“Panggil Dewi Pramesti kemari, adinda!” perintah sang nata.

Sendika dhawuh14), kakanda prabu,” jawab ratu Dewi Sara.

Sang ratu permaisuri meninggalkan raja Mamenang sesaat. Berjalan ke belakang pendopo kaputren, lalu masuk ke bilik putri tertuanya. Dewi Pramesti.

*****

Putri kesayangan Jayabaya, Dewi Pramesti sedang merias diri di dalam bilik, ketika ibunya ratu Dewi Sara menghampiri.

Sang permaisuri Mamenang berdecak kagum melihat kecantikan putrinya. Sungguh, semasa ia muda pun, meski dulu dikenal sebagai pemilik wahyu prajna paramitha, tidak ada seujung kuku dibanding pesona Dewi Pramesti sekarang.

“Pemilik wahyu prajna paramitha, engkau dipanggil ramamu15),” sapa Dewi Sara kepada putrinya.

“Ah, ibunda. Selalu saja menyanjungku,” jawab Dewi Pramesti sembari mencium tangan Dewi Sara.

Ramamu Prabu Jayabaya sedang menunggu di pendopo kaputren. Mari kuantar menemuinya,” ajak ratu permaisuri.

Sendika dhawuh, kanjeng ibu,” jawab Dewi Pramesti.

Dua wanita jelita beda generasi, ibu dan anak perempuannya berjalan keluar bilik. Beriringan tanpa dikawal abdi dalem, yang memang sejak tadi dilarang oleh sang ratu. Mereka menuju pendopo kaputren.

Dengan senyum penuh wibawa, Jayabaya menyambut kedatangan putri kesayangan. Tangannya dibentangkan lebar-lebar ketika Dewi Pramesti menyembah.

“Sembah bhaktiku untuk rama prabu,” ucap Dewi Pramesti.

“Kuterima bhaktimu, putriku,” balas Prabu Jayabaya lalu memeluk tubuh putrinya.

“Duduklah disamping rama, Pramesti,” lanjut sang nata sembari memerintahkan Dewi Pramesti mengambil posisi duduk disampingnya ia dan Dewi Sara.

Kini, ketiga orang ayah, ibu dan putri telah berhadap-hadapan di pendopo Mamenang.

Setelah bercengkerama sejenak, Jayabaya mengutarakan maksudnya memanggil Dewi Pramesti. Kepada putri tertuanya itu, sang nata menjelaskan perihal kisah masa lalu leluhur mereka dan Yawastina yang sejatinya adalah sama. Mendiang eyang prabu Yudayana.

Perseteruan antara kakek Dewi Pramesti, Gendrayana dengan Sudarsana berlanjut hingga ke masa Jayabaya dan Sariwahana. Hal itu belum pernah diketahui oleh para penerus tahta Mamenang, baik pangeran Jaya Amijaya maupun Dewi Pramesti. Apalagi Dewi Pramuni dan Dewi Sasanti yang masih kecil.

Setahu putra mahkota, pangeran Jaya Amijaya dan Dewi Pramesti, Yawastina adalah negeri tetangga yang selalu menebar permusuhan dengan Mamenang. Seringkali terjadi peperangan antara pasukan penjaga perbatasan kedua kerajaan.

Prabu Jayabaya lalu menuturkan bahwa dirinya baru saja menerima tamu seorang pertapa tua dari Kendalisada. Resi Hanoman, brahmana berwujud kera putih berniat mendamaikan Yawastina dan Mamenang.

Atas saran Resi Hanoman, putra mahkota Yawastina pangeran Astradarma hendak mempersunting Dewi Pramesti, untuk nempukake balung kapisah. Menyatukan kambali wangsa Yudayana yang telah tercerai berai oleh perang saudara.

Prabu Jayabaya menyerahkan sepenuhnya keputusan ini kepada Dewi Pramesti. Sebagai orang tua, ia akan mendukung apapun sikap putrinya.

“Prinsipku hanya ingin menciptakan kedamaian di bumi Jawadipa ini, rama. Jika memang pernikahan ini bisa mempersatukan hubungan persaudaraan wangsa Yudayana yang telah koyak moyak, aku bersedia melakukan dharma bhakti atas nama kemanusiaan. Semoga Dewata menjadikan Mamenang sebagai negeri yang penuh kedamaian!” tegas Dewi Pramesti.

“Sungguh mulia sifatmu, Dewi Pramesti. Engkau bukan hanya cantik di paras, tetapi juga elok di hati,” jawab Prabu Jayabaya sambil memeluk erat putrinya.

*****

Jauh di puncak gunung Wilis, dua sosok berbeda wujud yang sama-sama berilmu linuwih sedang berhadap-hadapan.

Jayabaya yang melepas seluruh jubah kebesaran raja Mamenang hanya berpakaian layaknya seorang pengembara. Sementara Resi Hanoman, sosok pertapa sakti berwujud kera putih tampak serius mendengarkan penuturan sang nata.

Gemuruh suara air terjun Singokromo tidak menyurutkan keseriusan percakapan dua kesatria digdaya. Jayabaya dan Resi Hanoman duduk bersila diatas bebatuan besar.


-ooOO BERSAMBUNG OOoo-

(Heru Sang Mahadewa)
Member Of #OneDayOnePost

Baca cerita sebelumnya [Disini ]
Cerita selanjutnya [Disini ]

Catatan :
8) Abdi dalem = pelayan.
9) Nata = raja.
10) Pamomomg = pengasuh.
11) Wahyu prajna paramitha = anugerah tertinggi Dewa kepada wanita, berupa kecantikan.
12) Janur gunung = tumben.

13) Garengpung = uir-uir, jenis serangga yang mengeluarkan suara nyaring. Bahasa latinnya tibicen linnei. Biasa muncul di penghujung musim penghujan. Di daerah Sunda disebut tongeret. Orang Makassar menamakan nyenyeng.
14) Sendika dhawuh = siap laksanakan.
15) Rama = ayah.

6 komentar:

  1. Akhirnya bisa buka link mas Heru. Asyiiikk...aku jadi ngebayangin ada di cerita itu mas.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha ...
      akhirnya disinggahi juga gubug ini
      terima kasih mbk Denik

      Hapus
  2. Ini dibikin drama kolosalnya keren kali ya.. 😍😍😍

    BalasHapus
  3. Suweeee men to her, anglingdarma ne jedul

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sengaja menampilkan kisah klasik (legenda) iki dari sisi yang laen Lis.
      hahaha

      Hapus

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *