Kangsadewa - image google |
Jauh dari Widarakandang
dan Mandura, di sebuah padepokan kecil, seorang guru dan murid sedang duduk sambil bercakap-cakap di sudut
serambi.
“Narayana, ketahuilah bahwa sejatinya engkau
adalah titisan Bhatara Wisnu,” ucap Resi Padmanaba, pertapa sakti di padepokan
Utarayana.
“Benarkah, guru?” tanya Narayana.
“Sebelum menitis kepadamu, Bhatara
Wisnu menitipkan kepadaku tiga pusakanya agar kelak diberikan jika bayi
titisannya telah dewasa. Kini, saatnya aku memberikan benda itu kepadamu,
Narayana.” Jelas Resi Padmanaba.
Narayana menghaturkan sembah kepada
Resi Padmanaba. Sesaat kemudian sang guru memberikan tiga buah pusaka titipan
Bhatara Wisnu.
Pusaka pertama berbentuk cakram, bernama
Cakra Sudarsana. Siapapun yang terkena senjata ini akan tewas, meski memiliki
ilmu kesaktian yang sangat tinggi. Tetapi ia hanya boleh digunakan untuk
membunuh manusia yang berdosa saja. Cakra Sudarsana menyatu dalam dada
Narayana.
Pusaka kedua berwujud bunga, dinamakan
Kembang Wijayakusuma. Senjata ini dapat menghidupkan manusia yang telah mati.
Tetapi hanya orang-orang yang belum dapat menyelesaikan tugasnya di dunia yang
boleh dihidupkan lagi. Kembang Wijayakusuma menyatu ke ubun-ubun Narayana.
Pusaka ketiga adalah sebuah panah
kecil berukuran sehelai rambut, bernama Panah Kesawa. Jika dikeluarkan, maka
Narayana akan berubah wujud menjadi raksasa (tiwikrama) sebesar tujuh gunung
Jamurdipa yang tidak dapat dikalahkan siapapun. Brahala Sewu (Balasrewu) nama
raksasa itu. Pusaka Panah Kesawa menyatu ke dalam punggung Narayana.
“Tugasku telah selesai, kini hantarkan
sukmaku ke alam sunyaruri, Dewa Wisnu,” ucap Resi Padmanaba.
Kedua orang guru dan murid duduk
bersila sambil memejamkan mata, melepas segala rasa cipta duniawai. Tiba-tiba
memancar sebuah titik api dari dahi Narayana. Sedetik kemudian, menyambar tubuh
Resi Padmanaba hingga terbakar tak berbekas. Seiring melesatnya sukma ke alam
keabadian.
*****
Enam hari sudah Kakrasana bertapa
brata di puncak gunung Rewataka. Pada malam hari itu, hadir sesosok lelaki
berjubah kuning keemasan. Ia membangunkan putra sulung Prabu Baladewa itu dari
semedinya.
“Aku datang ke Arcapada untuk
memberimu pusaka, Kakrasana,” ucap Bhatara Brahma.
“Terima kasih, pukulun,” jawab
Kakrasana sambil menyembah sosok Dewa yang mendatanginya.
Bhatara Brahma lalu mengulurkan tiga
pusaka kepada Kakrasana.
Pusaka pertama berbentuk seperti bajak
sawah, bernama Kyai Nanggala. Siapapun yang terkena senjata ini, akan terbakar
dan hancur menjadi arang.
Pusaka kedua berbentuk senjata
pemukul, bernama Gada Alugora. Dan yang terakhir adalah Aji Balarama. Ilmu
kedigdayaan untuk menahan rasa lapar, kantuk, dan lelah.
Setelah menurunkan tiga pusaka itu,
Bhatara Brahma memerintahkan Kakrasana untuk pulang ke Mandura. Disana sudah
menunggu Kangsadewa yang akan mengadakan sayembara Adu Jago.
Kakrasana menyembah, lalu bergegas
turun dari puncak gunung Rewataka, seiring melesat terbangnya Sang Bhatara
Brahma kembali ke Kahyangan Suralaya.
*****
Laju kuda yang ditunggangi Roro Ireng,
Nyai Sagopi dan Larasati semakin kencang ketika di tengah perjalanan bertemu
dengan seorang raksasa. Ditya Kalanasura.
Utusan Kangsadewa itu senang bukan
kepalang mengetahui sosok yang dicari-carinya telah ditemukannya tanpa sengaja.
Ia pun mengajak Roro Ireng untuk pulang ke Mandura bersamanya. Kangsadewa,
kakak sulungnya, juga Prabu Basudewa telah menunggu di sana.
Roro Ireng menolak!
Ia bersikukuh tidak mau pulang ke
Mandura. Diam-diam, putri bungsu Prabu Basudewa itu membacakan mantra Aji
Gendam Pengasihan yang pernah diturunkan kakaknya. Narayana. Tujuannya untuk
mengelabuhi Ditya Kalanasura yang mulai tersulut amarahnya.
Seketika raksasa bertubuh tinggi besar
utusan Kangsadewa linglung. Ia memeluk sebatang pohon pisang yang tumbuh di
tepi jalan. Dalam pikirannya, pohon itu adalah seorang wanita cantik jelita.
Secepat kilat, Roro Ireng pun memerintahkan Larasati untuk memacu kuda
tunggangan mereka bertiga meninggalkan Ditya Kalanasura.
Begitu Roro Ireng menjauh dari
posisinya, Ditya Kalanasura tersadar dari pengaruh Aji Gendam Pengasihan. Ia
pun murka, lalu kembali mengejar buruannya. Namun, lagi-lagi ia ditaklukkan
dengan ajian yang sama oleh Roro Ireng.
Begitu seterusnya, hingga tak terasa
kejar-kejaran itu berlangsung selama beberapa hari. Keempatnya pun sudah
semakin dekat dengan Hastina.
Brak!
Roro Ireng, Nyai Sagopi dan Larasati
terjatuh dari kuda ketika mereka menabrak sebuah kereta yang
ditunggangi seorang pertapa muda bersama keempat abdi dalemnya.
“Tolonglah kami, wahai Brahmana.
Seorang raksasa sedang memburu kami,” pinta Nyai Sagopi. Kemudian mereka
menceritakan kejadian yang menimpa desa Widarakandang.
“Tenangkan diri kalian, aku akan
melindungi kalian dari raksasa itu,” jawab sang pertapa muda yang belakangan
memperkenalkan diri bernama Wasi Parta.
Datanglah Ditya Kalanasura yang
meminta Wasi Parta menyerahkan Roro Ireng kepadanya. Tanpa ampun, pertapa muda
yang sejatinya penyamaran Permadi (Arjuna) itu langsung menghajar raksasa
utusan Kangsadewa.
Lari tunggang langgang Ditya
Kalanasura menghindari kesaktian Wasi Parta.
Pada waktu bersamaan, lewat di tempat
itu Kakrasana yang terkejut mendapati adiknya Roro Ireng, biyungnya Nyai Sagopi
dan saudara angkatnya Larasati menggigil ketakutan. Mereka pun bercerita bahwa
selama meninggalkan Widarakandang, selalu dikejar-kejar seorang lelaki yang
berniat mencelakainya.
“Keparat!” seru Kakrasana.
Tanpa aba-aba, putra sulung Prabu
Basudewa langsung mengeluarkan Gada Alugora dan dihantamkan ke tubuh Wasi Parta
bertubi-tubi. Ia mengira pertapa muda itulah yang telah mengejar adiknya dan
berusaha mencelakai Nyai Sagopi dan Larasati.
“Lole-lole
… mbegegeg ugeg-ugeg … hemel-hemel … sadulit-dulita … sabar ngger Kakrasana, dia bukan musuhmu!”
cegah Kyai Lurah Semar Badranaya yang menyertai Wasi Parta bersama Gareng,
Petruk dan Bagong. Tetapi naas, Wasi Parta telah tewas oleh pukulan Gada
Alugora milik Kakrasana.
Roro Ireng akhirnya menceritakan bahwa
Wasi Parta justru orang yang menolong dirinya dari kejaran raksasa Ditya
Kalanasura. Kakrasana pun menyesali tindakan cerobohnya. Ia meminta maaf kepada
Kyai Lurah Semar Badranaya.
“Lole-lole
… mbegegeg ugeg-ugeg … hemel-hemel … sadulit-dulita … kita tunggu adikmu
Narayana. Hanya dia yang bisa menghidupkan Wasi Parta,” lanjut Kyai Semar.
Benar ucapan pamomong Pandawa itu, tidak lama setelah itu datang pula Narayana.
Tanpa menunggu lama-lama, Kyai Semar menyarankan agar Wasi Parta dihidupkan
dengan Kembang Wijayakusuma.
Keajaiban terjadi!
Wasi Parta hidup kembali setelah
tersentuh pusaka Kembang Wijayakusuma milik Bhatara Wisnu. Panakawan berterima
kasih kepada Narayana. Suasana haru pun menyelimuti pertemuan ketiga anak Prabu
Basudewa. Mereka saling berpelukan melepas rindu.
“Lole-lole
… mbegegeg ugeg-ugeg … hemel-hemel … sadulit-dulita … kita jangan membuang
waktu lagi, hari ini Kangsadewa sedang mengadakan sayembara Adu Jago. Setelah
itu, dia akan membunuh Prabu Basudewa dihadapan rakyat Mandura. Mari kuantar
berangkat kesana, ngger,” ajak Kyai
Semar.
Kakrasana dan Narayana pamit berangkat
terlebih dahulu. Keduanya berlari sekuat tenaga karena tidak ingin terlambat
menolong ayah mereka. Sementara Roro Ireng, Nyai Sagopi, Larasati dan Wasi
Parta berjalan menyusul di belakang. Diiringi Panakawan.
*****
“Sabarlah. Kangsadewa akan mendapat
hukuman yang setimpal,” tutur Begawan Abyasa ketika menerima Haryaprabu Rukma
di pertapaan gunung Sapta Arga.
Kepada Begawan Abyasa, Haryaprabu
Rukma menceritakan semua kejadian yang dialami negeri Mandura. Termasuk nasib
Prabu Basudewa yang kini sedang mendekam di dalam penjara. Juga nasib ketiga
putra-putrinya.
Hadir pula disana Raden Bratasena yang
sedang diutus ayahnya, Prabu Pandudewanata untuk mencari keberadaan Raden
Permadi. Sudah beberapa bulan ia menghilang dari Hastina. Putra ketiga Dewi
Kunti itu memang gemar mengembara dan berguru kemana-mana.
“Ikutlah Haryaprabu Rukma ke Mandura,
jika engkau ingin bertemu dengan Permadi, Bratasena,” saran Begawan Abyasa.
“Hemmmmm … Sendika dhawuh, eyang,” ucap Raden Bratasena.
Haryaprabu Rukma pun kembali ke
Mandura bersama dengan Raden Bratasena. Sesuai dengan saran Begawan Abyasa,
hari itu kesatria panenggak Pandawa akan mengikuti sayembara Adu Jago yang
diadakan Kangsadewa.
*****
Alun-alun di kotaraja Mandura telah
penuh sesak oleh ribuan orang. Tampak berdiri megah sebuah panggung besar untuk
sayembara Adu Jago. Di belakang panggung, dengan mata tertutup dan tangan
terikat, Prabu Basudewa, Patih Saragupita dan Harya Ugrasena dijaga ketat oleh beberapa
prajurit raksasa.
Kangsadewa naik keatas panggung
bersama Suratimantra. Ia mengumumkan siapa saja kesatria yang bisa mengalahkan
Jagonya, maka akan diberi kesempatan untuk menjadi punggawa Mandura.
Seorang pemuda berbadan tegap dengan
postur tinggi besar, kulit hitam dan wajah dipenuhi bulu jambang naik ke atas
panggung. Ia memperkenalkan diri sebagai Wasi Balawa. Tampak pula seekor Jago
berbulu hitam kemarah-merahan tertenteng di tangan kanannya.
“Jagoku ini yang akan menghabisi jagomu,
Kangsadewa!” sesumbar Wasi Balawa, yang sejatinya adalah penyamaran dari Raden
Bratasena.
Adu jago pun dimulai. Dalam beberapa
waktu, jago Kangsadewa menyerang secara sporadis jago Wasi Balawa. Tetapi hewan
piaraan keluarga Pandawa itu mampu bertahan dan berkelit dengan lincah. Hingga
dalam sebuah kesempatan, sebuah terjangan dari jago Wasi Balawa tepat mengenai
dada jago Kangsadaewa. Jalunya yang tajam menancap tepat ke jantung.
Kangsadewa murka melihat jagonya
menggelepar-gelepar tak berdaya. Darah segar mengucur dari dada hewan
piaraannya. Ia tidak terima dan mengatakan Wasi Balawa bermain curang.
“Sekarang kita mengadu manusia saja,
Wasi Balawa!” tantang Kangsadewa.
“Hemmm … sedikitpun aku tak akan
mundur. Tetapi kita harus bertaruh dalam adu tanding kali ini. Jika aku kalah,
maka aku siap dihukum pancung. Sebaliknya, jika engkau kalah, maka akan
kupenggal kepalamu di hadapan ribuan rakyat Mandura ini!” sesumbar Wasi Balawa.
“Cocok!” balas Kangsadewa.
“Suratimantra, majulah!” perintahnya.
“Berhenti!” tiba-tiba muncul
Haryaprabu Rukma dari kerumunan penonton. Ia maju ke depan panggung lalu
bersesumbar, “Ternyata engkau pengecut, Kangsadewa! Menghadapi seorang Wasi
Balawa saja harus mengandalkan Suratimantra!” ejeknya.
Kangsadewa pun semakin murka, ”Jangankan
hanya menghadapi Wasi Balawa, kalian semua maju mengeroyokpun, akan kuhabisi
dalam sejurus! Tetapi terlalu sayang kalau keringatku keluar hanya untuk
mengatasi seorang bocah ingusan seperti Wasi Balawa” serunya.
Suratimantra pun bertarung denga Wasi
Balawa. Terjadi baku pukul di atas panggung. Keduanya sama-sama mengeluarkan
kedigdayaan masing-masing.
Tetapi bagaimanapun juga, Wasi Balawa
jauh lebih berpengalaman. Ia telah malang melintang mengembara kemana-mana.
Pernah bertarung dengan Prabu Suksara, Arya Gandamana, Prabu Jalasengara, dan
Prabu Baka. Kekuatannya jauh mengungguli Suratimantra.
Saat semakin keteteran itulah,
Suratimantra terlempar keluar panggung oleh sebuah pukulan tangan Wasi Balawa
yang tepat mengenai rahangnya. Tubuhnya terhempas diantara kerumunan penonton. Justru di kerumunan itu, ia melihat dua orang pemuda yang dicari-cari Kangdadewa, satunya berkulit bule, satu lagi
berkulit hitam legam. Kakrasana dan Narayana, pikirnya.
Suratimantra pun langsung meringkus keduanya.
Tetapi Kakrasana sudah sigap menghadapi segala kejadian buruk. Secepat kilat
tangannya mengeluarkan Gada Alugora dan dihantamkan ke arah kepala Suratimantra.
Hancur berkeping-keping kepala
Suratimantra!
Kangsadewa yang melihat kejadian itu
terkejut. Ia langsung mengeluarkan Gada Lohitamuka pemberian Begawan Anggawangsa
dan balik menyerang pemuda berkulit bule pembunuh pamannya.
Terjadi adu perang gada. Kedua senjata
saling berhantaman, mengeluarkan suara berdentingan. Dalam sebuah gerakan
saling pukul, Gada Alugora dan Gada Lohitamuka sama-sama terlepas. Kakrasana
dan Kangsadewa pun kini menggunakan tangan kosong untuk melanjutkan
pertarungan.
Naas, Kakrasana memang hanya terlatih
bertarung menggunakan senjata sejak berguru di Buyut Antagopa. Kangsadewa jauh
lebih gesit memainkan jurus demi jurus tangan kosong. Ia pun berhasil mengunci
tubuh lawannya, lalu mencekik leher Kakrasana.
Keadaan putra sulung Basudewa semakin
kritis!
Roro Ireng yang berdiri tak jauh dari
tempat pertarungan itu segera membaca mantra Aji Gendam Pengasihan. Seketika
perhatian Kangsadewa beralih kepadanya. Tergetar bukan main hati raja raksasa
itu melihat seorang gadis berkulit hitam melempar senyum ke arahnya. Tubuhnya
tinggi semampai dengan pandangan mata tajam. Ia benar-benar luluh oleh pesona
itu.
Saat itulah Kakrasana berontak dan
terlepas dari cekikan Kangsadewa.
Dalam waktu bersamaan, Kangsadewa
hendak menubruk tubuh Roro Ireng karena tak kuasa menahan gejolak asmara.
Tetapi dibelakang gadis pemilik Aji Gendam Pengasihan telah berdiri Wasi Parta
yang menyambut dengan lepasan anak panah.
Tepat menancap ke dada Kangsadewa.
Tidak mempan!
Melihat Kangsadewa lengah, Narayana
yang dari tadi hanya menonton, mengeluarkan Cakra Sudarsana. Dilepaskannya
pusaka milik Bhatara Wisnu itu dan melesat bagai kilat. Memenggal leher
Kangsadewa hingga terputus kepalanya.
Kakrasana tidak tinggal diam, ia juga
mencabut pusaka Kyai Nanggala dan dihantamkan ke perut Kangsadewa hingga hancur dan hangus terbakar.
Bersorak-sorak ribuan rakyat Mandura
melihat sang angkaramurka telah dikalahkan. Pasukan raksasa Gowa Barong dan
Sengkapura lari tunggang langgang menyelamatkan diri.
Haryaprabu Rukma segera melepaskan
ikatan Prabu Basudewa, Patih Saragupita dan Harya Ugrasena. Keempatnya lalu mengucapkan terima kasih
kepada Wasi Balawa dan Wasi Parta atas bantuan menyingkirkan Kangsadewa.
Kakrasana berjalan memungut pusakanya
Gada Alugora yang tadi terpental jatuh. Sementara pusaka milik Kangsadewa, Gada
Lohitamuka masih tergelatak di atas tanah. Tak ada seorangpun yang kuat mengangkatnya.
“Wasi Balawa, coba angkatlah pusaka
itu,” saran Prabu Basudewa.
Setelah membungkuk dan menyembah ke
arah pusaka milik Kangsadewa, Wasi Balawa akhirnya berhasil memungut Gada Lohitamuka dan
mengangkatnya tinggi-tinggi. Sorak-sorai ribuan orang membahana melihat adegan
keperkasaan kesatria Pandawa itu.
Sejak hari itu, setelah memenangi Adu
Jago dengan Kangsadewa, Wasi Balawa, samaran dari Raden Bratasena mengganti nama
Gada Lohitamuka menjadi Gada Rujakpolo.
oo00 TAMAT 00oo
Heru Sang Mahadewa
Member of #OneDayOnePostBaca cerita sebelumnya [ Disini ]
Wuihhhh kereeenn.... "Jago" dalam sejarah kebudayaan jawa.
BalasHapus