Jumat, 02 Desember 2016

KANGSA TAKON BAPA (2)


Kangsadewa - image google


Jauh dari Widarakandang dan Mandura, di sebuah padepokan kecil, seorang guru dan murid sedang duduk sambil bercakap-cakap di sudut serambi.

“Narayana, ketahuilah bahwa sejatinya engkau adalah titisan Bhatara Wisnu,” ucap Resi Padmanaba, pertapa sakti di padepokan Utarayana.

“Benarkah, guru?” tanya Narayana.

“Sebelum menitis kepadamu, Bhatara Wisnu menitipkan kepadaku tiga pusakanya agar kelak diberikan jika bayi titisannya telah dewasa. Kini, saatnya aku memberikan benda itu kepadamu, Narayana.” Jelas Resi Padmanaba.

Narayana menghaturkan sembah kepada Resi Padmanaba. Sesaat kemudian sang guru memberikan tiga buah pusaka titipan Bhatara Wisnu.

Pusaka pertama berbentuk cakram, bernama Cakra Sudarsana. Siapapun yang terkena senjata ini akan tewas, meski memiliki ilmu kesaktian yang sangat tinggi. Tetapi ia hanya boleh digunakan untuk membunuh manusia yang berdosa saja. Cakra Sudarsana menyatu dalam dada Narayana.

Pusaka kedua berwujud bunga, dinamakan Kembang Wijayakusuma. Senjata ini dapat menghidupkan manusia yang telah mati. Tetapi hanya orang-orang yang belum dapat menyelesaikan tugasnya di dunia yang boleh dihidupkan lagi. Kembang Wijayakusuma menyatu ke ubun-ubun Narayana.

Pusaka ketiga adalah sebuah panah kecil berukuran sehelai rambut, bernama Panah Kesawa. Jika dikeluarkan, maka Narayana akan berubah wujud menjadi raksasa (tiwikrama) sebesar tujuh gunung Jamurdipa yang tidak dapat dikalahkan siapapun. Brahala Sewu (Balasrewu) nama raksasa itu. Pusaka Panah Kesawa menyatu ke dalam punggung Narayana.

“Tugasku telah selesai, kini hantarkan sukmaku ke alam sunyaruri, Dewa Wisnu,” ucap Resi Padmanaba.

Kedua orang guru dan murid duduk bersila sambil memejamkan mata, melepas segala rasa cipta duniawai. Tiba-tiba memancar sebuah titik api dari dahi Narayana. Sedetik kemudian, menyambar tubuh Resi Padmanaba hingga terbakar tak berbekas. Seiring melesatnya sukma ke alam keabadian.

*****

Enam hari sudah Kakrasana bertapa brata di puncak gunung Rewataka. Pada malam hari itu, hadir sesosok lelaki berjubah kuning keemasan. Ia membangunkan putra sulung Prabu Baladewa itu dari semedinya.

“Aku datang ke Arcapada untuk memberimu pusaka, Kakrasana,” ucap Bhatara Brahma.

“Terima kasih, pukulun,” jawab Kakrasana sambil menyembah sosok Dewa yang mendatanginya.

Bhatara Brahma lalu mengulurkan tiga pusaka kepada Kakrasana.

Pusaka pertama berbentuk seperti bajak sawah, bernama Kyai Nanggala. Siapapun yang terkena senjata ini, akan terbakar dan hancur menjadi arang.

Pusaka kedua berbentuk senjata pemukul, bernama Gada Alugora. Dan yang terakhir adalah Aji Balarama. Ilmu kedigdayaan untuk menahan rasa lapar, kantuk, dan lelah.

Setelah menurunkan tiga pusaka itu, Bhatara Brahma memerintahkan Kakrasana untuk pulang ke Mandura. Disana sudah menunggu Kangsadewa yang akan mengadakan sayembara Adu Jago.

Kakrasana menyembah, lalu bergegas turun dari puncak gunung Rewataka, seiring melesat terbangnya Sang Bhatara Brahma kembali ke Kahyangan Suralaya.

*****

Laju kuda yang ditunggangi Roro Ireng, Nyai Sagopi dan Larasati semakin kencang ketika di tengah perjalanan bertemu dengan seorang raksasa. Ditya Kalanasura.

Utusan Kangsadewa itu senang bukan kepalang mengetahui sosok yang dicari-carinya telah ditemukannya tanpa sengaja. Ia pun mengajak Roro Ireng untuk pulang ke Mandura bersamanya. Kangsadewa, kakak sulungnya, juga Prabu Basudewa telah menunggu di sana.

Roro Ireng menolak!

Ia bersikukuh tidak mau pulang ke Mandura. Diam-diam, putri bungsu Prabu Basudewa itu membacakan mantra Aji Gendam Pengasihan yang pernah diturunkan kakaknya. Narayana. Tujuannya untuk mengelabuhi Ditya Kalanasura yang mulai tersulut amarahnya.

Seketika raksasa bertubuh tinggi besar utusan Kangsadewa linglung. Ia memeluk sebatang pohon pisang yang tumbuh di tepi jalan. Dalam pikirannya, pohon itu adalah seorang wanita cantik jelita. Secepat kilat, Roro Ireng pun memerintahkan Larasati untuk memacu kuda tunggangan mereka bertiga meninggalkan Ditya Kalanasura.

Begitu Roro Ireng menjauh dari posisinya, Ditya Kalanasura tersadar dari pengaruh Aji Gendam Pengasihan. Ia pun murka, lalu kembali mengejar buruannya. Namun, lagi-lagi ia ditaklukkan dengan ajian yang sama oleh Roro Ireng.

Begitu seterusnya, hingga tak terasa kejar-kejaran itu berlangsung selama beberapa hari. Keempatnya pun sudah semakin dekat dengan Hastina.

Brak!

Roro Ireng, Nyai Sagopi dan Larasati terjatuh dari kuda ketika mereka menabrak sebuah kereta yang ditunggangi seorang pertapa muda bersama keempat abdi dalemnya.

“Tolonglah kami, wahai Brahmana. Seorang raksasa sedang memburu kami,” pinta Nyai Sagopi. Kemudian mereka menceritakan kejadian yang menimpa desa Widarakandang.

“Tenangkan diri kalian, aku akan melindungi kalian dari raksasa itu,” jawab sang pertapa muda yang belakangan memperkenalkan diri bernama Wasi Parta.

Datanglah Ditya Kalanasura yang meminta Wasi Parta menyerahkan Roro Ireng kepadanya. Tanpa ampun, pertapa muda yang sejatinya penyamaran Permadi (Arjuna) itu langsung menghajar raksasa utusan Kangsadewa.

Lari tunggang langgang Ditya Kalanasura menghindari kesaktian Wasi Parta.

Pada waktu bersamaan, lewat di tempat itu Kakrasana yang terkejut mendapati adiknya Roro Ireng, biyungnya Nyai Sagopi dan saudara angkatnya Larasati menggigil ketakutan. Mereka pun bercerita bahwa selama meninggalkan Widarakandang, selalu dikejar-kejar seorang lelaki yang berniat mencelakainya.

“Keparat!” seru Kakrasana.

Tanpa aba-aba, putra sulung Prabu Basudewa langsung mengeluarkan Gada Alugora dan dihantamkan ke tubuh Wasi Parta bertubi-tubi. Ia mengira pertapa muda itulah yang telah mengejar adiknya dan berusaha mencelakai Nyai Sagopi dan Larasati.

Lole-lole … mbegegeg ugeg-ugeg … hemel-hemel … sadulit-dulita … sabar ngger Kakrasana, dia bukan musuhmu!” cegah Kyai Lurah Semar Badranaya yang menyertai Wasi Parta bersama Gareng, Petruk dan Bagong. Tetapi naas, Wasi Parta telah tewas oleh pukulan Gada Alugora milik Kakrasana.

Roro Ireng akhirnya menceritakan bahwa Wasi Parta justru orang yang menolong dirinya dari kejaran raksasa Ditya Kalanasura. Kakrasana pun menyesali tindakan cerobohnya. Ia meminta maaf kepada Kyai Lurah Semar Badranaya.

Lole-lole … mbegegeg ugeg-ugeg … hemel-hemel … sadulit-dulita … kita tunggu adikmu Narayana. Hanya dia yang bisa menghidupkan Wasi Parta,” lanjut Kyai Semar.

Benar ucapan pamomong Pandawa itu, tidak lama setelah itu datang pula Narayana. Tanpa menunggu lama-lama, Kyai Semar menyarankan agar Wasi Parta dihidupkan dengan Kembang Wijayakusuma.

Keajaiban terjadi!

Wasi Parta hidup kembali setelah tersentuh pusaka Kembang Wijayakusuma milik Bhatara Wisnu. Panakawan berterima kasih kepada Narayana. Suasana haru pun menyelimuti pertemuan ketiga anak Prabu Basudewa. Mereka saling berpelukan melepas rindu.

Lole-lole … mbegegeg ugeg-ugeg … hemel-hemel … sadulit-dulita … kita jangan membuang waktu lagi, hari ini Kangsadewa sedang mengadakan sayembara Adu Jago. Setelah itu, dia akan membunuh Prabu Basudewa dihadapan rakyat Mandura. Mari kuantar berangkat kesana, ngger,” ajak Kyai Semar.

Kakrasana dan Narayana pamit berangkat terlebih dahulu. Keduanya berlari sekuat tenaga karena tidak ingin terlambat menolong ayah mereka. Sementara Roro Ireng, Nyai Sagopi, Larasati dan Wasi Parta berjalan menyusul di belakang. Diiringi Panakawan.

*****

“Sabarlah. Kangsadewa akan mendapat hukuman yang setimpal,” tutur Begawan Abyasa ketika menerima Haryaprabu Rukma di pertapaan gunung Sapta Arga.

Kepada Begawan Abyasa, Haryaprabu Rukma menceritakan semua kejadian yang dialami negeri Mandura. Termasuk nasib Prabu Basudewa yang kini sedang mendekam di dalam penjara. Juga nasib ketiga putra-putrinya.

Hadir pula disana Raden Bratasena yang sedang diutus ayahnya, Prabu Pandudewanata untuk mencari keberadaan Raden Permadi. Sudah beberapa bulan ia menghilang dari Hastina. Putra ketiga Dewi Kunti itu memang gemar mengembara dan berguru kemana-mana.

“Ikutlah Haryaprabu Rukma ke Mandura, jika engkau ingin bertemu dengan Permadi, Bratasena,” saran Begawan Abyasa.

“Hemmmmm … Sendika dhawuh, eyang,” ucap Raden Bratasena.

Haryaprabu Rukma pun kembali ke Mandura bersama dengan Raden Bratasena. Sesuai dengan saran Begawan Abyasa, hari itu kesatria panenggak Pandawa akan mengikuti sayembara Adu Jago yang diadakan Kangsadewa.

*****

Alun-alun di kotaraja Mandura telah penuh sesak oleh ribuan orang. Tampak berdiri megah sebuah panggung besar untuk sayembara Adu Jago. Di belakang panggung, dengan mata tertutup dan tangan terikat, Prabu Basudewa, Patih Saragupita dan Harya Ugrasena dijaga ketat oleh beberapa prajurit raksasa.

Kangsadewa naik keatas panggung bersama Suratimantra. Ia mengumumkan siapa saja kesatria yang bisa mengalahkan Jagonya, maka akan diberi kesempatan untuk menjadi punggawa Mandura.

Seorang pemuda berbadan tegap dengan postur tinggi besar, kulit hitam dan wajah dipenuhi bulu jambang naik ke atas panggung. Ia memperkenalkan diri sebagai Wasi Balawa. Tampak pula seekor Jago berbulu hitam kemarah-merahan tertenteng di tangan kanannya.

“Jagoku ini yang akan menghabisi jagomu, Kangsadewa!” sesumbar Wasi Balawa, yang sejatinya adalah penyamaran dari Raden Bratasena.

Adu jago pun dimulai. Dalam beberapa waktu, jago Kangsadewa menyerang secara sporadis jago Wasi Balawa. Tetapi hewan piaraan keluarga Pandawa itu mampu bertahan dan berkelit dengan lincah. Hingga dalam sebuah kesempatan, sebuah terjangan dari jago Wasi Balawa tepat mengenai dada jago Kangsadaewa. Jalunya yang tajam menancap tepat ke jantung.

Kangsadewa murka melihat jagonya menggelepar-gelepar tak berdaya. Darah segar mengucur dari dada hewan piaraannya. Ia tidak terima dan mengatakan Wasi Balawa bermain curang.  

“Sekarang kita mengadu manusia saja, Wasi Balawa!” tantang Kangsadewa.

“Hemmm … sedikitpun aku tak akan mundur. Tetapi kita harus bertaruh dalam adu tanding kali ini. Jika aku kalah, maka aku siap dihukum pancung. Sebaliknya, jika engkau kalah, maka akan kupenggal kepalamu di hadapan ribuan rakyat Mandura ini!” sesumbar Wasi Balawa.

“Cocok!” balas Kangsadewa.

“Suratimantra, majulah!” perintahnya.

“Berhenti!” tiba-tiba muncul Haryaprabu Rukma dari kerumunan penonton. Ia maju ke depan panggung lalu bersesumbar, “Ternyata engkau pengecut, Kangsadewa! Menghadapi seorang Wasi Balawa saja harus mengandalkan Suratimantra!” ejeknya.

Kangsadewa pun semakin murka, ”Jangankan hanya menghadapi Wasi Balawa, kalian semua maju mengeroyokpun, akan kuhabisi dalam sejurus! Tetapi terlalu sayang kalau keringatku keluar hanya untuk mengatasi seorang bocah ingusan seperti Wasi Balawa” serunya.

Suratimantra pun bertarung denga Wasi Balawa. Terjadi baku pukul di atas panggung. Keduanya sama-sama mengeluarkan kedigdayaan masing-masing.

Tetapi bagaimanapun juga, Wasi Balawa jauh lebih berpengalaman. Ia telah malang melintang mengembara kemana-mana. Pernah bertarung dengan Prabu Suksara, Arya Gandamana, Prabu Jalasengara, dan Prabu Baka. Kekuatannya jauh mengungguli Suratimantra.

Saat semakin keteteran itulah, Suratimantra terlempar keluar panggung oleh sebuah pukulan tangan Wasi Balawa yang tepat mengenai rahangnya. Tubuhnya terhempas diantara kerumunan penonton. Justru di kerumunan itu, ia melihat dua orang pemuda yang dicari-cari Kangdadewa, satunya berkulit bule, satu lagi berkulit hitam legam. Kakrasana dan Narayana, pikirnya.

Suratimantra pun langsung meringkus keduanya. Tetapi Kakrasana sudah sigap menghadapi segala kejadian buruk. Secepat kilat tangannya mengeluarkan Gada Alugora dan dihantamkan ke arah kepala Suratimantra.

Hancur berkeping-keping kepala Suratimantra!

Kangsadewa yang melihat kejadian itu terkejut. Ia langsung mengeluarkan Gada Lohitamuka pemberian Begawan Anggawangsa dan balik menyerang pemuda berkulit bule pembunuh pamannya.

Terjadi adu perang gada. Kedua senjata saling berhantaman, mengeluarkan suara berdentingan. Dalam sebuah gerakan saling pukul, Gada Alugora dan Gada Lohitamuka sama-sama terlepas. Kakrasana dan Kangsadewa pun kini menggunakan tangan kosong untuk melanjutkan pertarungan.

Naas, Kakrasana memang hanya terlatih bertarung menggunakan senjata sejak berguru di Buyut Antagopa. Kangsadewa jauh lebih gesit memainkan jurus demi jurus tangan kosong. Ia pun berhasil mengunci tubuh lawannya, lalu mencekik leher Kakrasana.

Keadaan putra sulung Basudewa semakin kritis!

Roro Ireng yang berdiri tak jauh dari tempat pertarungan itu segera membaca mantra Aji Gendam Pengasihan. Seketika perhatian Kangsadewa beralih kepadanya. Tergetar bukan main hati raja raksasa itu melihat seorang gadis berkulit hitam melempar senyum ke arahnya. Tubuhnya tinggi semampai dengan pandangan mata tajam. Ia benar-benar luluh oleh pesona itu.

Saat itulah Kakrasana berontak dan terlepas dari cekikan Kangsadewa.

Dalam waktu bersamaan, Kangsadewa hendak menubruk tubuh Roro Ireng karena tak kuasa menahan gejolak asmara. Tetapi dibelakang gadis pemilik Aji Gendam Pengasihan telah berdiri Wasi Parta yang menyambut dengan lepasan anak panah.

Tepat menancap ke dada Kangsadewa. Tidak mempan!

Melihat Kangsadewa lengah, Narayana yang dari tadi hanya menonton, mengeluarkan Cakra Sudarsana. Dilepaskannya pusaka milik Bhatara Wisnu itu dan melesat bagai kilat. Memenggal leher Kangsadewa hingga terputus kepalanya.

Kakrasana tidak tinggal diam, ia juga mencabut pusaka Kyai Nanggala dan dihantamkan ke perut Kangsadewa hingga hancur dan hangus terbakar.

Bersorak-sorak ribuan rakyat Mandura melihat sang angkaramurka telah dikalahkan. Pasukan raksasa Gowa Barong dan Sengkapura lari tunggang langgang menyelamatkan diri.

Haryaprabu Rukma segera melepaskan ikatan Prabu Basudewa, Patih Saragupita dan Harya Ugrasena.  Keempatnya lalu mengucapkan terima kasih kepada Wasi Balawa dan Wasi Parta atas bantuan menyingkirkan Kangsadewa.

Kakrasana berjalan memungut pusakanya Gada Alugora yang tadi terpental jatuh. Sementara pusaka milik Kangsadewa, Gada Lohitamuka masih tergelatak di atas tanah. Tak ada seorangpun yang kuat mengangkatnya.

“Wasi Balawa, coba angkatlah pusaka itu,” saran Prabu Basudewa.

Setelah membungkuk dan menyembah ke arah pusaka milik Kangsadewa, Wasi Balawa akhirnya berhasil memungut Gada Lohitamuka dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Sorak-sorai ribuan orang membahana melihat adegan keperkasaan kesatria Pandawa itu.

Sejak hari itu, setelah memenangi Adu Jago dengan Kangsadewa, Wasi Balawa, samaran dari Raden Bratasena mengganti nama Gada Lohitamuka menjadi Gada Rujakpolo.

oo00 TAMAT 00oo

Heru Sang Mahadewa
Member of #OneDayOnePost

Baca cerita sebelumnya [ Disini ]

1 komentar:

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *