Selasa, 13 Desember 2016

MENEPIS MITOS KUTUKAN FINAL (2)

ceretas-de-cocina.net


Tubuhnya tambun. Rambut gondrong. Mirip W.S Rendra ketika beliau masih sugeng. Tidak sekedar itu saja, bicaranya yang ceplas-ceplos dan terkadang dibumbui pisuhan khas Suroboyoan membuat pria yang akrab saya panggil Cak Rendra (meski nama sebenarnya adalah Abdul Muis) jian persis dengan penyair Si Buruk Merak.

Saya sedang duduk berhadap-hadapan dengan dedengkot suporter bola kota Delta itu di sebuah kedai kopi dekat alun-alun Sidoarjo. Merdeka Café. Satu malam setelah Indonesia berhasil menyingkirkan Vietnam secara tragis di kandang mereka. Stadion My Dinh, Hanoi.

Ediannn sepakbola Indonesia,” ucap Cak Rendra.

“Apanya yang edan Cak? kepengurusan PSSI baru yang masih saja terkontaminasi sisa rezim lama? Atau Pak Menteri Olahraga yang tiba-tiba sumringah, nyrepepeh-pepeh menyambut kedatangan Boaz cs. setelah setahun lebih ia bekukan?” tanya saya.

“Tentu saja bukan. Ini tentang sepak terjang timnas Garuda yang tiba-tiba memikat hati jutaan rakyat Indonesia, setelah tahun kemarin ramai dihujat habis-habisan di media massa dan sosmed,” jawabnya, sembari menyeruput segelas kopi Capuccino Latte yang baru saja diantar seorang pramucafe.

Sebatang lintingan daun nikotin premium class saya sodorkan ke beliau. Lengkap dengan pemantik api zippo. Sejurus kemudian, mata sayu Cak Rendra terpejam-pejam. Menikmati kepulan demi kepulan asap yang keluar dari mulutnya.

“Entah kemana sekarang suara-suara yang dulu mengatakan bahwa lebih baik sepakbola Indonesia dibubarkan, Cak,” timpal saya.

Cak Rendra tidak menjawab. Hanya tertawa terkekeh-kekeh. 

Iya, begitulah.

Sosial media memang sungguh luar biasa pengaruhnya. Masih belum hilang dari ingatan kita, ketika tahun lalu induk organisasi sepakbola Indonesia dibekukan oleh Menpora, banyak orang yang menghujat, mencemooh bahkan menyuarakan agar sepakbola kita dibubarkan saja. Tuntutan yang sontak menjadi viral di sosmed.

Percuma punya timnas sepakbola, kalau selalu kalah dan hanya memalukan bangsa. Nihil prestasi, sarang mafia. Kata mereka kala itu.

Gelar jawara piala AFF yang direbut timnas U19 (setelah dua puluh dua tahun Indonesia tidak pernah mengenyam juara di segala ajang), lalu keberhasilan menyingkirkan tuan rumah Singapura di Sea Games 2015 tetap dianggap bukan prestasi.

Gerakan mosi tidak percaya kepada PSSI dan sepakbola Indonesia benar-benar mencapai puncaknya.

Situasi menjadi berbanding berbalik seminggu terakhir ini. Keberhasilan Garuda (julukan timnas Indonesia) lolos ke semifinal hingga berlanjut ke grand final piala AFF 2016, membuat jutaan orang mengelu-elukan mereka.

Hebatnya, turnamen ini adalah event pertama yang diikuti Indonesia pasca setahun lebih dibekukan Menpora, lalu berdampak pada sanksi banned Football Internationale Federation and Asociation (FIFA).

“Mungkin, jika besok dalam final kelima kalinya itu kita kembali kalah dan gagal, orang-orang akan edan lagi. Menghujat dan mencemooh timnas lagi,” lanjut cak Rendra.

Iyo mesti ---- Tentu saja, Cak!” tegas saya.

“Mereka lupa bahwa menjadi nomor dua di Asia Tenggara sudah melebihi ekspektasi banyak pihak. Mereka mungkin tutup mata bahwa setahun lebih kita terisolasi, dan ketika kali pertama lepas dari sanksi, Indonesia langsung ngamuk seperti banteng ketaton, Cak,” senada dengan Cak Rendra, saya mengutarakan kemungkinan buruk jika nanti Indonesia akhirnya gagal di laga perebutan juara AFF 2016 yang final first legnya akan berlangsung esok hari.

Kami berdua sama-sama menghela napas panjang. Menyesap kopi Capuccino Latte di gelas masing-masing, lalu berlomba menghisap batangan rokok yang tinggal separuh.

Iya, besok malam, rabu 14 Desember 2016 adalah hari dimana Indonesia akan menapakkan kaki di partai final kelima sepanjang keikutsertaannya dalam ajang Piala AFF. Empat grand final sebelumnya, kita selalu gagal dan hanya puas berpredikat sebagai specialist runner up.

Banyak yang mengatakan Indonesia sebagai juara tanpa mahkota. Tim Belanda dari Asia Tenggara. Negeri di benua biru yang selalu kalah di partai final Piala Dunia.

Tak sedikit pula yang menyebut rentetan kegagalan kita itu sebagai kutukan partai final.

Sekedar membuka memori lama, sejak terakhir kali Bambang Nurdiansyah, Ferril R. Hattu, Hanafing, Edy Harto bersama para pemain yunior sebagai pelapis semacam Widodo C. Putro dan Aji Santoso berhasil mengibarkan bendera Merah Putih di Manila Filipina, sekaligus menjuarai Sea Games di tahun 1991berbagai kutukan partai final senantiasa menghantui Indonesia, diantaranya:

- Final Sea Games 1997: Indonesia kalah adu penalti 2-3 dari Thailand.
- Final AFF Cup 2000: Indonesia kalah 1-4 dari Thailand.
- Final AFF Cup 2002: Indonesia kalah adu penalti 2-4 dari Thailand.
- Final AFF Cup 2004: Indonesia kalah aggregate 2-5 dari Singapura.
- Final AFF Cup 2010: Indonesia kalah aggregate 2-4 dari Malaysia.
- Final Sea Games 2011: Indonesia kalah adu penalti 4-5 dari Malaysia.
- Final H. Bolkiah Cup 2012: Indonesia kalah 0-2 dari Brunei
- Final AFF U-16 2013: Indonesia kalah adu penalti 2-3 dari Malaysia.
- Final Sea Games 2013: Indonesia kalah 0-1 dari Thailand.

Untuk ketiga kalinya, besok kita kembali bersua dengan The War Elephant (julukan timnas Thailand). 

Dua pekan silam, saat penyisihan grup A di ajang turnamen Piala AFF tahun 2016 ini, mereka berhasil menghempaskan Indonesia dengan skor 2-4.

Thailand, semifinalis Asian Games di edisi terakhir memang menjadi negara pengkoleksi gelar AFF terbanyak dengan empat kali juara. Hanya Singapura yang bisa menyamai rekor mereka.

“Sungguh berat, lagi-lagi kita ketemu Thailand, Cak,” gumam saya.

“Kalau feeling saya kok justru tahun ini adalah tahunnya Indonesia juara,” sanggah cak Rendra.

“Kenapa sampean bisa mengatakan demikian?” kejar saya.

“Lihatlah ke benua-benua seberang. Tahun ini adalah tahun milik timnas berkostum merah. Chili berhasil menjuarai Copa Sudamericana. Sementara di Eropa, siapa sangka dengan permainan buruk, Portugal bisa memenangi Euro 2016? Kedua negara itu sama dengan Indonesia warna kostumnya. Merah!” kali ini Cak Rendra tampak lebih serius. Suaranya sedikit lantang. Persis almarhum W.S Rendra kalau sedang berpuisi diatas panggung.

“Masuk akal juga pemikiran sampean,” puji saya.

"Jangan lupa, Italia yang permainannya biasa-biasa saja bisa merebut Piala Dunia 2006 setelah sepakbola mereka carut marut oleh skandal Calciopoli," pungkas Cak Rendra.

Kembali kami menyulut sebatang lintingan daun nikotin. Menyesap sisa kopi Capuccino Latte yang tinggal ampasnya. Lalu melanjutkan obrolan ngalor-ngidul hingga jarum jam di arloji saya menunjukkan pukul sembilan malam.

Saya pun pamit pulang ke kota Buaya. Berjarak duapuluh menit bersepada motor dari kafe tempat saya memenuhi undangan Cak Rendra. Sahabat sepemikiran saya dalam menyikapi jatuh bangunnya sepakbola tanah air.

Saya pacu kuda besi membelah jalanan kota Delta. Dengan perasaan dipenuhi sejuta harapan yang mudah-mudahan besok malam menjadi kenyataan

Harapan tentang patahnya mitos kutukan partai final di kejuaraan paling bergengsi bangsa-bangsa seAsia Tenggara.

Harapan yang mungkin nyaris sama dengan jutaan rakyat Indonesia saat ini: mendambakan timnas Garuda juara.

( Heru Sang Mahadewa)
Member Of #OneDayOnePost

3 komentar:

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *