Jumat, 09 Desember 2016

PELANGI DI LANGIT MALWAPATI (4)




3. PERNIKAHAN ASTRADARMA - PRAMESTI

Empat puluh dayang-dayang mengiringi langkah Dewi Pramesti yang berjalan diapit Prabu Jayabaya dan Ratu Dewi Sara. Iring-iringan mempelai wanita itu pelan-pelan memasuki ruang paseban agung.

Dewi Pramesti memakai pakaian kebesaran putri kerajaan Mamenang. Untaian-untaian emas tampak gemerlap di sanggul, lengan dan jemarinya. Bathari Kamaratih, Dewi Cinta dari Kahyangan Suralaya seperti sedang menjelma kepada dirinya.

Dari arah berlawanan, pangeran Astradarma dengan arak-arakan punggawa Yawastina juga berjalan pelan-pelan menuju arah yang sama dengan pengantin wanita.

Di pendopo, telah menunggu para brahmana dan tetua kerajaan Mamenang. Mereka akan memimpin upacara pengucapan janji suci antara pangeran Astradarma dan Dewi Pramesti.

*****

Hari itu, Mamenang berpesta.

Prabu Jayabaya, sang nata yang tersyohor ke seluruh penjuru Jawa Dwipa sedang ngunduh mantu15). Ia menikahkan putri tertuanya dengan putra dari Prabu Sariwahana, raja kerajaan Yawastina. Negeri yang sudah turun temurun mengibarkan bendera perang saudara dengan Mamenang.

Dengan pancaran aura kewibawaan yang membuat semua orang terkesima, Prabu Jayabaya duduk diatas singgasana. Mahkota kebesaran Mamenang yang terbuat dari ukir-ukiran emas terlihat kemilau di kepala sang nata. Jubah pusaka Mamenang yang dikenakannya juga kian menambah kegagahan raja yang sakti mandraguna itu.

Dewi Sara juga tak kalah memukau. Mahkota kebesaran ratu permaisuri Mamenang berkilauan di lingkar kepalanya. Ia duduk persis berdampingan dengan sang suami. Prabu Jayabaya.

Tak jauh dari singgasana raja dan ratu, kedua pengantin telah duduk berdampingan pula. Ketegangan jelas terlihat di wajah Dewi Pramesti dan pangeran Astradarma.

Bagimanapun juga, hari itu adalah hari paling sakral dan bersejarah dalam hidup mereka.

Bagi Dewi Pramesti, keputusan menerima pinangan adalah wujud bhakti dan pengorbanannya demi perdamaian kedua negeri. Mengakhiri pertumpahan darah yang telah terjadi sejak masa kakeknya. Mendiang Prabu Gendrayana.

Sementara bagi pangeran Astradarma, pernikahan ini adalah bagian dari upaya Yawastina untuk mempertahankan kelangsungan dinasti mereka. Tidak bisa dipungkiri, negeri yang dipimpin ayahnya, Prabu Sariwahana semakin hari kian pudar kekuatan dan pengaruhnya. Sedangkan Mamenang dibawah Prabu Jayabaya terus tumbuh menjadi kerajaan besar yang pengaruhnya meluas ke seluruh tanah Jawa Dwipa.

Kehancuran Yawastina hanya tinggal menunggu hari.

Hadirnya Resi Hanoman yang singgah di Yawastina tentu menjadi Dewa Penyelamat bagi keturunan mendiang Prabu Sudarsana. Meski niat Brahmana dari Jambu Dwipa itu hanya ingin mendamaikan permusuhan dua kerajaan, tetapi secara tidak langsung pernikahan Astradarma dan Dewi Pramesti yang digagasnya menjadi tuah untuk beratahan hidup orang-orang Yawastina.

Seorang brahmana dan pujangga bernama Mpu Sedah, memandu kedua pengantin mengucap janji suci. Disaksikan Resi Hanoman, Prabu Jayabaya, Ratu Dewi Sara, putra mahkota Pangeran Jaya Amijaya, serta seluruh punggawa  kedua kerajaan, Astradarma dan Dewi Pramesti resmi menjalin ikatan sebagai suami istri.

Hari itu pula, Prabu Jayabaya bersabda mengakhiri perang saudara yang telah lama terjadi antara Mamenang dan Yawastina.

“Pernikahan putriku Dewi Pramesti dengan pangeran Astradarma menjadi tanda kuturunkannya bendera perang Bhataratayuda antara aku dan Sariwahana. Semoga eyang Yudayana yang ada di alam baka merestui niat mulia ini!” sabda sang nata Mamenang.

“Hidup Prabu Jayabaya .. hidup Prabu Jayabaya .. hidup Mamenang!” sambut seluruh punggawa kerajaan Mamenang yang memenuhi ruang paseban agung.

Upacara pernikahan selesai, tetapi pesta rakyat Mamenang terus berlangsung hingga tiga hari tiga malam di sepanjang tepian bengawan Brantas.

*****

Satu bulan tinggal di istana mertuanya, pangeran Astradarma mengutarakan niat untuk memboyong Dewi Pramesti ke Yawastina.

“Ayahanda prabu, hamba berniat membawa Dewi Pramesti ke Yawastina. Mohon paduka mengijinkan,” ucap pangeran Astradarma ketika menghadap Prabu Jayabaya.

“Apakah engkau tidak nyaman tinggal di Mamenang, menantuku?” tanya Prabu Jayabaya.

“Sungguh, hamba merasa sangat damai dan tenang tinggal bersama istri di negeri ini. Tetapi bagaimanapun juga hamba adalah seorang putra mahkota Yawastina. Cepat atau lambat, hamba harus mempersiapkan diri naik tahta,” jawab pangeran Astradarma.

“Nantinya kami juga akan sering berkunjung ke Mamenang, rama prabu,” timpal Dewi Pramesti.

Prabu Jayabaya terdiam. Matanya menatap lurus ke depan, kea rah halaman pendopo. Membiarkan Dewi Pramesti dan pangeran Astradarma yang berharap-harap cemas menunggu jawaban.

Ada kekhawatiran dalam hati Prabu Jayabaya jika Dewi Pramesti jauh dari sisinya. Naluri kewaskitaan16) yang dimiliki raja berilmu linuwih itu mengatakan kalau Yawastina belum sepenuhnya aman bagi orang-orang Mamenang.

“Bagaimana, rama?” pertanyaan Dewi Pramesti membuyarkan lamunan Prabu Jayabaya.

“Baiklah, besok usai matahari terbit, berangkatlah kalian. Pasukan Mamenang yang dipimpin senopati-senopati pilih tanding akan mengantar hingga istana Yawastina,” pungkasnya.

*****

Sang Bhatari Candra memperlihatkan keutuhan wujudnya. Malam itu adalah hari kelima belas ia menyinari Arcapada. Sinar terangnya mengalahkan kerlap-kerlip gugusan rasi bintang di cakrawala Mamenang.

Purnama yang sempurna.

Malam belum begitu larut, Dewi Pramesti dijemput beberapa dayang di istana kaputren. Prabu Jayabaya memanggil putri kesayangannya untuk menghadap sendirian.

“Maaf gusti pangeran, gusti prabu mengatakan bahwa tidak boleh ada seorangpun yang mengganggu pertemuan empat mata antara beliau dengan gusti ayu Dewi Pramesti,” jelas seorang dayang-dayang kepada pangeran Astradarma.

“Mungkin rama prabu ingin bercengkerama denganku seperti saat aku belum menikah dulu, kakang Astradarma. Malam ini adalah malam terakhirku di istana Mamenang. Wajar kalau paduka raja tak ingin melewatkannya,” Dewi pramesti ikut menenangkan suaminya yang mulai khawatir, kenapa sang nata Mamenang memanggil dirinya di malam hari.

“Baiklah, Pramesti. Menghadaplah ke ayahanda prabu,” ucap pangeran Astradarma.

Setelah berganti pakaian sebentar, dengan dikawal beberapa dayang-dayang yang tadi menjemputnya, Dewi Pramesti bergegas menuju kedaton Mamenang, tempat Prabu Jayabaya menunggunya.

*****

Nyala lampu minyak jarak yang bertebaran di sudut kedaton menjadi penerang ruang keluarga raja. Dewi Pramesti mengambil duduk di sebelah ayahandanya.

“Ada apa rama prabu memanggilku?” Dewi Pramesti membuka percakapan.

“Putriku, sepertinya baru kemarin aku masih menggendong dan menimang-nimangmu. Tak terasa engkau akan meninggalkan Mamenang esok hari,” ucap Prabu Jayabaya lirih.

“Ah, rama prabu jangan berkata begitu. Aku jadi sedih mendengarnya,” Dewi Pramesti bergelayut di lengan Prabu Jayabaya. Naluri kekanak-kanakan yang bertahun-tahun lalu dimilikinya, malam itu tumbuh lagi.

“Ketahuilah Pramesti, hakikat dari pernikahan adalah menyatukan dua perbedaan. Bukan dua manusia yang memiliki kesamaan watak. Sudah menjadi kodratmu sebagai wanita dan seorang istri, harus berbhakti dan mengabdi kepada suamimu,” jelas Prabu Jayabaya.

Kali ini Dewi Pramesti tampak serius mendengarkan ucapan ayahnya. Sesekali ia memanggutkan kepala, pertanda bisa menerima penuturan Prabu Jayabaya.

“Aku akan selalu mengingat pesan rama,” jawab Dewi Pramesti.

“Jaga dirimu baik-baik, putriku. Pakailah kalung ini sebagai bekal ke Yawastina,” pungkas Prabu Jayabaya. Sang raja Mamenang lalu mengeluarkan sebuah benda yang telah ia siapkan di balik jubahnya.

“Kalung ini adalah pusaka. Dalam keadaan tertimpa bahaya, rabalah Kalung Robyong Mustikowati, engkau akan diselamatkan Bhatara Wisnu!” jelas Prabu Jayabaya.

Terjadi peristiwa yang tidak bisa dipercaya nalar Dewi Pramesti. Ketika kalung pusaka pemberian Prabu Jayabaya ia pakai, tiba-tiba Kalung Robyong Mustikowati lenyap dan menyatu dalam kulit lehernya.

Bukan itu saja, cahaya terang benderang berwarna kuning keemasan memenuhi seisi ruangan. Dewi Pramesti semakin tidak percaya. Ayahnya, Prabu Jayabaya sudah tidak terlihat di tempat duduknya. Berganti sesosok makhluk yang selama ini hanya ia kenal lewat cerita dan penuturan para brahmana.

Bhatara Wisnu!

Iya, malam itu Prabu Jayabaya untuk pertama kalinya menampakkan wujud sebagai titisan Bhatara Wisnu.

Gemetar sekujur tubuh Dewi Pramesti. Sontak ia bersimpuh dan menyembah sosok Dewa yang berdiri di hadapannya. Bibirnya bahkan tidak mampu mengucap sepatah katapun.

Tidak ada seorang pun yang tahu mungkin, siapa sejatinya sosok ayahnya, pikir Dewi Pramesti.

Bhatari Candra yang telah berada tepat diatas cakrawala mengintip dari sela-sela jendela kedaton Mamenang, ketika putri Prabu Jayabaya dengan langkah kaki masih gemetar meninggalkan ruangan ayahnya.

Keringat dingin belum juga mengering. Ia hempaskan tubuh lunglainya ke peraduan. Meninggalkan pangeran Astradarma yang terbengong-bengong di serambi bilik. Menunggu kedatangannya.

Malam semakin larut.

Dewi Pramesti masih tetap menggigil ketakutan. Kejadian yang baru saja ia alami belum sirna dari pikirannya.


-ooOO BERSAMBUNG OOoo-

(Heru Sang Mahadewa)
Member Of #OneDayOnePost

Baca cerita sebelumnya [Disini ]
Cerita selanjutnya [Disini ]

Catatan :
15) ngunduh mantu = menggelar pesta pernikahan anaknya.
16) kewaskitaan = ketajaman, kejelian bathin melalui indera keenam (kesaktian).

6 komentar:

  1. Kalau Prabu Jayabaya itu titisan Bhatara Wisnu, berarti Dewi Pramesti juga titisan Bhatara Wisnu, ya, Mas?

    Atau hanya Prabu Jayabaya nya saja?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dewi Pramesti bukan titisan Bhatara Wisnu.
      Dewa yang bijak itu kelak akan menitis ke manusia terakhir yang ia pilih untuk di titisi.

      Nantikan di part-part selanjutnya =D

      Hapus
  2. Kang, piye tho njenengan gawe crito iki? Isik nggumun

    BalasHapus
  3. Karena aku ketinggalan jauh.. Jadi masih ngeraba2 juga neh mas.. 😀

    BalasHapus

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *