3. PERNIKAHAN ASTRADARMA - PRAMESTI
Empat puluh dayang-dayang mengiringi langkah Dewi
Pramesti yang berjalan diapit Prabu Jayabaya dan Ratu Dewi Sara.
Iring-iringan mempelai wanita itu pelan-pelan memasuki ruang paseban agung.
Dewi Pramesti memakai pakaian kebesaran putri kerajaan Mamenang. Untaian-untaian emas tampak gemerlap di sanggul, lengan dan jemarinya.
Bathari Kamaratih, Dewi Cinta dari Kahyangan Suralaya seperti sedang menjelma
kepada dirinya.
Dari arah berlawanan, pangeran Astradarma dengan arak-arakan
punggawa Yawastina juga berjalan pelan-pelan menuju arah yang sama dengan pengantin wanita.
Di pendopo, telah menunggu para brahmana dan tetua
kerajaan Mamenang. Mereka akan memimpin upacara pengucapan janji suci antara
pangeran Astradarma dan Dewi Pramesti.
*****
Hari itu, Mamenang berpesta.
Prabu Jayabaya, sang nata
yang tersyohor ke seluruh penjuru Jawa Dwipa sedang ngunduh mantu15).
Ia menikahkan putri tertuanya dengan putra dari Prabu Sariwahana, raja kerajaan
Yawastina. Negeri yang sudah turun temurun mengibarkan bendera perang saudara
dengan Mamenang.
Dengan pancaran aura kewibawaan yang membuat semua orang
terkesima, Prabu Jayabaya duduk diatas singgasana. Mahkota kebesaran Mamenang
yang terbuat dari ukir-ukiran emas terlihat kemilau di kepala sang nata. Jubah pusaka Mamenang yang
dikenakannya juga kian menambah kegagahan raja yang sakti mandraguna itu.
Dewi Sara juga tak kalah memukau. Mahkota kebesaran ratu
permaisuri Mamenang berkilauan di lingkar kepalanya. Ia duduk persis
berdampingan dengan sang suami. Prabu Jayabaya.
Tak jauh dari singgasana raja dan ratu, kedua pengantin telah duduk berdampingan pula. Ketegangan jelas terlihat di wajah Dewi Pramesti dan
pangeran Astradarma.
Bagimanapun juga, hari itu adalah hari paling sakral dan
bersejarah dalam hidup mereka.
Bagi Dewi Pramesti, keputusan menerima pinangan adalah
wujud bhakti dan pengorbanannya demi perdamaian kedua negeri. Mengakhiri
pertumpahan darah yang telah terjadi sejak masa kakeknya. Mendiang Prabu
Gendrayana.
Sementara bagi pangeran Astradarma, pernikahan ini adalah
bagian dari upaya Yawastina untuk mempertahankan kelangsungan dinasti mereka.
Tidak bisa dipungkiri, negeri yang dipimpin ayahnya, Prabu Sariwahana semakin
hari kian pudar kekuatan dan pengaruhnya. Sedangkan Mamenang dibawah Prabu Jayabaya
terus tumbuh menjadi kerajaan besar yang pengaruhnya meluas ke seluruh tanah
Jawa Dwipa.
Kehancuran Yawastina hanya tinggal menunggu hari.
Hadirnya Resi Hanoman yang singgah di Yawastina tentu menjadi
Dewa Penyelamat bagi keturunan
mendiang Prabu Sudarsana. Meski niat Brahmana dari Jambu Dwipa itu hanya ingin
mendamaikan permusuhan dua kerajaan, tetapi secara tidak langsung pernikahan Astradarma
dan Dewi Pramesti yang digagasnya menjadi tuah untuk beratahan hidup orang-orang
Yawastina.
Seorang brahmana dan pujangga bernama Mpu Sedah, memandu
kedua pengantin mengucap janji suci. Disaksikan Resi Hanoman, Prabu Jayabaya,
Ratu Dewi Sara, putra mahkota Pangeran Jaya Amijaya, serta seluruh punggawa kedua kerajaan, Astradarma dan Dewi Pramesti resmi
menjalin ikatan sebagai suami istri.
Hari itu pula, Prabu Jayabaya bersabda mengakhiri perang
saudara yang telah lama terjadi antara Mamenang dan Yawastina.
“Pernikahan putriku Dewi Pramesti dengan pangeran
Astradarma menjadi tanda kuturunkannya bendera perang Bhataratayuda antara aku
dan Sariwahana. Semoga eyang Yudayana yang ada di alam baka merestui niat mulia
ini!” sabda sang nata Mamenang.
“Hidup Prabu Jayabaya .. hidup Prabu Jayabaya .. hidup
Mamenang!” sambut seluruh punggawa kerajaan Mamenang yang memenuhi ruang
paseban agung.
Upacara pernikahan selesai, tetapi pesta rakyat Mamenang
terus berlangsung hingga tiga hari tiga malam di sepanjang tepian bengawan
Brantas.
*****
Satu bulan tinggal di istana mertuanya, pangeran
Astradarma mengutarakan niat untuk memboyong Dewi Pramesti ke Yawastina.
“Ayahanda prabu, hamba berniat membawa Dewi Pramesti ke
Yawastina. Mohon paduka mengijinkan,” ucap pangeran Astradarma ketika menghadap
Prabu Jayabaya.
“Apakah engkau tidak nyaman tinggal di Mamenang,
menantuku?” tanya Prabu Jayabaya.
“Sungguh, hamba merasa sangat damai dan tenang tinggal
bersama istri di negeri ini. Tetapi bagaimanapun juga hamba adalah seorang
putra mahkota Yawastina. Cepat atau lambat, hamba harus mempersiapkan diri naik
tahta,” jawab pangeran Astradarma.
“Nantinya kami juga akan sering berkunjung ke Mamenang, rama prabu,” timpal Dewi Pramesti.
Prabu Jayabaya terdiam. Matanya menatap lurus ke depan, kea
rah halaman pendopo. Membiarkan Dewi Pramesti dan pangeran Astradarma yang
berharap-harap cemas menunggu jawaban.
Ada kekhawatiran dalam hati Prabu Jayabaya jika Dewi
Pramesti jauh dari sisinya. Naluri kewaskitaan16) yang dimiliki raja
berilmu linuwih itu mengatakan kalau
Yawastina belum sepenuhnya aman bagi orang-orang Mamenang.
“Bagaimana, rama?”
pertanyaan Dewi Pramesti membuyarkan lamunan Prabu Jayabaya.
“Baiklah, besok usai matahari terbit, berangkatlah kalian.
Pasukan Mamenang yang dipimpin senopati-senopati pilih tanding akan mengantar hingga
istana Yawastina,” pungkasnya.
*****
Sang Bhatari Candra memperlihatkan keutuhan wujudnya.
Malam itu adalah hari kelima belas ia menyinari Arcapada. Sinar terangnya
mengalahkan kerlap-kerlip gugusan rasi bintang di cakrawala Mamenang.
Purnama yang sempurna.
Malam belum begitu larut, Dewi Pramesti dijemput beberapa
dayang di istana kaputren. Prabu Jayabaya memanggil putri kesayangannya untuk
menghadap sendirian.
“Maaf gusti pangeran, gusti prabu mengatakan bahwa tidak
boleh ada seorangpun yang mengganggu pertemuan empat mata antara beliau dengan
gusti ayu Dewi Pramesti,” jelas seorang dayang-dayang kepada pangeran
Astradarma.
“Mungkin rama
prabu ingin bercengkerama denganku seperti saat aku belum menikah dulu, kakang
Astradarma. Malam ini adalah malam terakhirku di istana Mamenang. Wajar kalau
paduka raja tak ingin melewatkannya,” Dewi pramesti ikut menenangkan suaminya
yang mulai khawatir, kenapa sang nata Mamenang memanggil dirinya di malam hari.
“Baiklah, Pramesti. Menghadaplah ke ayahanda prabu,” ucap
pangeran Astradarma.
Setelah berganti pakaian sebentar, dengan dikawal
beberapa dayang-dayang yang tadi menjemputnya, Dewi Pramesti bergegas menuju
kedaton Mamenang, tempat Prabu Jayabaya menunggunya.
*****
Nyala lampu minyak jarak yang bertebaran di sudut kedaton
menjadi penerang ruang keluarga raja. Dewi Pramesti mengambil duduk di sebelah
ayahandanya.
“Ada apa rama prabu memanggilku?” Dewi Pramesti membuka
percakapan.
“Putriku, sepertinya baru kemarin aku masih menggendong
dan menimang-nimangmu. Tak terasa engkau akan meninggalkan Mamenang esok hari,”
ucap Prabu Jayabaya lirih.
“Ah, rama prabu jangan berkata begitu. Aku jadi sedih
mendengarnya,” Dewi Pramesti bergelayut di lengan Prabu Jayabaya. Naluri
kekanak-kanakan yang bertahun-tahun lalu dimilikinya, malam itu tumbuh lagi.
“Ketahuilah Pramesti, hakikat dari pernikahan adalah
menyatukan dua perbedaan. Bukan dua manusia yang memiliki kesamaan watak. Sudah
menjadi kodratmu sebagai wanita dan seorang istri, harus berbhakti dan mengabdi
kepada suamimu,” jelas Prabu Jayabaya.
Kali ini Dewi Pramesti tampak serius mendengarkan ucapan
ayahnya. Sesekali ia memanggutkan kepala, pertanda bisa menerima penuturan
Prabu Jayabaya.
“Aku akan selalu mengingat pesan rama,” jawab Dewi
Pramesti.
“Jaga dirimu baik-baik, putriku. Pakailah kalung ini
sebagai bekal ke Yawastina,” pungkas Prabu Jayabaya. Sang raja Mamenang lalu
mengeluarkan sebuah benda yang telah ia siapkan di balik jubahnya.
“Kalung ini adalah pusaka. Dalam keadaan tertimpa bahaya,
rabalah Kalung Robyong Mustikowati, engkau akan diselamatkan Bhatara Wisnu!” jelas Prabu Jayabaya.
Terjadi peristiwa yang tidak bisa dipercaya nalar Dewi
Pramesti. Ketika kalung pusaka pemberian Prabu Jayabaya ia pakai, tiba-tiba Kalung Robyong Mustikowati lenyap dan
menyatu dalam kulit lehernya.
Bukan itu saja, cahaya terang benderang berwarna kuning
keemasan memenuhi seisi ruangan. Dewi Pramesti semakin tidak percaya. Ayahnya,
Prabu Jayabaya sudah tidak terlihat di tempat duduknya. Berganti sesosok
makhluk yang selama ini hanya ia kenal lewat cerita dan penuturan para
brahmana.
Bhatara Wisnu!
Iya, malam itu Prabu Jayabaya untuk pertama kalinya menampakkan
wujud sebagai titisan Bhatara Wisnu.
Gemetar sekujur tubuh Dewi Pramesti. Sontak ia bersimpuh
dan menyembah sosok Dewa yang berdiri di hadapannya. Bibirnya bahkan tidak
mampu mengucap sepatah katapun.
Tidak ada seorang pun yang tahu mungkin, siapa sejatinya
sosok ayahnya, pikir Dewi Pramesti.
Bhatari Candra yang telah berada tepat diatas cakrawala mengintip
dari sela-sela jendela kedaton Mamenang, ketika putri Prabu Jayabaya dengan
langkah kaki masih gemetar meninggalkan ruangan ayahnya.
Keringat dingin belum juga mengering. Ia hempaskan tubuh
lunglainya ke peraduan. Meninggalkan pangeran Astradarma yang
terbengong-bengong di serambi bilik. Menunggu kedatangannya.
Malam semakin larut.
Dewi Pramesti masih tetap menggigil ketakutan. Kejadian
yang baru saja ia alami belum sirna dari pikirannya.
-ooOO BERSAMBUNG OOoo-
(Heru Sang
Mahadewa)
Member Of #OneDayOnePost
Catatan
:
15) ngunduh mantu = menggelar
pesta pernikahan anaknya.
16) kewaskitaan = ketajaman,
kejelian bathin melalui indera keenam (kesaktian).
Kalau Prabu Jayabaya itu titisan Bhatara Wisnu, berarti Dewi Pramesti juga titisan Bhatara Wisnu, ya, Mas?
BalasHapusAtau hanya Prabu Jayabaya nya saja?
Dewi Pramesti bukan titisan Bhatara Wisnu.
HapusDewa yang bijak itu kelak akan menitis ke manusia terakhir yang ia pilih untuk di titisi.
Nantikan di part-part selanjutnya =D
Kang, piye tho njenengan gawe crito iki? Isik nggumun
BalasHapusGumun piye tho mbakyu?
HapusKarena aku ketinggalan jauh.. Jadi masih ngeraba2 juga neh mas.. 😀
BalasHapusHehehe ...
HapusSuwun mbk Sas