1.MAMENANG - WIDARBA
“Tidak mungkin aku berdamai dengan Yawastina, resi!” ucap
Jayabaya.
“Sampai kapan kalian akan mengumbar dendam secara turun
temurun, ngger1)? Sudah saatnya
pertikaian anatara ramamu Gendrayana dan Sudarsana diakhiri sekarang ini,”
tutur Resi Hanoman, seorang pertapa tua yang mendapat anugerah bertahan hidup
hingga ratusan tahun.
Kera putih yang berasal dari Kendalisada itu mengisi
hari-hari tuanya dengan berkelana keliling jagat. Mulai dari Jambudipa hingga
Jawadipa. Putra Dewi Anjani itu gemar menyebarkan ajaran lelakuning urip utama2) di negeri-negeri yang disinggahinya. Kini ia
menginjakkan kaki di Mamenang. Sebuah tempat di belahan tanah Jawa bagian
timur.
“Bagaimana aku harus mempertanggungjawabkan kepada para
leluhur Mamenang di alam baka sana?” lanjut Jayabaya.
“Tidak ada yang perlu dipertanggungjawabkan, ngger Jayabaya. Justru para leluhurmu,
baik dari Yamastina maupun Mamenang akan bahagia melihat engkau menjadi raja
yang berhasil memutus sekat pemisah antara dua negeri yang sejatinya masih
bersaudara ini,” jelas Resi Hanoman.
Jayabaya terdiam di singgasana. Sesekali tangannya
meremas-remas juntaian jubah kebesaran raja Mamenang berwarna kuning keemasan
yang pagi itu ia kenakan. Di sebuah ruangan luas, berpilar kayu-kayu kokoh dengan ukuran lingkar tangan empat orang, hanya ada dia berdua dengan Resi Hanoman. Pendopo Mamenang hening sekali pagi itu.
“Aku merasa berdosa dengan rama Gendrayana,” ucap
Jayabaya lirih.
“Prabu Gendrayana akan mengampuni dosa-dosamu,” bujuk
Resi Hanoman.
*****
Gendrayana, setelah menjalani masa pembuangan di puncak Wilis,
memilih membuka tanah perdikan baru di dekat gunung suci itu. Berada di tepian
bengawan Brantas, bersama sisa-sisa pengikutnya dari Yawastina, putra mendiang
Prabu Yudayana itu memproklamirkan madege
Praja Widarba3). Berpusat di Mamenang4),
Widarba kemudian dikenal sebagai negeri Mamenang.
Lambat laun, Mamenang tumbuh menjadi negeri maritim yang memanfaatkan
keberadaan bengawan Brantas sebagai sumber kehidupan rakyatnya. Sungai besar
yang bermata air di kaki gunung Arjuno itu mengaliri Mamenang sepanjang tahun.
Pangeran Jayabaya, putra Prabu Gendrayana akhirnya naik
tahta menggantikan ayahnya yang mangkat setelah mendirikan dan memerintah
Mamenang selama dua puluh tahun.
Ia bergelar Sri Maharaja Sang
Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha
Parakrama Uttunggadewa.
Jayabayalah yang membawa perubahan besar pada kehidupan
masyarakat Mamenang.
Orang-orang Mamenang yang semula hanya menggantungkan
hidup dari hasil penangkapan ikan di perairan bengawan Brantas, mulai
diperintahkan untuk memanfaatkan keberadaan gunung Wilis pula. Perlahan-lahan,
hasil bumi dari lereng gunung yang bertanah subur itu mendongkrak kemakmuran
penduduknya.
Jayabaya, adalah raja yang memiliki ilmu linuwih5), gemar bertapa brata di puncak Wilis, Kelud, Penanggungan,
Welirang, Arjuno, dan Mahameru. Kedigdayaan dan kecakapannya yang mengantar Mamenang
berada di puncak kejayaan. Mengungguli negeri tetangga yang juga leluhurnya.
Yawastina.
*****
Resi Hanoman baru saja singgah di Yawastina selama tujuh
hari. Disana, pertapa sakti berwujud kera putih telah berdiskusi banyak dengan raja
Sariwahana, putra mendiang Prabu Sudarsana.
Melihat perseteruan antara Gendrayana dan Sudarsana yang
terus bersambung ke putra-putra mereka, Resi Hanoman terketuk hatinya untuk
mendamaikan Yawastina dengan Mamenang.
Anak lelaki satu-satunya dari Prabu Sariwahana, pangeran
Astradarma telah menginjak usia dewasa. Jika sang putra mahkota itu dijodohkan
dengan salah satu putri Prabu Jayabaya, maka putus sudah rantai dendam antara
mendiang Gendrayana dan Sudarsana.
“Nempukake balung kapisah6),”
ucap Resi Hanoman kepada Prabu Sariwahana dan pangeran Astradarma ketika itu.
Bak gayung bersambut, sepupu dari Prabu Jayabaya dengan
suka cita menerima nasehat sang pertapa Kendalisada. Jika Mamenang juga mau
menuruti saran Resi Hanoman, maka tak lama lagi Yawastina akan melamar.
Resi Hanoman pun berjanji akan menemui Prabu Jayabaya
untuk mengutarakan niat baiknya. Mempersatukan kembali keturunan Yudayana yang
kini berseteru.
Dari Yamastina, sang kera putih melesat meninggalkan
negeri di belahan utara tanah Jawa itu. Kelananya kini menuju Mamenang.
*****
Dari pernikahannya dengan permaisuri Ratu Dewi Sara,
Prabu Jayabaya dikarunia empat orang anak. Satu lelaki dan tiga wanita.
Pangeran Jaya Amijaya adalah putra pertama sekaligus
dinobatkan sebagai putra mahkota, untuk mewarisi tahta Mamenang jika Prabu
Jayabaya mangkat kelak.
Dewi Pramesti, putri keduanya kini telah menginjak usia
remaja. Sementara putri ketiga dan keempat, Dewi Pramuni dan Dewi Sasanti masih
kecil ketika Mamenang gempar dengan kedatangan seorang pertapa tua dari Kendalisada.
Resi Hanoman, begitu sosok brahmana berwujud kera putih
itu memperkenalkan diri kepada Prabu Jayabaya. Ia mengaku sedang berkelana jagat
untuk menebar kedamaian di Arcapada.
Mamenang, adalah salah satu negeri yang menjadi tujuan
kelananya. Selain Yamastina.
“Baiklah Resi Hanoman, aku akan membicarakan masalah ini
dengan permaisuri Dewi Sara. Juga yang tak kalah penting, putriku Dewi Pramesti
harus mengetahui niat pangeran Astradarma yang ingin melamarnya,” ucap Jayabaya
di akhir pertemuan.
“Kuharap niat baik ini juga bersambut jawaban yang baik
pula, ngger Jayabaya,” timpal Resi
Hanoman.
“Harapanku juga begitu, resi,” Jayabaya mengiyakan.
“Semoga Dewata senantiasa melimpahkan lumebering rejeki
untuk orang-orang Mamenang,” pungkas sang pertapa Kendalisada.
Sang Bagaskara kian meninggi. Sinarnya sebagian menerobos
masuk ke ruangan pendopo melalui sela dedaunan pohon beringin yang tumbuh
mengelilingi istana Mamenang.
Resi Hanoman pamit, ia menolak jamuan Prabu Jayabaya agar
pertapa tua yang jauh-jauh datang dari Jambudipa itu mau tinggal di istana
barang beberapa hari. Sembari menunggu jawaban dari Dewi Pramesti perihal
rencana lamaran dari negeri Yawastina.
Kepada Prabu Jayabaya, Resi Hanoman mengatakan dirinya
lebih senang tinggal di Singokromo, sebuah tempat tersembunyi di puncak gunung
Wilis. Tak jauh dari Mamenang. Berjarak setengah hari perjalanan manusia awam
kedigdayaan. Bagi mereka berdua, tentu hanya butuh waktu sekejap mata untuk sampai kesana.
Ditempat yang tertutup derasnya air terjun itu, Resi
Hanoman mengaku bahagia bisa berkumpul dengan bangsa wanara7). Penghuni utama puncak gunung Wilis.
-ooOO BERSAMBUNG OOoo-
(Heru Sang
Mahadewa)
Member Of OneDayOnePost
Cerita selanjutnya [Disini ]
Catatan
:
1) Ngger = Nak,
panggilan untuk orang berusia lebih muda yang disayangi.
2) Lelakuning urip
utama = Jalan jidup yang mulia.
3) Madege Praja Widarba
= Berdirinya
negeri (kerajaan) Midarba.
4) Mamenang = Sebuah tempat, kini bernama Desa Pamenang, Kec. Pagu, Kabupaten Kediri, Jawa Timur.
4) Mamenang = Sebuah tempat, kini bernama Desa Pamenang, Kec. Pagu, Kabupaten Kediri, Jawa Timur.
5) Ilmu linuwih = Kesaktian
yang berlebih.
6) Nempukake balung kapisah = Menyatukan tulang (saudara) yang terpisahkan.
7) Wanara = Kera.
6) Nempukake balung kapisah = Menyatukan tulang (saudara) yang terpisahkan.
7) Wanara = Kera.
Air terjune sedudo uduk her?
BalasHapusSingokromo Lis, uduk Sedudo =D
Hapus(tambahan sentuhan Fiksi iki)
Nyimak
BalasHapussuwun mbakyu, selalu hadir
Hapusmantep ceritane kang! numpang nyimak.... hehehehe....
BalasHapus