Senin, 05 Desember 2016

PELANGI DI LANGIT MALWAPATI (2)




1.MAMENANG - WIDARBA

“Tidak mungkin aku berdamai dengan Yawastina, resi!” ucap Jayabaya.

“Sampai kapan kalian akan mengumbar dendam secara turun temurun, ngger1)? Sudah saatnya pertikaian anatara ramamu Gendrayana dan Sudarsana diakhiri sekarang ini,” tutur Resi Hanoman, seorang pertapa tua yang mendapat anugerah bertahan hidup hingga ratusan tahun.

Kera putih yang berasal dari Kendalisada itu mengisi hari-hari tuanya dengan berkelana keliling jagat. Mulai dari Jambudipa hingga Jawadipa. Putra Dewi Anjani itu gemar menyebarkan ajaran lelakuning urip utama2) di negeri-negeri yang disinggahinya. Kini ia menginjakkan kaki di Mamenang. Sebuah tempat di belahan tanah Jawa bagian timur.

“Bagaimana aku harus mempertanggungjawabkan kepada para leluhur Mamenang di alam baka sana?” lanjut Jayabaya.

“Tidak ada yang perlu dipertanggungjawabkan, ngger Jayabaya. Justru para leluhurmu, baik dari Yamastina maupun Mamenang akan bahagia melihat engkau menjadi raja yang berhasil memutus sekat pemisah antara dua negeri yang sejatinya masih bersaudara ini,” jelas Resi Hanoman.

Jayabaya terdiam di singgasana. Sesekali tangannya meremas-remas juntaian jubah kebesaran raja Mamenang berwarna kuning keemasan yang pagi itu ia kenakan. Di sebuah ruangan luas, berpilar kayu-kayu kokoh dengan ukuran lingkar tangan empat orang, hanya ada dia berdua dengan Resi Hanoman. Pendopo Mamenang hening sekali pagi itu.

“Aku merasa berdosa dengan rama Gendrayana,” ucap Jayabaya lirih.

“Prabu Gendrayana akan mengampuni dosa-dosamu,” bujuk Resi Hanoman.

*****

Gendrayana, setelah menjalani masa pembuangan di puncak Wilis, memilih membuka tanah perdikan baru di dekat gunung suci itu. Berada di tepian bengawan Brantas, bersama sisa-sisa pengikutnya dari Yawastina, putra mendiang Prabu Yudayana itu memproklamirkan madege Praja Widarba3). Berpusat di Mamenang4), Widarba kemudian dikenal sebagai negeri Mamenang.

Lambat laun, Mamenang tumbuh menjadi negeri maritim yang memanfaatkan keberadaan bengawan Brantas sebagai sumber kehidupan rakyatnya. Sungai besar yang bermata air di kaki gunung Arjuno itu mengaliri Mamenang sepanjang tahun.

Pangeran Jayabaya, putra Prabu Gendrayana akhirnya naik tahta menggantikan ayahnya yang mangkat setelah mendirikan dan memerintah Mamenang selama dua puluh tahun.

Ia bergelar Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa.

Jayabayalah yang membawa perubahan besar pada kehidupan masyarakat Mamenang.

Orang-orang Mamenang yang semula hanya menggantungkan hidup dari hasil penangkapan ikan di perairan bengawan Brantas, mulai diperintahkan untuk memanfaatkan keberadaan gunung Wilis pula. Perlahan-lahan, hasil bumi dari lereng gunung yang bertanah subur itu mendongkrak kemakmuran penduduknya.

Jayabaya, adalah raja yang memiliki ilmu linuwih5), gemar bertapa brata di puncak Wilis, Kelud, Penanggungan, Welirang, Arjuno, dan Mahameru. Kedigdayaan dan kecakapannya yang mengantar Mamenang berada di puncak kejayaan. Mengungguli negeri tetangga yang juga leluhurnya. Yawastina.

*****

Resi Hanoman baru saja singgah di Yawastina selama tujuh hari. Disana, pertapa sakti berwujud kera putih telah berdiskusi banyak dengan raja Sariwahana, putra mendiang Prabu Sudarsana.

Melihat perseteruan antara Gendrayana dan Sudarsana yang terus bersambung ke putra-putra mereka, Resi Hanoman terketuk hatinya untuk mendamaikan Yawastina dengan Mamenang.

Anak lelaki satu-satunya dari Prabu Sariwahana, pangeran Astradarma telah menginjak usia dewasa. Jika sang putra mahkota itu dijodohkan dengan salah satu putri Prabu Jayabaya, maka putus sudah rantai dendam antara mendiang Gendrayana dan Sudarsana.

Nempukake balung kapisah6),” ucap Resi Hanoman kepada Prabu Sariwahana dan pangeran Astradarma ketika itu.

Bak gayung bersambut, sepupu dari Prabu Jayabaya dengan suka cita menerima nasehat sang pertapa Kendalisada. Jika Mamenang juga mau menuruti saran Resi Hanoman, maka tak lama lagi Yawastina akan melamar.

Resi Hanoman pun berjanji akan menemui Prabu Jayabaya untuk mengutarakan niat baiknya. Mempersatukan kembali keturunan Yudayana yang kini berseteru.

Dari Yamastina, sang kera putih melesat meninggalkan negeri di belahan utara tanah Jawa itu. Kelananya kini menuju Mamenang.

*****

Dari pernikahannya dengan permaisuri Ratu Dewi Sara, Prabu Jayabaya dikarunia empat orang anak. Satu lelaki dan tiga wanita.

Pangeran Jaya Amijaya adalah putra pertama sekaligus dinobatkan sebagai putra mahkota, untuk mewarisi tahta Mamenang jika Prabu Jayabaya mangkat kelak.

Dewi Pramesti, putri keduanya kini telah menginjak usia remaja. Sementara putri ketiga dan keempat, Dewi Pramuni dan Dewi Sasanti masih kecil ketika Mamenang gempar dengan kedatangan seorang pertapa tua dari Kendalisada.

Resi Hanoman, begitu sosok brahmana berwujud kera putih itu memperkenalkan diri kepada Prabu Jayabaya. Ia mengaku sedang berkelana jagat untuk menebar kedamaian di Arcapada.

Mamenang, adalah salah satu negeri yang menjadi tujuan kelananya. Selain Yamastina.

“Baiklah Resi Hanoman, aku akan membicarakan masalah ini dengan permaisuri Dewi Sara. Juga yang tak kalah penting, putriku Dewi Pramesti harus mengetahui niat pangeran Astradarma yang ingin melamarnya,” ucap Jayabaya di akhir pertemuan.

“Kuharap niat baik ini juga bersambut jawaban yang baik pula, ngger Jayabaya,” timpal Resi Hanoman.

“Harapanku juga begitu, resi,” Jayabaya mengiyakan.

“Semoga Dewata senantiasa melimpahkan lumebering rejeki untuk orang-orang Mamenang,” pungkas sang pertapa Kendalisada.

Sang Bagaskara kian meninggi. Sinarnya sebagian menerobos masuk ke ruangan pendopo melalui sela dedaunan pohon beringin yang tumbuh mengelilingi istana Mamenang.

Resi Hanoman pamit, ia menolak jamuan Prabu Jayabaya agar pertapa tua yang jauh-jauh datang dari Jambudipa itu mau tinggal di istana barang beberapa hari. Sembari menunggu jawaban dari Dewi Pramesti perihal rencana lamaran dari negeri Yawastina.

Kepada Prabu Jayabaya, Resi Hanoman mengatakan dirinya lebih senang tinggal di Singokromo, sebuah tempat tersembunyi di puncak gunung Wilis. Tak jauh dari Mamenang. Berjarak setengah hari perjalanan manusia awam kedigdayaan. Bagi mereka berdua, tentu hanya butuh waktu sekejap mata untuk sampai kesana.

Ditempat yang tertutup derasnya air terjun itu, Resi Hanoman mengaku bahagia bisa berkumpul dengan bangsa wanara7). Penghuni utama puncak gunung Wilis.

-ooOO BERSAMBUNG OOoo-

(Heru Sang Mahadewa)
Member Of OneDayOnePost

Baca cerita sebelumnya [Disini ]
Cerita selanjutnya [Disini ]


Catatan :
1) Ngger = Nak, panggilan untuk orang berusia lebih muda yang disayangi.
2) Lelakuning urip utama = Jalan jidup yang mulia.
3) Madege Praja Widarba = Berdirinya negeri (kerajaan) Midarba.
4) Mamenang = Sebuah tempat, kini bernama Desa Pamenang, Kec. Pagu, Kabupaten Kediri, Jawa Timur.
5) Ilmu linuwih = Kesaktian yang berlebih.
6) Nempukake balung kapisah = Menyatukan tulang (saudara) yang terpisahkan.
7) Wanara = Kera.

5 komentar:

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *