"Bagaimana, mas? tiga juta saudara-saudara kita terbukti akan nglurug Jakarta lagi, loh," ucap seorang teman di warkop tempat saya biasa nge-Wifi petang ini.
"Sampean tak amati sepertinya berseberangan pandangan dengan para Mujahid itu?" lanjutnya.
Saya tersenyum sebelum kemudian menggeleng. "Tidak, mas bro," jawab saya di akhir gelengan.
"Saya, bersama tiga juta teman-teman yang lain di negeri ini, bahkan mungkin lebih, memilih gabung dalam ndonga bareng itu cukup dari gubug reot sini saja. Dari hati terdalam ini."
"Tetapi, sampean kelihatan jelas banget kalau membela Ahok!"
Lagi-lagi saya menggeleng, "Andai hukum di negeri ini boleh dinistakan, saya akan berangkat ke ibu kota untuk napok sandal mulut cablaknya. Tapi bangsa kita kan bangsa yang menjunjung tinggi hukum. Pemerintah melalui Kepolisian Republik Indonesia juga sudah memprosesnya secara transparan. Soal kenapa si penista Kitab Suci kita itu tidak ditahan, sudah berulang-kali dijelaskan secara gamblang. Sampek umor lho lambene Pak Polisi," jelas saya, sembari mengulurkan sebatang Djie Sam Soe Premium Class kepadanya. Nyala api dari Zippo di tangan saya menyulut lintingan daun nikotin yang telah lekat di bibirnya.
Asap mengepul keluar dari mulutnya, seraya mengangguk-angguk, ia berseloroh, "Gitu, tho mas. Kalau hati saya, seratus persen Insya Allah mendukung dan mendoakan perjuangan saudara-saudara kita yang hari ini berangkat ke Jakarta untuk aksi Bela Islam Jilid Tiga," ucapnya.
"Aksi Bela Agama atau Doa Bersama? atau Rembug Nasional?" saya balik bertanya.
"Doa Bersama, mas," jawabnya.
"Luar biasa! Saya membayangkan besok pagi itu tiga juta umat Islam mendoakan yang baik-baik untuk negeri yang sedang lara hati ini. Memohonkan ampun atas dosa-dosa anak bangsa yang selama beberapa bulan ini kecanduan mempertahankan pembenaran prinsipnya. Termasuk saya, segelintir upil di ujung lubang hidung ini," tutur saya, lalu menyesap ampas kopi jahat yang tersisa di dasar cangkir. Menu favorit warkop tongkrongan saya.
"Insya Allah, mas. Ini aksi super damai, loh," kali ini ia bermimik meyakinkan.
"Aamiin. Lha bagaimana kalau besok sampean dan saya juga ikut berdoa bersama? Tetapi cukup disini saja, dari hati masing-masing. Agar kita bisa ndonga sak katognya dan, Insya Allah ... lebih khusyuk karena saat ndonga dalam kondisi seger tidak terganggu lelah oleh perjalanan jauh dari kota ini ke Jakarta," ajak saya.
Ia terdiam.
"Bukan berarti sampean mencela aksi 2 Desember kan, mas?" semakin serius saja mimik wajah teman saya itu.
Sembari tersenyum, saya kembali menggeleng, "Dunga-dinunga wae ... mugo-mugo apik sak kabehe yo, Aamiin." jawab saya ringan.
"Aamiin Ya Robbal Aalaamiin," sahutnya.
"Ngomong-ngomong, akike uapik tenan, mas," cengengesan si teman mengomentari sebuah batu akik yang melingkar di jemari saya.
"Satrio Piningit, begitu nama 'Batu Sulaeman Madu' ini. Ia sedang mencari tuannya yang mau membayar mahar kepada saya untuk mendapatkannya," sedikit berpromosi saya mengusap-usap batu akik itu.
Tidak berselang lama, kami pun berdiri, lalu saya membayar segelas Torabika Mocca pesanan si teman, selain secangkir kopi jahat pesanan saya tentunya.
Sayup-sayup, terdengar Muadzin melantun-langitkan adzan Isya' dari Musholla An-Nur.
Obrolan super damai petang ini.
(Heru Sang Mahadewa)
Member of #OneDayOnePost
foto: Timur S
Dji sam soe rek...
BalasHapusHahaha gagal fokus
234 Premium pula ... hehehe
HapusMasiyo ora melok nang Jakarta, seng penting kan melok ndonga seng apik2 kanggo negeri tercinta to, Mas Heru? :)
BalasHapusMesti iku,,, hukume wajib mbk Nova
Hapusaku bagian ngamini dongane
BalasHapusAamiin
Hapus