Jumat, 21 April 2017

SUGIH TANPA BONDO, DIGDAYA TANPA AJI (Part 1)



RM Panji Sosrokartono - portalmedia.com


“Saya tidak menyerang orang lain, karena itulah saya juga tidak akan diserang. Jadi, apa perlunya saya harus membawa senjata?”

Kalimat itu terlontar dari seorang wartawan Perang Dunia I yang bekerja untuk koran New York Herald Tribune. Pangkat Mayor yang disematkan kepadanya tidak serta merta membuat pemuda asal Indonesia itu menerima senjata yang diberikan tentara Sekutu kepadanya.

Dialah Raden Mas Panji Sosrokartono, putera Bupati Jepara, saudara kandung dari Raden Ajeng Kartini, tokoh emansipasi wanita Indonesia yang keharuman namanya melampaui sang kakak. Padahal, sosok Kartono----nama panggilan oleh orang-orang Jawa----juga memiliki peran yang tak kalah heroik dalam mengharumkan nama bangsa ini.

R.M. Panji Sosrokartono lahir pada tahun 1877, dua tahun lebih tua dari sang adik, R.A. Kartini. Dia menjadi orang Indonesia pertama yang menempuh pendidikan tinggi di Eropa.

Awalnya, R.M. Sosrokartono mengambil jurusan tehnik. Karena merasa tidak cocok, dia pindah ke Sastra hingga meraih gelar Docterandus in de Oostersche di perguruan tinggi Leiden, Belanda.

Namanya mencuat ketika dia mampu menguasai 27 bahasa asing. Bahkan, Kartono muda juga fasih bercakap-cakap 10 bahasa daerah nasional. Tidak mengherankan, jika putera Jawa itu menjadi kesayangan para pengajarnya selama mengenyam bangku kuliah di Belanda.

De Javanis Prins----Pangeran dari Jawa----begitu sebutan teman-temannya dari Eropa dan Amerika. Kaum hawa di benua biru memanggilnya “De Moois Sos”. Sos (Sosrokartono) yang ganteng.

Lulus kuliah, Kartono bekerja sebagai seorang jurnalis perang di surat kabar terbitan Amerika yang berkantor di Eropa, New York Herald Tribune. Selama menjadi wartawan, sebuah reportase-nya tentang perundingan rahasia antara Jerman dan Perancis menggemparkan jurnalisme barat. Padahal, peristiwa itu dilakukan di dalam sebuah gerbong kereta dengan penjagaan tentara kedua pihak yang sangat ketat. Bagaimana dia bisa mendapatkan informasi?

Kartono sempat bekerja sebagai alih bahasa di kedutaan Perancis di Den Haag, sebelum akhirnya tahun 1919 diterima bekerja di Liga Bangsa Bangsa. Dia menjadi penerjemah tunggal selama dua tahun. Kariernya berlanjut ketika pada tahun 1921 Liga Bangsa Bangsa berubah nama menjadi Perserikatan Bangsa Bangsa. Sang Pangeran Jawa itu diangkat menjadi Ketua Penerjemah di sana.

Suatu hari, Kartono mendengar kabar bahwa seorang anak dari sahabatnya menderita sakit yang berkepanjangan. Para ahli medis belum mampu menanganinya. Ketika menjenguk, di hadapan para dokter, dia melakukan pengobatan yang irasional. Kartono menempelkan telapak tangannya ke ubun-ubun si anak sambil membacakan Doa tertentu. Di luar dugaan, anak yang sakit itu sembuh.

Seorang dokter psychiatry dan hypnose mengatakan kepada Kartono bahwa dia memiliki daya pesoonalijke magneetisme----magnet pribadi----dan kemampuan hypnotherapy besar yang belum disadarinya. Atas saran sang dokter, Kartono kembali melanjutkan pendidikan ke Paris untuk mendalami psychometry dan psychotecnical. Tetapi regulasi menghambatnya. Seorang mahasiswa lulusan sastra tidak boleh diterima di fakultas itu.

Kembali ke Indonesia.
Kondisi tanah air yang memprihatinkan oleh pendudukan Belanda, mengetuk hati Kartono untuk pulang. Tahun 1925, dia bertemu dengan Raden Mas Soerjadi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara) dan adiknya, Raden Mas Soerjodipoetro. Mereka kemudian mendirikan Nationale Middelbare School (Sekolah Menengah Nasional).

Pengalamannya selama belajar dan bekerja di luar negeri, membuat Kartono miris menyaksikan penderitaan rakyat pribumi, terutama dalam hal pendidikan. Dia menemui seorang pembesar Belanda, W.B. Rooseboom untuk menyampaikan tuntutan agar Gubernur Jenderal Belanda memperhatikan nasib buruk masyarakat Indonesia, disegerakan adanya pendidikan bagi rakyat dan supaya bahasa Belanda diajarkan di sekolah-sekolah pribumi.

Kepulangan Kartono di tanah air justru menimbulkan fenomena lain. Masyarakat berbondong-bondong menemuinya. Bukan untuk belajar baca tulis, justru meminta pengobatan darinya. Kebanyakan mereka yang datang memang sedang bermasalah dengan kesehatan. Ahenya, Kartono justru menyanggupi permintaan itu dengan memberi pengobatan melalui media air putih.

Kabar Kartono bisa menyembuhkan orang sakit segera menyebar kemana-mana. Setiap hari, orang-orang berduyun menemuinya untuk meminta pengobatan. Dia pun mendirikan balai pengobatan bernama Klinik Darussalam (beberapa ejaan menyebut Dar-Oes-Salam).

Selama di Darussalam inilah, Kartono dikenal dengan nama Mandor Klungsu dan Joko Pring. Dia justru lebih banyak mengabdikan diri untuk membantu sesama, baik yang bermasalah dengan jasmani maupu rohani.

BERSAMBUNG

Heru Sang Mahadewa
Member of #OneDayOnePost

Catatan :
Dirangkum dari berbagai sumber.

3 komentar:

  1. Aku penasaran caranya bisa tahu perundingan rahasia itu..

    BalasHapus
  2. Keren....
    Cara apa yang dipake Kartono bisa tau perundingan rahasia itu, kang?

    Sekolah yang didirikan akhire gimana?

    BalasHapus
  3. Aku penasaran kelanjutan ceritanya ^^

    BalasHapus

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *