Longosr di Dlopo, Kepel, Ngetos, Nganjuk - http://cdn2.tstatic.net |
Surup
belum sepenuhnya datang. Mendung juga tidak bergelayut di cakrawala gunung
Wilis. Sejauh tatapan mata, hamparannya hanya memampangkan warna biru yang bersih.
Dari setiap bentang tawang pada candikkala itu, hanya cerah saja yang akan terlihat. Sekalipun guntur tiada menggelegar. Sang bagaskara sempurna
bersinar tanpa penghalang di penghujung Mangsa
Kasadasa.
Hari
itu adalah radithé cêmêngan. Dalam
sekejap, mendadak segalanya berubah. Cakrawala menggelap dengan begitu cepat.
Setiap sudut bentangannya, kini telah tertutup pekat. Gunung Wilis bagai dibekap
sebuah jubah hitam yang membentang di seluruh atap langit.
Mendadak
terdengar suara menggeram, seperti gemuruh ombak samudera selatan yang sedang
pasang diterpa badai. Suara mirip lolongan singa lapar yang membuat seluruh
penduduk Dlopo, sebuah kabuyutan di lereng gunung Wilis bergidik. Suara itu
entah berasal dari mana. Ada yang merasa sumbernya dari cakrawala. Ada yang
merasa dari dalam tanah perbukitan di pinggir kabuyutan.
Dalam
sekejap pula, seluruh penghuni kabuyutan Dlopo dihadapkan pada pemandangan
mengerikan. Gugusan gunung yang dianggap sebagai pijakan Dewata saat turun dari
Kahyangan menuju Arcapada itu runtuh. Hempasannya menyapu jutaan kubik tanah, pohon
dan bebatuan yang dilaluinya.
Kabuyutan
Dlopo luluh lantak. Sukma dari manusia-manusia tak berdosa melesat meninggalkan
jasad mereka yang terkubur ke dalam longsoran gunung.
Dlopo
menangis. Gunung Wilis ikut menangis. Kepal dan Ngetos berduka. Air mata Bunda
pertiwi di Anjuk Ladang tiada usai jatuh berderai.
Dalam
kengerian yang menakutkan itu, tak ada seorangpun manusia yang menatap ke atas
cakrawala. Di atas sana, tampak sebuah perwujudan samar makhluk niskala. Sosok
itu terpampang sedemikian rupa dengan bentangan angkasa menjadi layarnya. Sosok
dari sebuah kepala yang sangat besar, seluruh penjuru sudut cakrawala bahkan
tertutup olehnya. Kedua mata makhluk itu memandang Dlopo dengan tatapan mengerikan.
Mata yang membelalak lebar. Mulutnya menyeringai bengis. Gigi taring yang runcing
keluar di sudut bibir yang menyeringai.
Seorang
lelaki tua berusia sekitar tiga perempat abad gemetar. Dia baru saja selamat
dari amukan guguran gunung. Dalam kondisi tubuh penuh luka, tanpa sadar dia
mendongak ke cakrawala. Dengan lirih dan bergetar hebat, bibirnya menyebut
sebuah nama, “Hyangning Lawang!”
-o0o-
photo: MTSN Lengkong |
Sepuluh
ribu tombak dari Dlopo, setengah hari sebelum murka alam mengamuki gunung
Wilis, boyongan kadipaten yang telah beratus-ratus tahun dilakukan Bathara Ring
Anjuk Ladang (pemimpin di Nganjuk/Adipati/Bupati) sedikit ternoda.
Hari
itu, radithé cêmêngan, Wuku Kulawu pada bulan Caitra
Saka Warsa 1939, prosesi pemindahan pusat pemerintahan dari pendopo Berbek
ke pendopo Nganjuk tidak dilakukan oleh sang Adipati.
Sejak
ratusan tahun silam, ketika Raden Tumenggung Sosroskoesoemo memindahkan kotaraja
dari Berbek ke Nganjuk, semua Adipati penerusnya senantiasa melakukan napak
tilas itu di hari jadi kadipaten. Hari untuk memperingati kemenangan besar
Rakryan I Hino Mpu Sindok ketika berhasil menggempur pasukan Sriwijaya di
kabuyutan Gejag (Desa Gejagan, Loceret sekarang). Mpu Sindok pula yang
mendirikan sebuah Candi sebagai tugu kemenangan, sekaligus menjadi cikal bakal
Anjuk Ladang pada 12 Caitra Saka Warsa 859 (Candilor sekarang).
Entah
apa yang ada dalam benak Adipati Anjuk Ladang kemarin, sehingga beliau
memutuskan tidak ikut prosesi boyongan. Pemangku wilayah Anjuk Ladang itu hanya
melakukan Mapak Pusaka----menjemput
pusaka----di alun-alun kota. Menyambut iring-iringan peserta napak tilas
yang kini dikenal sebagai Pawai Alegoris.
Para
budayawan meradang. Selama berabad-abad, baru tahun ini tradisi budaya leluhur
kami ditinggalkan. Sungguh berani!
Leluhur
kami di Sela Matangkêp pasti akan sedih
dan menangis melihat peristiwa minggu pagi kemarin. Bisa jadi, para pendiri
kadipaten Anjuk Ladang itu akan murka.
Jangan
lupa, leluhur kami, orang-orang yang menyerahkan segala hidupnya untuk berjuang
di jalan Sang Pencipta, dengan banyak menjalani tirakat----puasa lahir batin----itu, jika memohon
kepada penciptanya, doa mereka selalu didengar. Permohonan mereka, meski dengan
lidah kolot Jawa, lebih sering dikabulkan, daripada manusia modern yang fasih berbahasa
Ngatas Angin (baca: Arab), tetapi jiwanya penuh dengan tebaran kebencian.
Jangan
salahkan jika leluhur kami memohon murka dari Sang Pencipta Alam. Allah SWT.
Dan
senja itu, murka leluhur kami didengar oleh Zat Yang Maha Suci. Pralaya----duka----di lereng Wilis menjadi simbol
murkanya para pendiri kadipaten Nganjuk. Tanah kemenangan yang dibangun dengan
darah dan air mata oleh Mpu Sindok dan pengikutnya. Tanah yang kini telah
berubah menjadi ajang pengumbaran Ahangkara. Nafsu buas yang tiada mengenal
puas untuk mencuri, merampok dan menggarong harta rakyat, dengan modal kekuatan
dan kekuasaan.
Dirgahayau
Anjuk Ladang. Kota Seribu Jaranan. Bumi Sejuta Bidadari.
Heru Sang Mahadewa
Member
of #OneDayOnePost.
Tulisan
ini saya dedikasikan untuk seluruh rakyat Anjuk Ladang (Nganjuk), kota
kelahiran saya yang genap berusia 1080 tahun pada 10 April 2017.
Khususon
untuk warga Dusun Dlopo, Desa Kepel, Kecamatan Ngetos, yang kemarin tertimpa musibah bencana
longsor, saya turut menyampaikan duka yang sedalam-dalamnya. Semoga seluruh
korban yang meninggal diterima di sisi-NYA, bersama arwah para Syuhada’. Bagi
keluarga yang ditinggalkan, mudah-mudahan diberi kesabaran dan kekuatan Iman.
Untuk korban luka, semoga segera diberi kesembuhan.
Akan
ada banyak hikmah yang bisa kita petik dari bencana alam ini.
Catatan :
Surup
= senja
Candikkala = senja kala, sinonim dari surup
Candikkala = senja kala, sinonim dari surup
Mangsa
Kasadasa = masa kesepuluh dalam bulan Jawa, sekitar 27 Maret – 19 April
radithé cêmêngan = hari minggu wage
Hyangning
Lawang = Bathara Kala, Dewata penguasa waktu, bencana, musibah
Wuku
Kulawu = hari kedua puluh delapan
dalam perhitungan Wuku (hari Jawa)
Caitra
Saka Warsa 1939 = April 2017 Masehi
Wuku
Kulawu Caitra Saka Warsa 1939 = 9
April 2017 Masehi
12 Caitra Saka Warsa 859 = 10 April 937 Masehi
12 Caitra Saka Warsa 859 = 10 April 937 Masehi
Sela
Matangkep = Gerbang Akherat
Anjuk Ladang = tanah
kemenangan, kini disebut Nganjuk
Tulisan kang heru selalu khas
BalasHapusTerima kasih, mbk Antika
HapusMoga rang yg trtimpa musibah diberi ketabahan yg besar.
BalasHapusAamiin.
HapusMatur suwun mas Ahmad
penuh makna tulisan ini, merinding dan sedih :(
BalasHapusTerima kasih, sudah hadir mas Fajar
Hapus