Candi Surowono / Curabhana / Wisnuprabhana |
Sang Bagaskara bersinar sangat terik pagi itu.
Menguapkan lepak embun yang tersisa di dedaunan pohon cemara yang banyak tumbuh
di sepanjang jalan yang saya lalui dari kampung halaman di Nganjuk, menuju sebuah situs
sejarah yang ada di tetangga kota. Kediri.
Perjalanan saya mulai dengan mengambil rute persis
ketika dua bulan lalu saya juga menjelajahi situs-situs sejarah di kota Kediri.
Kali ini tujuan saya adalah ke Candi Surowono.
Saya mengambil jalur utama Nganjuk - Surabaya. Tiga
puluh menit kemudian, setelah memacu laju motor matic butut satu-satunya yang
saya miliki, sampailah di simpang Mengkreng (Braan). Selanjutnya, jalan yang
mengarah ke Purwoasri menjadi pilihan jalur alternativ. Salah satu kota
kecamatan di Kabupaten Kediri yang terletak di tepian sungai Brantas itu saya
capai sekitar lima belas menit. Sepuluh kilometer dari Purwoasri, saya tiba di Bogo,
ibu kota Kecamatan Plemahan.
Dari simpang empat Bogo, laju kuda besi saya pacu
ke arah timur (kota Pare). Desa Canggu yang menjadi tujuan saya. Berjarak
sekitar sepuluh kilometer dari Bogo, tepatnya di pertigaan desa Mejono
(keduanya masih masuk wilayah kecamatan Plemahan), saya berbelok ke kiri dengan
melewati jalan desa beraspal.
Sekitar lima belas menit, setelah melewati hamparan
kolam budidaya ikan, saya sampai di Dusun Surowono, Desa Canggu. Gapura indah bertuliskan
“Selamat Datang di Desa Wisata” menyambut kedatangan saya. Ternyata, selain
candi, banyak situs sejarah yang ditemukan di desa itu.
Tentang
Candi Surowono
Sama dengan Candi Tegowangi yang dulu pernah saya
kunjungi, Candi Surowono yang bernama asli Curabhana
atau Wisnuprabhana merupakan situs peninggalan abad ke 14 pada era
pemerintahan Majapahit. Berada di Dusun Surowono, Desa Canggu, Kecamatan Pare, Kabupaten
Kediri.
Reruntuhan Candi Surowono yang ditata berjajar |
Berdasarkan catatan yang ada di Serat Pararaton –
Pupuh X bait 5 (kitab yang mengisahkan raja-raja Singasari dan Majapahit), candi
ini dibangun sebagai pendharmaan Bhré Wengker Kapisan (raja bawahan di Wengker
pertama).
Dalam Serat Pararaton, catatan tentang meninggalnya
Bhré Wengker Kapisan berada dalam satu bait dengan catatan mangkatnya Bhré Matahun yang didharmakan di candi Tegowangi, tak jauh dari candi Surowono.
Bhré Wengker yang memiliki nama muda Dyah Kudamerta
juga dikenal dengan sebutan Baginda Paramèswara. Dia merupakan menantu Kertaradjasa
Jayawardhana, Bathara Ring Wilwatikta Kapisan (raja Majapahit pertama), Sanggramawijaya
atau Raden Wijaya. Kudamerta menikah dengan Rajadewi Maharadjasa, adik dari
Tribhuwana Tunggadewi, Bathara Ring
Wilwatikta Katêlu (raja Majapahit ketiga).
Bhré Wengker Kapisan juga ayah mertua dari Bathara Ring Wilwatikta Kapat (raja Majapahit keempat), Maharaja Sri
Radjasanagara/Hayam Wuruk. Raja yang membawa Majapahit ke puncak kejayaan bersama
Mahamantri Gajah Mada itu menikahi Susumma Dewi/Paduka Sori, puteri dari
bibinya sendiri, setelah kekasihnya, Dyah Pitaloka Citraresmi ikut terbunuh
dalam tragedi Perang Bubat.
Susumma Dewi/Paduka Sori adalah anak dari pernikahan
Raden Kudamerta/Bhre Wengker Kapisan dengan Rajadewi Maharadjasa (bibi Hayam Wuruk).
Merujuk pada Pararaton, bisa disimpulkan jika antara Bhré Matahun dan Bhré Wengker meninggal pada tahun yang sama. Candi yang dibangun untuk pendharmaan
mereka juga memiliki arsitektur yang mirip. Terbuat dari batu andesit dan berbentuk
bujursangkar dengan badan tambun. Berbeda dengan candi-candi peninggalan
Majapahit yang kebanyakan berbahan batu bata merah dan bentuknya ramping
menjulang tinggi.
Candi Surowono dibangun dua belas tahun setelah Bhré Wengker Kapisan mangkat di tahun 1310 Saka (1388 M). Kondisi candi kini hanya tinggal pondasi dan bagian badan. Atap candi diperkirakan sudah runtuh.
Bekas reruntuhan itu yang sekarang tertata rapi berjajar di komplek candi.
Reruntuhan Relief Candi Surowono |
Reruntuhan Yoni di Candi Surowono |
Meski sebagian badan candi Surowono telah rusak karena
dimakan usia, secara umum kondisi situs ini sangat terawat. Lokasi sekitar
candi tampak rindang dan bersih. Untuk hal ini, saya patut memberikan apresiasi
yang tinggi kepada pemerintah kabupaten Kediri dan masyarakat desa Canggu, atas
kepedulian mereka menjaga benda purbakala.
Pada sekeliling dinding candi Surowono, terlukis
relief Kisah Arjunawiwaha. Sebuah cerita dalam pewayangan yang pernah ditulis
oleh Mpu Baradha atas perintah Sinuwun Prabu Airlangga, raja Panjalu
(Kadhri/Kediri) yang tersohor. Kisah ini dianggap sebagai pengejawantahan
menantu Prabu Dharmawangsa itu atas keberhasilannya mengalahkan Prabu Wura Wari, penguasa
kerajaan Lwaram.
Relief Arjunawiwaha di Candi Surowono |
Bagian belakang Candi Surowono yang tinggal pondasi dan badan |
Jika sahabat sekalian berkunjung ke kota tahu
Kediri, tidak ada salahnya singgah ke situs bersejarah peninggalan kerajaan
Majapahit ini.
Selain lokasinya yang sangat terawat, untuk
memasuki area candi Surowono, kita tidak dipungut biaya alias gratis. Hanya
membayar parkir kendaraan. Inipun tidak
dipatok taripnya, hanya seikhlas kita.
Heru Sang Mahadewa
Member of #OneDayOnePost
jadi destinasi tempat bulan maduku nanti ini mas , heheh
BalasHapusWah, keren mas Fajar.
HapusMemang domisili sampean di Kediri juga?