Girindrawardhana Dyah Ranawijaya - jawatimuran.net |
Sesaat
setelah Bathara Ring Wilwatikta Pungkasan
(raja terakhir Majapahit), Bhre Kertabumi "dikudeta" oleh puteranya
sendiri, Panembahan Jin Bun/Jimbun/Sultan Fattah dari Demak, Antawulan sebagai
ibu kota Majapahit dipimpin oleh Nyo Lay Wa. Upharaja ini adalah seorang Tionghoa.
Tampilnya
Nyo Lay Wa sebagai Upharaja Antawulan menimbulkan konflik di Brang Wétan. Pertama, dia bukan berasal dari etnis
pribumi Majapahit. Kedua, pengukuhan
dirinya sebagai pemimpin kotaraja----ibu
kota negara----hanya pemberian Sultan Fattah, bukan berdasarkan garis
pewaris trah Bathara Ring Wilwatikta. Ketiga,
keyakinan yang dianutnya tergolong masih baru dan berbeda dengan keyakinan
sisa-sisa loyalis Bhre Kertabumi yang notabene adalah pemeluk Syiwa Sogata.
Gejolak
penolakan terhadap Nyo Lay Wa mencapai puncaknya ketika bekas punggawa-punggawa
Majapahit melakukan ontran-ontran di Antawulan. Pemberontakan yang mendapat
dukungan mayoritas rakyat ini memaksa Upharaja Tionghoa itu lengser keprabon
dan tewas.
Girindrawardhana
Dyah Ranawijaya yang terhitung sebagai trah Bathara Ring Wilwatikta ditunjuk
oleh Demak untuk menggantikan Nyo Lay Wa. Dia menjadi pemimpin melalui tradisi
yang benar, tidak seperti pendahulunya.
Tetapi,
kehadiran Girindrawardhana sebagai pemimpin baru juga tak mampu mengembalikan
era damai di Antawulan. Upharaja ini memilih pindah ke Dahanapura.
Nahas,
ketika Demak dipimpin Panembahan Trenggana, perang besar dengan latar belakang
syiar membumihanguskan kaum kafir peninggalan Majapahit, menjadikan Dahanapura
sebagai penutup perjalanan panjang negeri Wilwatikta.
Setali
tiga uang, kejayaan Demak sebagai penguasa baru di Jawa Dwipa juga hanya seumur
jagung. Pertikaian sesama anak bangsa (perebutan kekuasaan sesama keturunan
Sultan Fattah) mengakibatkan kesultanan bercorak Islam itu turut hancur pula.
Akhir
dari kisah sebuah negeri yang pernah berjaya di Nusantara, namun hancur ketika
isu perbedaan etnis dan keyakinan dijadikan komoditi perjuangan.
-o0o-
Sejarah
bisa terulang.
Nyo
Lay Wa adalah upharaja boneka Demak. Dia menjadi pemimpin karena menerima
limpahan kedudukan dari Sultan Fattah. Posisinya nyaris sama dengan pemimpin
ibu kota RI sekarang yang mendapat limpahan jabatan dari Pak Jokowi tiga tahun
silam, ketika beliau terpilih menjadi Presiden.
Hari
ini, berdasarkan Quick Count, Nyo Lay
Wa-nya DKI bisa dipastikan akan lengser keprabon. Pak Anis Baswedan akan tampil
sebagai Girindrawardhana-nya DKI.
Moment
suksesi kepemimpinan di ibu kota RI juga tidak jauh berbeda dengan kondisi
Antawulan dahulu. Sama-sama diwarnai gejolak massa, isu perbedaan etnis dan
keyakinan.
Namun,
seluruh rakyat DKI, juga Indonesia umumnya, pasti berharap bahwa tampilnya
pemimpin baru kali ini tidak bernasib seperti Upharaja di Antawulan. Impian
akan berakhirnya era konflik yang hampir setahun telah menguras energi dan
emosi sesama anak bangsa harus diwujudkan.
Mari
berkaca dari perjalanan para penguasa Jawa Dwipa di masa lampau.
Selamat
kepada pemimpin baru DKI. Yang menang jangan jumawa, yang kalah harus legawa.
Ayu,
hayu, rahayu wilujêng.
Heru Sang Mahadewa
Member of #OneDayOnePost
Catatan:
Antawulan = Trowulan, Mojokerto, Jatim sekarang
Dahanapura = Daha, sekitar kota Kediri, Jatim sekarang
Upharaja = Raja bawahan
Brang Wétan = Jawa belahan timur
Antawulan = Trowulan, Mojokerto, Jatim sekarang
Dahanapura = Daha, sekitar kota Kediri, Jatim sekarang
Upharaja = Raja bawahan
Brang Wétan = Jawa belahan timur
Syiwa Sogata =
Sinkretisme ajaran leluhur Jawa, Syiwa dan Buddha Wajrayana
Wilwatikta = Majapahit (bahasa Sanskerta)
Wilwatikta = Majapahit (bahasa Sanskerta)
Setuju sejarah bisa terulang.
BalasHapusseperti sebuah siklus, mas Ian.
Hapus