Jika dengan sebait doa, atau sekeping uang logam pun kau tak
mampu memberikan; maka dengan setetes darahmu, kau sudah bisa membantu sesama
dengan menyelamatkan nyawanya.
(Heru Sang Mahadewa)
-oo0oo-
Lorong-lorong Rumah Sakit Citra Medika senyap.
Tak ada lalu lalang pembesuk. Beberapa penerangan sengaja dipadamkan. Dinding-dinding
yang pudar warnanya nampak semakin kusam. Bau tidak sedap bermacam obat
menyeruak. Mengelindap.
Lelaki muda itu berlari membelah tujuh
kelokan lorong, lalu terdampar di samping sebuah ranjang pasien.
“Kaucari kantong darah ke mana saja?”
tanya seorang wanita muda.
Lelaki muda itu hanya diam. Napasnya
masih memburu. Ia seperti lupa di mana menyimpan suara. Bibirnya yang gemetar
hanya mendesis-desis, berusaha mengucap sebuah kalimat jawaban, tetapi tidak
kesampaian.
“Ke mana saja kau mencarinya?” Pertanyaan
itu kembali diulang.
Suaranya meninggi, namun lelaki muda
itu tetap diam. Ia mengalihkan pandangan ke seluruh sudut ranjang pasien.
Kosong. Ia menarik selimut yang sejak pagi tadi menghangati tubuh seorang malaikat
kecil di sana. Namun sosok yang dicari tidak ia temukan.
“Ke mana?”
Suara wanita muda kian meninggi, setengah
menjerit, mendengung di telinganya. Entah bagaimana ia harus menjelaskan. Dengung
itu berulang kali mengoyak gendang pendengaran, hingga membuyarkan sebaris
kalimat jawaban yang ada di benaknya.
“Kau sudah terlambat, Mas!” Pungkas
wanita muda di hadapannya.
Mendadak ia membenci pertanyaan dan
kalimat lanjutan itu. Iya, ia benci dengan kenyataan. Benci dengan dirinya
sendiri, kenapa setelah berkejaran dengan waktu lima jam, ia baru bisa
mendapatkan apa yang dibutuhkan malaikat kecilnya.
Masih dengan lidah yang kelu, ia
jatuhkan sebuah bungkusan plastik berwarna putih. Bungkusan yang berisi dua
kantong darah, yang ia buru dari satu ‘Bank Darah’ ke ‘Bank Darah” di kota
lainnya.
Mendadak pandangan matanya kabur.
Semakin gelap, lalu ia tidak bisa melihat apa-apa. Ketika kelopak mata kembali
terbuka, ia dapati dirinya telah berada di tengah kerumunan orang-orang. Ia
juga melihat orang tua, kerabat, dan tetangganya sedang mengusung sebuah
keranda mungil.
Catatan:
Flash
ficton ini diangkat dari peristiwa langkanya stok darah di sebuah
kota di Jawa Timur. Kelangkaan yang membuat trenyuh, karena berdampak pada tidak
tertolongnya nyawa-nyawa manusia yang membutuhkannya. Kelangkaan yang seharusnya
bisa dicegah andai setiap satu dari sepuluh orang dewasa, merelakan setetes darahnya
untuk didonorkan.
Sedih bacanya...
BalasHapusKelangkaan darah yaa, sedih bacanya
BalasHapusSedih bacanya 😭
BalasHapusMiris 🙁
BalasHapusSedih banget,trenyuh😭
BalasHapus