Judul
Buku: Makar Dharmaputra (Serial Mahapatih Gajah Mada)
Penulis:
Langit Kresna Hariadi
Penerbit: Tiga Serangkai
Ukuran: 14×21 cm.
Ukuran: 14×21 cm.
Sampul:
soft cover.
ISBN: 978-979-0848-34-4
ISBN: 978-979-0848-34-4
Genre: Novel Sejarah
Berat: 450 gram
Berat: 450 gram
Bagaskara Manjêr Kawuryan.
Sandi rahasia itu terasa begitu lekat dalam novel besutan maestro fiksi
bercitarasa sejarah: Langit Kresna Hariadi. Matahari memancarkan kemuliaan,
begitu arti sandi yang akan membawa imajinasi pembaca terus menerka-nerka saat membaca
babak demi babak novel ini.
Ada empat
tokoh sentral yang diangkat penulis dalam serial novel Mahapatih Gajah Mada
ini.
Tokoh utama
tentu saja Gajah Mada. Ia seorang prajurit berpangkat bêkêl yang membawahi pasukan Bhayangkara (pasukan khusus Majapahit,
semacam Kopassus sekarang).
Jika
merujuk pada catatan-catatan kuno yang menceritakan sosok Gajah Mada seperti Nêgarakêrtagama dan Sêrat Pararaton, maka Langit Kresna Hariadai bisa dikatakan sangat
berhasil dalam menciptakan karakter Gajah Mada. Penggambaran fisik yang kekar,
tinggi besar, sifatnya yang tegas, penuh perhitungan, jeli dalam mengambil
keputusan, semua dituturkan dengan tehnik telling
dan showing yang tepat.
Tokoh kedua
adalah Sri Jayanegara, raja muda Majapahit yang naik tahta menggantikan
ayahnya, Kertarajasa Jayawardhana.
Berbeda
dengan tokoh utama, Langit Kresna Hariadi justru terkesan bermain aman untuk
menciptakan karakter Jayanegara. Dalam berbagai literatur kuno, raja yang masih
belia ini diceritakan sebagai sosok yang doyan bermain perempuan, gemar
bermabuk-mabukan, dan senang berfoya-foya. Namun, dalam novel ini, ada kesan
bahwa karakter seperti itu sangat tabu untuk diangkat. Pun juga dalam hal
tabiat Jayanegara yang kontroversi; ingin menikahi dua saudara tirinya: Dyah
Gitarja dan Dyah Wiyat.
Tokoh ketiga, yang
juga menjadi aktor sentral adalah Ra Kuti. Ia adalah satu dari lima dharmaputra (pejabat tinggi setingkat
menteri sekarang) yang menjadi orang kepercayaan Jayanegara, namun akhirnya justru
berkhianat.
Seperti
halnya dalam menciptakan karakter Gajah Mada, penulis kelahiran Banyuwangi,
Jawa Timur ini juga sangat piawai mengangkat hitam putinya karakter pimpinan
pemberontak itu. Ra Kuti yang temperamental, memiliki ilmu kanuragan mumpuni,
namun berperingai mirip Jayanegara; doyan bermain perempuan, dituturkan dengan
gaya yang dapat menyihir imajinasi pembaca seolah-olah bertatap muka langsung
dengan tokoh ini.
Tokoh terakhir
adalah kunci dari keberhasilan Langit Kresna Hariadi untuk menghipnotis
pembaca: terus membuka halaman demi halaman untuk menemukan jawaban siapa
sebenarnya tokoh misterius yang diceritakan selalu muncul dan menghilang secara
tiba-tiba dalam novel ini. Bagaskara Manjer Kawuryan.
Novel
Makar Dharmaputra dituturkan dengan alur maju. Kisah dimulai ketika Bagaskara
Manjêr Kawuryan terus menghantui Gajah Mada. Dalam berbagai segmen yang
diceritakan Langit Kresna Hariadi, bêkêl prajurit ini mendapatkan peringatan dari
si tokoh misterius bahwa ada sebuah gerakan bawah tanah yang ingin
menggulingkan kekuasaan Jayanegara.
Konflik
semakin menjadi-jadi, ketika Bagaskara Manjêr Kawuryan tidak mau menunjuk
sebuah nama dari pelaku makar. Saling curiga antar punggawa tinggi Majapahit pun
terjadi. Puncaknya, mereka terpecah menjadi dua kubu. Diam-diam, Ra Kuti, otak
dari rencana makar dharmaputra berhasil mendapatkan dukungan dari salah satu
kubu yang berseteru. Ia pun merasa berada di atas angin; kekuatan antara kubu
pemberontak dan loyalis Jayanegara sudah berimbang. Hari untuk menghabisi raja
Majapahit pun sudah ditentukan.
Malam
terakhir menjelang kudeta, tokoh misterius Bagaskara Manjêr Kawuryan kembali
memberi peringatan bahwa para dharmaputra sudah bergerak. Gajah Mada memutuskan
tetap bertahan di kêdhaton untuk menjaga keselamatan Jayanegara. Nahas, ada
seorang prajurit Bhayangkara yang ternyata berkhianat dengan menjadi teliksandi
Ra Kuti. Jayanegara nyaris terbunuh, kêdhaton jatuh ke tangan pemberontak.
Bersama
sebagian kecil pasukan Bhayangkara, Gajah Mada melarikan Jayanegara ke arah
barat. Sebagian besar pasukan Bhayangkara lagi, diperintahkan melakukan tipuan kepada
pasukan pengejar dengan bergerak menuju Krian, sebelah timur kotaraja Trawulan.
Sampai
di sini, selanjutnya pembaca akan disuguhkan romantisme kesetiaan dan loyalitas
Gajah Mada dalam menyelamatkan nyawa rajanya. Mereka hanya berdua, karena sang
bekel tahu bahwa pasukannya sudah tidak bisa dipercaya lagi. Dalam tubuh
Bhayangkara saat itu, sulit dibedakan siapa kawan dan siapa lawan, sehingga ia
perintahkan semua anak buahnya untuk pergi dan menunggu di suatu tempat.
Dari
satu desa ke desa lain, Gajah Mada membawa Jayanegara dalam penyamaran. Meski,
dalam hati ia tahu bahwa Jayanegara bukanlah pemimpin yang baik. Tetapi, jiwa
patriotnya tidak bisa berpaling.
Di sebuah
desa bernama Kudadu, akhirnya Gajah Mada menitipkan Jayanegara kepada seorang
lurah. Ia pamit kembali ke Trawulan, untuk membuat perhitungan dengan Ra Kuti. Makar
dharmaputra berhasil ditumpas oleh Gajah Mada bersama pasukan Bhayangkara yang
setia (ada dua prajurit yang terbongkar kedoknya sebagai pengkhianat, akhirnya
dihabisi Gajah Mada selama pelarian Jayanegara).
Ending dari kisah ini saya katakan: memukau!
Iya,
Jayanegara yang telah selamat dari percobaan pembunuhan dalam pemberontakan Ra
Kuti, kambuh lagi kegemarannya bermain perempuan. Istri salah satu dharmaputra
yang tersisa, Ra Tanca, adalah perempuan yang pernah menjadi korban perilaku
tak senonoh raja itu.
Dikisahkan
pada epilog novel ini: Jayanegara sedang menderita bisul. Ra Tanca, dharmaputra
yang ahli dalam pembuatan racun dan pengobatan, dipanggil ke bilik raja.
Dibalut rasa dendam yang lama terpendam akibat perlakuan Jayanegara kepada
istrinya, Ra Tanca bukannya memberikan obat, tetapi justru memasukkan racun
sekelas sianida ke dalam minuman yang harus ditenggak Jayanegara.
Dalam
hitungan detik, Jayanegara menggelepar dan meregang nyawa di atas tempat tidur.
Gajah Mada yang melihatnya, langsung menusukkan sebilah keris ke jantung Ra
Tanca. Di luar dugaan, pada penghujung ajalnya, Ra Tanca berucap, “Akulah Bagaskara
Manjêr Kawuryan.”
Sedikit
koreksi terhadap muatan sejarah, lurah yang membantu Gajah Mada dan Jayanegara
adalah pemangku desa Bedander (sebuah desa di daerah Jombang utara sekarang),
bukan desa Kudadu (sebuah desa di daerah Pasuruan utara). Langit Kresna Hariadi
rupanya sedikit rancu menggunakan setting tempat antara pelarian Jayanegara
dengan pelarian ayahnya, Sanggramawijaya (Raden Wijaya/Kertarajasa Jayawardhana)
yang bersembunyi di desa Kudadu saat Singhasari digempur pasukan Jayakatwang
dari Kediri.
Terlepas
dari kesalahan kecil di atas, meski anda bukan pecinta sejarah, novel Makar
Dharmaputra sangat layak untuk anda baca. Ada pelajaran mulia yang ingin disampaikan penulisnya: Siapapun
pemimpinnya, jika ibu pertiwi sudah memanggil, wajib hukumnya bagi kita untuk bela
negara, meski nyawa taruhannya.
(Heru Sang Mahadewa)
Member
of One Day One Post
Mantap. Jayanegara memang pantas mendapatkan takdirnya.
BalasHapusSetuju, Kang!
Hapus