Tak
pernah terbayangkan dalam pikirannya, negeri yang katanya paling toleran,
menjunjung tinggi pluralisme, tempat ia lahir dan dibesarkan, mendadak tak ada
bedanya dengan neraka. Harga sebuah nyawa, lebih murah dari seekor tikus got. Kota yang ditempatinya, ternyata
lebih sadis dari Rakhine, Sarajevo dan kota-kota di Kamboja pada masa kekuasaan
junta militer.
Dari pojok
sebuah halte, ia memandang ke seberang jalan dengan tatapan mata hampa. Di depannya,
juga di jalan-jalan lain di kotanya, sudah tiga hari ini dipenuhi orang-orang
yang mengibarkan bendera, menenteng poster dan spanduk, lalu berteriak-teriak penuh
amarah, “Hidup Pribumi … usir Aseng … usir Aseng!”
Di
seberang jalan yang lain, ia melihat puluhan anak muda melempari sebuah pos
penjagaan polisi. Papan kayu bertuliskan ‘Melindungi
Dan Mengayomi Masyarakat’ mereka copot dari teras bangunan berukuran dua
meter persegi itu, lalu diinjak-injak.
“Hancurkan ... hancurkan!” Teriak mereka bersahut-sahutan.
“Bakar
saja!” Terdengar suara dari arah lain.
Nampak
seorang lelaki memakai cadar penutup
mulut, berlari mendekat, lalu melemparkan bom molotov. Tak ayal lagi, dalam
sekejap mata, pos yang sudah ditinggalkan penjaganya itu musnah dilalap si jago
merah.
Hanya
beralaskan sandal jepit buntung, ia berjalan
meninggalkan halte, lalu menerobos kerumunan orang-orang yang meneriakkan kata-kata
menuntut keadilan.
Kini,
pandangan matanya menyorot tajam. Puluhan lelaki berbadan gempal, memukuli dua kuli
toko milik seorang etnis yang dicap sebagai perebut kesejahteraan kaum pribumi.
Sekedip kemudian, pelayan-pelayan yang sudah babak belur itu diseret ke jalanan.
Belasan lelaki lainnya berhamburan masuk, mengangkat televisi, kulkas, dan
benda apa saja yang bisa dijarah. Sebuah papan bertuliskan toko Pelangi Electronica tak luput dari amukan; dicopot
lalu dibakar.
Lima
lelaki menerobos masuk lebih ke dalam lagi. Terdengar jeritan minta tolong,
mohon ampun, dan memelas dari mulut orang-orang bermata sipit. Satu-satunya
lelaki yang ada di ruangan itu, dihujani dengan puluhan bogem
mentah, lalu dikepruk kepalanya dengan sebatang balok hingga tersungkur tak
berdaya.
“Enyah
kalian, penjajah!”
“Ini
tanah kami!”
“Pulanglah
kalian ke negeri leluhurmu!”
“Pelorot
celananya!”
“Gagahi
... gagahi ... gagahi!!!”
Dalam
hitungan menit, ia melihat belasan lelaki menumpahkan nafsu binatangnya kepada
dua perempuan yang menggigil ketakutan di kolong tempat tidur. Perempuan pertama telah paruh baya. Satu lagi, perempuan
kedua, masih bau kencur. Berusia sekitar empat belas tahunan.
Apakah Tuhan telah meninggalkan kota ini?
Belasan
binatang yang telah puas dengan lampiasan birahinya meninggalkan begitu saja
dua perempuan yang telah terkapar. Perempuan pertama diakhiri hidupnya dengan
sebuah keprukan pipa besi di tengkuk. Sementara, perempuan kedua, amoy yang tak tahu apa dosa dia dan
keluarganya, meregang nyawa setelah kehabisan darah, akibat benda tumpul yang
mengoyak organ intimnya paska ia digagahi bergantian.
“Biadab
... dasar anjing!”
Akhirnya
ia mengeluarkan kata-kata makian juga.
Belasan
orang menoleh, satu di antaranya bergumam, “Orang gila halte?”
Kerikil-kerikil
berukuran sebiji salak menghujani tubuhnya. Dua orang mencoba menghalau
sambil menyumpal hidung. “Pergi ... pergi kau, orang gila!” Satu orang lainnya mendorong dengan keras, “Sial ... tubuhnya lebih busuk dari bau tai di peternakan bebek pinggir kota!”
Setengah
berlari, ia berjalan tertatih-tatih menuju halte. Kembali ke tempat tinggalnya. Halte yang sudah dihuninya selama bertahun-tahun. Yang lekat dengan aroma pesing bercampur busuk.
Jakarta, Mei 1998
Heru Sang Amurwabhumi
Member
of One Day One Post
Catatan:
Kisah
ini diangkat dari tragedi kelam Mei 1998. Krisis financial Asia merambah
Indonesia. Ribuan orang turun ke jalan, lalu menduduki gedung parlemen untuk
menuntut reformasi pemerintah dan pengunduran diri Presiden Soeharto.
Peristiwa
itu dinodai oleh tewasnya tiga mahasiswa Universitas Trisakti paska pecahnya kerusuhan
massa. Etnis Tionghoa menjadi sasaran penjarahan, pemerkosaan, dan pembunuhan
ketika itu.
Like it
BalasHapusSelalu beda..
Innalillahi, menyedihkan ya 😢
BalasHapus