Sabtu, 07 Januari 2017

LIMA POINT PENTING YANG HARUS DILAKUKAN PERSEBAYA 1927

logo Persebaya - jaringnews.com


Hari minggu 8 Januari 2017 besok, pengurus baru Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) untuk pertama kalinya akan melakukan kongres tahunan. Kota Bandung menjadi tempat yang dipilih sebagai tuan rumah.

Tiga agenda utama akan menjadi pembahasan organisasi yang kini dipimpin Jendral TNI Edi Rahmayadi (Pangkostrad). Pertama adalah penentuan nasib tujuh klub yang sedang bermasalah statusnya. Kedua, penetapan pelatih timnas. Terakhir, penetapan tata kelola kompetisi musim 2017.

Agenda paling menarik perhatian masyarakat Indonesia, termasuk saya, adalah yang pertama. Bukan hanya karena tema ini akan menjadi kunci perjalanan sepakbola nasional ke depan, tetapi juga salah satu klub favorit saya, Persebaya 1927, masuk dalam daftar nama klub yang akan ditentukan nasibnya.

Selama empat tahun sejak kehilangan eksistensinya, berbagai upaya Persebaya 1927 untuk menuntut pengembalian haknya selalu nihil. Banyak yang menganggap pengurus PSSI senantiasa berbuat zolim terhadap Bajul Ijo (julukan Persebaya).

Belajar dari perjuangan yang tak kunjung berhasil tersebut, inilah lima point penting yang seharusnya dilakukan Persebaya 1927 untuk mendapatkan kembali haknya:


Point pertama, menjadi tamu yang baik.
Mulai jumat tadi malam, 6 Januari 2017, diperkirakan ribuan Bonek mulai tiba kota Bandung. Menurut informasi dari berbagai media, arek-arek Bonek telah memasuki kota Kembang melalui berbagai titik.

Jangan lupa, selama berada di Bandung, arek-arek adalah tamu. Seorang tamu yang baik adalah tamu yang bisa menempatkan diri dalam konteks menjaga perilaku dan sikap. Sangat tidak etis jika seorang tamu kemudian melakukan tindakan yang tidak sopan, kurang santun, dan tidak mengenal unggah-ungguh---tata krama sehingga menyinggung perasaan tuan rumah. Meski mereka adalah saudara sendiri. Dalam hal ini, mereka adalah masyarakat kota Bandung dan sekitarnya. Meskipun hubungan antara Bonek dan Viking (suporter Persib Bandung) sangat harmonis, sudah seperti saudara sendiri.

Bersikaplah yang sopan. Hormati masyarakat kota Bandung sebagai pihak yang sedang kita sowani---kunjungi. Jangan meninggalkan kesan bahwa kita adalah tamu yang tidak punya etika.

Point kedua, jangan rasis dan anarkis.
Tujuan arek-arek Bonek ke Bandung adalah melanjutkan perjuangan menuntut hak Persebaya 1927 untuk bisa kembali berkompetisi di kasta tertinggi sepakbola Indonesia. Jangan sampai perjuangan ini ternodai oleh aksi kurang simpati, yang justru akan menjadi batu sandungan bagi Persebaya 1927 sendiri.

Setiap kali saya blusukan kota Surabaya, hampir di setiap sudut gang di kota Buaya itu bertebaran spanduk, poster dan baliho yang berisi tuntutan kepada PSSI agar hak Persebaya 1927 dikembalikan. Sayangnya, tidak sedikit kalimat yang tercetak bernuansa (maaf) hujatan, hinaan, bahkan menebar aroma permusuhan kepada induk organisasi sepakbola Indonesia (PSSI).

Nah, selama kita berjuang ke Bandung, janganlah menunjukkan spanduk dan poster yang kurang bersahabat itu. Ingat, nasib beberapa klub dengan status bermasalah, salah satunya adalah Persebaya 1927, akan menjadi pembahasan utama dalam kongres tahunan PSSI.

Mustahil mereka akan bersimpati, mengabulkan tuntutan arek-arek Bonek, jika yang diusung adalah spanduk dan poster bernuansa hujatan dan menantang perang PSSI.

Setidaknya, arek-arek Bonek harus bisa menahan diri untuk tidak berbuat rasis meski melalui tulisan. Apalagi melakukan tindakan anarkis. Jangan!

Point ketiga, rangkul para voters.
Terlepas dari kontroversi masih terdaftarnya nama Persebaya dalam pemilik hak suara di kongres PSSI, meski besar kemungkinan posisi itu diberikan kepada kubu Pak Gede (Surabaya Bhayangkara United FC), nasib Persebaya 1927 tetap berada di keputusan para voters.

Jika lima puluh persen lebih satu suara voters nanti menghendaki Persebaya 1927 kembali ke kasta tertinggi sepakbola Indonesia, terwujudlah apa yang selama bertahun-tahun ini diperjuangkan arek-arek Surabaya.

Sebaliknya, jika dukungan kepada Persebaya 1927 hanya separuh atau bahkan kurang dari total pemilik hak suara dalam kongres ini, maka bisa dipastikan bahwa untuk kesekian kalinya arek-arek Surabaya akan kecewa lagi. Harus menunggu kongres tahun selanjutnya.

Maka, menjadi suatu keharusan bagi Persebaya 1927 untuk bisa merangkul para voters. Suka atau tidak suka, merekalah yang kali ini akan besar andilnya dalam mengambil keputusan terhadap nasib klub-klub yang statusnya bermasalah (jika tidak mau disebut terzolimi).

Point keempat, butuh diplomat ulung.
Sebuah perjuangan yang hanya mengandalkan kekuatan (pengerahan massa, suporter) tanpa ditopang upaya diplomasi, sama saja dengan omong kosong. Begitu pula sebaliknya, upaya diplomasi tanpa dukungan suporter pun akan mustahil tercapai.

Kongres Luar Biasa PSSI dua bulan silam menjadi pelajaran berharga, upaya Persebaya 1927 untuk menuntut haknya pupus karena tidak adanya upaya diplomasi jauh hari sebelumnya. Alhasil, ketika kongres berlangsung, tuntutan arek-arek Surabaya tidak dibahas sedikitpun.

Saat ini, Persebaya 1927 butuh sosok diplomat ulung. Figur yang memiliki kemampuan untuk melakukan lobi-lobi kepada voters, pengurus, anggota exco, Ketum PSSI, atau bahkan pemerintah.

Melalui orang yang dianggap capable dalam hal negosiasi inilah, perjuangan melalui jalur perundingan akan turut mempercepat tercapainya misi perjuangan arek-arek Surabaya.

Point kelima, bersihkan kepengurusan klub dari orang-orang berlatar belakang politik.
Sejarah mencatat, Persebaya di masa silam pernah menorehkan catatan prestasi dengan tinta emas ketika dipimpin oleh sosok yang bersih dari unsur partai politik.

Almarhum Cak Narto Sumoprawiro dan Pak Purnomo Kasidi (keduanya Walikota Surabaya di masanya) adalah orang-orang yang berhasil membawa Persebaya ke jalur prestasi. Beliau-beliau merupakan figur yang berasal dari pemerintah. Bukan kader sebuah organisasi massa dan partai politik.

Sekedar flashback ke peristiwa beberapa tahun silam, badai yang menerpa Persebaya 1927 hingga berbuntut lepasnya hak keikutsertaan di kompetisi tertinggi sepakbola nasional adalah ketika klub kebanggaan warga Surabaya ini dipegang oleh Pak Saleh Ismail Mukadar.

Tanpa bermaksud mengecilkan peran Pak Saleh Ismail Mukadar, seorang figur yang memiliki konsep dan pemikiran bagus dalam memajukan Persebaya 1927, tampilnya beliau yang memiliki latar belakang politik akhirnya memancing serangan dari rival-rival politiknya juga.

Iya, begitulah politik. Terkadang lebih mengedepankan arogansi, mengutamakan kepentingan kelompoknya, ketimbang menjunjung tinggi sportivitas dan semangat fair play.

Ada ataupun tidak ada kongres tahunan PSSI, sudah saatnya Persebaya 1927 kini dikelola dan dipimpin oleh figur yang bersih dari organisasi massa dan partai politik.

Saya yakin, masih banyak sosok ber-dedikasi tinggi dengan kemampuan mumpuni di kota Surabaya, yang bisa melakukan reformasi total manajemen klub. Mulai dari solusi terhadap sulitnya mendapatkan pasokan dana (sponsorship), hingga tata kelola sistem perekrutan pengurus, pelatih dan pemain yang tepat. Bahkan juga fungsi koordinasi (menjaga stabilitas hubungan) dengan klub lain, PSSI serta pemerintah.

Begitulah lima point penting yang seharusnya dilakukan oleh Persebaya 1927. Mungkin sedikit terlambat, tapi masih lebih baik, ketimbang tidak dievaluasi sama sekali.

Selamat berjuang arek-arek Bonek.

Salam satu nyali ... wani!

(Heru Sang Mahadewa)
Member of #OneDayOnePost

0 komentar:

Posting Komentar

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *