Selasa, 03 Januari 2017

MENYUSURI JEJAK SEJARAH MAJAPAHIT (Part 1)



Surya Majapahit - image google

Tahun pertama belajar menulis semenjak bergabung dengan gerakan One Day One Post, banyak harapan yang belum bisa saya raih sebagai pembelajar.

Salah satu impian terbesar saya yang sampai saat ini belum bisa menjadi kenyataan adalah menerbitkan sebuah buku dengan tema fiksi sejarah.

Banyak kendala yang saya alami, sehingga naskah yang sedang saya lengkapi tidak kunjung selesai juga.

Salah satunya adalah keterbatasan waktu sebagai pekerja pabrik. Faktor ini yang paling besar pengaruhnya dalam menghambat ruang gerak saya sehingga tidak bisa leluasa mendapatkan informasi secara langsung di situs-situs sejarah.

Bulan Desember kemarin, kebetulan ada beberapa hari libur nasional yang membawa banyak keuntungan bagi saya untuk menjelajah tempat-tempat bersejarah. Terutama jejak dari Wilwatikta. Sebuah negeri besar di masa lampau yang dikenal dengan nama Majapahit.

Ditemani oleh jagoan kecil saya yang kebetulan juga punya antusias luar biasa jika diajak mengunjungi situs-situs sejarah, saya memulai perjalanan dari kota Nganjuk menuju daerah Ngimbang, kabupaten Lamongan, dan Trowulan, kabupaten Mojokerto. Ketiganya berada di provinsi Jawa Timur.

Misi saya hanya satu: menggali banyak data dan informasi untuk melengkapi naskah yang nantinya Insya Allah akan terbit menjadi sebuah buku di tahun 2017 ini.

Sebuah mimpi besar, harapan dan resolusi yang menjadi target saya. Semoga benar-benar bisa menjadi kenyataan.

Amin.

SITUS GUNUNG RATU

situs gunung Ratu
Terletak di desa Cancing, kecamatan Ngimbang, Kabupaten Lamongan. Berjarak sekitar 30 km dari pusat kota. Jika ditempuh berkendara dari Surabaya, membutuhkan waktu sekitar 2 jam.

Karena sedang berlibur di kampung halaman, saya mengambil jalur dari arah Lengkong, Jatikalen (wilayah kabupaten Nganjuk), lalu menembus ke Ploso, Kabuh (ikut wilayah kabupaten Jombang). Sekitar setengah jam perjalanan melewati kawasan pegunungan dengan pemandangan hutan jati, akhirnya saya sampai di Ngimbang.

Di kota kecamatan yang terletak di ujung paling selatan kabupaten Lamongan itu, saya beristirahat sebentar di sebuah SPBU. Selain mengisi persediaan bahan bakar, juga bertanya kepada dua orang anak muda: jalur menuju gunung Ratu.

Menuruti arahan dua pemuda itu, saya meneruskan perjalanan dari Ngimbang berbelok ke arah timur. Melewati ladang jagung kemudian masuk ke kawasan hutan tropis.

Sampai di desa pertama, jalanan mulai sedikit hancur. Belum ada aspal, hanya bebatuan alami yang menghiasi permukaan satu-satunya jalur menuju gunung Ratu tersebut. Sekitar tiga kilometer semakin masuk ke dalam hutan, jalan semakin menantang. Naik turun dengan medan becek dan berlumpur.

Kurang lebih lima kilometer dari Ngimbang tadi, akhirnya saya sampai di desa Cancing.

Situs gunung Ratu terletak di puncak sebuah bukit. Untuk mencapainya, kita harus menaiki ratusan anak tangga yang telah dibangun oleh pemerintah setempat. Konon, tidak ada dua orang yang menemukan angka sama saat menghitung jumlah anak tangga tersebut.

Saya sendiri tidak tertarik untuk menghitungnya.

Di kompleks situs, terdapat bangunan sebuah pendopo kecil sebagai istirahat para pengunjung. Persis di depan pendopo, terdapat dua makam. Pada batu nisan keduanya, tertulis nama Kucing Condro Mowo dan Garangan Putih.

Tak jauh dari makam kucing Condro Mowo dan Garangan Putih terdapat sebuah cungkup (bangunan pelindung makam) yang merupakan bangunan utama dari situs ini. Masyarakat setempat mempercayainya sebagai makam dari Dewi Andongsari.

Berpose di depan makam kucing Condro Mowo dan Garangan Putih

Siapa Dewi Andongsari, Kucing Condro Mowo dan Garangan Putih?

Menurut Mbah Cancing, juru kunci situs gunung Ratu yang sempat saya ajak diskusi, Dewi Andongsari adalah ibunda dari Jaka Mada, seorang tokoh besar yang berdasarkan folklore (cerita dari mulut ke mulut) penduduk Lamongan dipercaya sebagai sosok masa kecil Gajah Mada. Mahapatih kerajaan Wilwatikta yang terkenal dengan Sumpah Palapa.

Dewi Andongsari sendiri sebenarnya adalah seorang ratu selir dari raja Majapahit. Karena gejolak yang ada di keraton (bisa jadi konflik politik sehingga ia dan puteranya sengaja diselamatkan dengan cara dikeluarkan dari istana) atau hasutan dari ratu-ratu lainnya yang iri, Dewi Andongsari terusir (bisa juga sengaja disembunyikan) dari kota raja (untuk meneruskan kejayaan kelak). Ia yang sedang hamil tua pulang ke kampung asalnya di pegunungan Kendeng.

Di tengah hutan, sang ratu selir menjalani kehidupan bersama dua abdi dalem (pelayan) setianya yang ikut dari Majapahit. Mereka tinggal di sebuah bukit yang kini dikenal sebagai gunung Ratu. Disana pula, Ratu Dewi Andongsari melahirkan seorang bayi laki-laki.

Suatu hari, Dewi Andongsari pergi ke sendang untuk mandi. Bayinya ditinggal dan dijaga oleh dua abdi dalem. Datang seekor ular piton yang hendak memangsa si jabang bayi. Beruntung dua abdi dalem yang menjaga sigap dan bertarung dengan binatang buas itu.

Keduanya menjelma menjadi seekor kucing dan garangan (musang). Tejadi pergulatan antara ular piton dengan dua binatang jelmaan abdi dalem Ratu Dewi Andongsari hingga ketiganya berdarah-darah.

Si ular piton tewas. Ratu Dewi Andongsari tak lama kemudian datang.

Melihat darah berceceran, sang ratu langsung berpikiran bahwa kucing dan garangan yang ada dihadapannya telah mencelakai bayinya. Tanpa berpikir panjang, ia langsung membunuh dua binatang itu.

Ketika menemui bayinya masih utuh tak kurang suatu apapun, sang ratu terkejut. Ia semakin kebingungan ketika dua abdi dalemnya tidak ada di sana. Dicari kesana kemari tetap tak ditemukan.

Ratu Dewi Andongsari pun menyesal setelah melalui tapa brata (meditasi) mendapat petunjuk bahwa kucing dan garangan yang ia bunuh adalah jelmaan dua abdi dalem setianya. 

Ratu Dewi Andongsari akhirnya meninggal, atau bisa jadi muksa muksa (menghilang sukma dan raga, kembali ke alam keabadian) di gunung Ratu.

Bayi laki-lakinya kemudian diasuh oleh Ki Gede Sidowayah dan Nyai Wora Wari. Dua kakak beradik dari Desa Modo yang menemukan bayi sebatang kara di tengah hutan.

Kepada putera Ratu Dewi Andongsari itu, mereka memberi nama Joko Modo (Jaka Mada) yang berarti anak lelaki dari desa Modo. 

Bersama Mbah Cancing, juru kunci situs gunung Ratu
Obrolan saya dengan Mbah Cancing menemui puncak ketakjuban ketika beliau menuturkan bahwa selain diasuh oleh Ki Gede Sidowayah, Jaka Mada juga dirawat oleh Mpu Sedayu, seorang pembuat pusaka.

Dari petunjuk Mbah Cancing itulah, saya justru menduga kuat bahwa sosok Ki Gede dan Mpu Sedayu sebenarnya adalah orang yang sama.

Alasan saya sederhana, Ki Gede Sidowayah dikenal masyarakat desa Modo, desa Sidowayah dan desa Cancing sebagai seorang pembuat pusaka ulung pesanan orang-orang Majapahit. Sedangkan dalam berbagai catatan, Wilwatikta hanya mengenal seorang pembuat pusaka bernama Mpu Sedayu.

BERSAMBUNG

Heru Sang Mahadewa
Member of #OneDayOnePost

2 komentar:

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *