Surya Majapahit - image google |
Tahun pertama belajar menulis semenjak
bergabung dengan gerakan One Day One Post, banyak harapan yang belum bisa saya
raih sebagai pembelajar.
Salah satu impian terbesar saya yang
sampai saat ini belum bisa menjadi kenyataan adalah menerbitkan sebuah buku
dengan tema fiksi sejarah.
Banyak kendala yang saya alami,
sehingga naskah yang sedang saya lengkapi tidak kunjung selesai juga.
Salah satunya adalah keterbatasan waktu
sebagai pekerja pabrik. Faktor ini yang paling besar pengaruhnya dalam menghambat
ruang gerak saya sehingga tidak bisa leluasa mendapatkan informasi secara
langsung di situs-situs sejarah.
Bulan Desember kemarin, kebetulan ada
beberapa hari libur nasional yang membawa banyak keuntungan bagi saya untuk
menjelajah tempat-tempat bersejarah. Terutama jejak dari Wilwatikta. Sebuah
negeri besar di masa lampau yang dikenal dengan nama Majapahit.
Ditemani oleh jagoan kecil saya yang
kebetulan juga punya antusias luar biasa jika diajak mengunjungi situs-situs
sejarah, saya memulai perjalanan dari kota Nganjuk menuju daerah Ngimbang,
kabupaten Lamongan, dan Trowulan, kabupaten Mojokerto. Ketiganya berada di
provinsi Jawa Timur.
Misi saya hanya satu: menggali banyak data
dan informasi untuk melengkapi naskah yang nantinya Insya Allah akan terbit
menjadi sebuah buku di tahun 2017 ini.
Sebuah mimpi besar, harapan dan resolusi yang menjadi target saya.
Semoga benar-benar bisa menjadi kenyataan.
Amin.
SITUS
GUNUNG RATU
situs gunung Ratu |
Terletak di desa Cancing, kecamatan
Ngimbang, Kabupaten Lamongan. Berjarak sekitar 30 km dari pusat kota. Jika
ditempuh berkendara dari Surabaya, membutuhkan waktu sekitar 2 jam.
Karena sedang berlibur di kampung
halaman, saya mengambil jalur dari arah Lengkong, Jatikalen (wilayah kabupaten
Nganjuk), lalu menembus ke Ploso, Kabuh (ikut wilayah kabupaten Jombang).
Sekitar setengah jam perjalanan melewati kawasan pegunungan dengan pemandangan hutan
jati, akhirnya saya sampai di Ngimbang.
Di kota kecamatan yang terletak di
ujung paling selatan kabupaten Lamongan itu, saya beristirahat sebentar di
sebuah SPBU. Selain mengisi persediaan bahan bakar, juga bertanya kepada dua
orang anak muda: jalur menuju gunung Ratu.
Menuruti arahan dua pemuda itu, saya
meneruskan perjalanan dari Ngimbang berbelok ke arah timur. Melewati ladang
jagung kemudian masuk ke kawasan hutan tropis.
Sampai di desa pertama, jalanan mulai
sedikit hancur. Belum ada aspal, hanya bebatuan alami yang menghiasi permukaan satu-satunya
jalur menuju gunung Ratu tersebut. Sekitar tiga kilometer semakin masuk ke dalam
hutan, jalan semakin menantang. Naik turun dengan medan becek dan berlumpur.
Kurang lebih lima kilometer dari
Ngimbang tadi, akhirnya saya sampai di desa Cancing.
Situs gunung Ratu terletak di puncak
sebuah bukit. Untuk mencapainya, kita harus menaiki ratusan anak tangga yang
telah dibangun oleh pemerintah setempat. Konon, tidak ada dua orang yang
menemukan angka sama saat menghitung jumlah anak tangga tersebut.
Saya sendiri tidak tertarik untuk
menghitungnya.
Di kompleks situs, terdapat bangunan sebuah
pendopo kecil sebagai istirahat para pengunjung. Persis di depan pendopo,
terdapat dua makam. Pada batu nisan keduanya, tertulis nama Kucing Condro Mowo
dan Garangan Putih.
Tak jauh dari makam kucing Condro Mowo
dan Garangan Putih terdapat sebuah cungkup
(bangunan pelindung makam) yang merupakan bangunan utama dari situs ini.
Masyarakat setempat mempercayainya sebagai makam dari Dewi Andongsari.
Berpose di depan makam kucing Condro Mowo dan Garangan Putih |
Siapa
Dewi Andongsari, Kucing Condro Mowo dan Garangan Putih?
Menurut Mbah Cancing, juru kunci situs
gunung Ratu yang sempat saya ajak diskusi, Dewi Andongsari adalah ibunda dari
Jaka Mada, seorang tokoh besar yang berdasarkan folklore (cerita dari mulut ke mulut) penduduk Lamongan dipercaya
sebagai sosok masa kecil Gajah Mada. Mahapatih kerajaan Wilwatikta yang
terkenal dengan Sumpah Palapa.
Dewi Andongsari sendiri sebenarnya
adalah seorang ratu selir dari raja Majapahit. Karena gejolak yang ada di
keraton (bisa jadi konflik politik sehingga ia dan puteranya sengaja
diselamatkan dengan cara dikeluarkan dari istana) atau hasutan dari ratu-ratu
lainnya yang iri, Dewi Andongsari terusir (bisa juga sengaja disembunyikan) dari kota
raja (untuk meneruskan kejayaan kelak). Ia yang sedang hamil tua pulang ke kampung asalnya di pegunungan Kendeng.
Di tengah hutan, sang ratu selir
menjalani kehidupan bersama dua abdi
dalem (pelayan) setianya yang ikut dari Majapahit. Mereka tinggal di sebuah
bukit yang kini dikenal sebagai gunung Ratu. Disana pula, Ratu Dewi Andongsari
melahirkan seorang bayi laki-laki.
Suatu hari, Dewi Andongsari pergi ke
sendang untuk mandi. Bayinya ditinggal dan dijaga oleh dua abdi dalem. Datang seekor ular piton yang hendak memangsa si jabang
bayi. Beruntung dua abdi dalem yang
menjaga sigap dan bertarung dengan binatang buas itu.
Keduanya menjelma menjadi seekor
kucing dan garangan (musang). Tejadi pergulatan antara ular piton dengan dua
binatang jelmaan abdi dalem Ratu Dewi Andongsari hingga ketiganya
berdarah-darah.
Si ular piton tewas. Ratu Dewi Andongsari tak lama kemudian datang.
Melihat darah berceceran, sang ratu
langsung berpikiran bahwa kucing dan garangan yang ada dihadapannya telah mencelakai
bayinya. Tanpa berpikir panjang, ia langsung membunuh dua binatang itu.
Ketika menemui bayinya masih utuh tak
kurang suatu apapun, sang ratu terkejut. Ia semakin kebingungan ketika dua abdi dalemnya tidak ada di sana. Dicari
kesana kemari tetap tak ditemukan.
Ratu Dewi Andongsari pun menyesal setelah melalui
tapa brata (meditasi) mendapat petunjuk bahwa kucing dan garangan yang ia bunuh adalah jelmaan
dua abdi dalem setianya.
Ratu Dewi Andongsari akhirnya meninggal, atau bisa jadi muksa muksa (menghilang sukma dan raga, kembali ke alam keabadian) di gunung Ratu.
Ratu Dewi Andongsari akhirnya meninggal, atau bisa jadi muksa muksa (menghilang sukma dan raga, kembali ke alam keabadian) di gunung Ratu.
Bayi laki-lakinya kemudian diasuh oleh
Ki Gede Sidowayah dan Nyai Wora Wari. Dua kakak beradik dari Desa Modo yang
menemukan bayi sebatang kara di tengah hutan.
Kepada putera Ratu Dewi Andongsari itu,
mereka memberi nama Joko Modo (Jaka
Mada) yang berarti anak lelaki dari desa Modo.
Bersama Mbah Cancing, juru kunci situs gunung Ratu |
Obrolan saya dengan Mbah Cancing
menemui puncak ketakjuban ketika beliau menuturkan bahwa selain diasuh oleh Ki
Gede Sidowayah, Jaka Mada juga dirawat oleh Mpu Sedayu, seorang pembuat pusaka.
Dari petunjuk Mbah Cancing itulah,
saya justru menduga kuat bahwa sosok Ki Gede dan Mpu Sedayu sebenarnya adalah
orang yang sama.
Alasan saya sederhana, Ki Gede
Sidowayah dikenal masyarakat desa Modo, desa Sidowayah dan desa Cancing sebagai
seorang pembuat pusaka ulung pesanan orang-orang Majapahit. Sedangkan dalam berbagai
catatan, Wilwatikta hanya mengenal seorang pembuat pusaka bernama Mpu Sedayu.
BERSAMBUNG
Heru Sang Mahadewa
Member of #OneDayOnePost
Semoga di tahun 2017 ini bisa nerbitin buku fiksi sejarah mas Heru...
BalasHapusAamiin.
BalasHapusTerima kasih Inet.