Sabtu, 12 November 2016

PANDU SWARGO - REFLEKSI HARI AYAH


foto fokusterkinidotcom


“Hentikan!” jerit Bimasena.

Pukulan gada bertubi-tubi menghantam kepala Pandu dan Dewi Madrim. Disusul terpaan cairan lahar panas yang menguliti tubuh keduanya. Mereka bahkan tak sempat berteriak kesakitan.

Pandu jatuh terjungkal, tertatih-tatih ia berusaha menolong Dewi Madrim yang mengalami kejadian sama. Tetapi belum tegak berdirinya, sebuah terjangan dari sebatang besi membara mengenai kepalanya.

“Tidakkkkkkkk!” teriak Bima.

Bimasena melompat dari tempat tidur. Mimpi itu seperti nyata. Keringat dingin yang bercucuran membuat tubuh putra Pandu itu basah kuyup. Nafasnya terengah-engah. Kesadarannya belum sepenuhnya pulih.

Ini bukan sekedar mimpi, batin Bimasena. Ia yakin apa yang baru dialaminya adalah sebuah wangsit dari mendiang ayah dan ibu tirinya. Pandu dan Dewi Madrim. Mereka berdua pasti sedang mengalami siksaan berat di neraka loka. Kawah Candradimuka.

Dalam keadaan panik bercampur linglung, Bimasena keluar dari biliknya. Ia bergegas menuju tempat tinggal Kiai Lurah Semar Badranaya. Pamomong dan penasehat Pandawa.

Lole-lole … mbegegeg ugeg-ugeg … hemel-hemel … sadulit-dulita … ada apa ndara Werkudara, tengah malam begini menemuiku?” tanya Kiai Lurah Semar Badranaya, sambil tergopoh-gopoh menyambut kedatangan Bimasena.

“Kakang Badranaya, aku baru saja mengalami mimpi buruk,” jawab Bimasena.

“Mimpi apa gerangan, ndara Werkudara?

“Aku melihat ayahanda Pandu dan ibunda Madrim mengalami siksaan di neraka. Mimpi itu tampak nyata, kakang Badranaya.” Jelas Bimasena.

“Aku yakin, itu bukan sekedar mimpi. Ayanda Pandu telah mengirim wangsit kepadaku, bahwa ia sedang mengalami siksaan. Aku harus menolongnya, kakang Badranaya!” lanjutnya.

Kiai Lurah Semar Badranaya menghela napas panjang. Tangannya mengusap-usap wajahnya yang semakin keriput. Sesaat ia diam tak berbicara. Raut wajahnya menunjukkan kesedihan yang teramat dalam mendengar cerita Bimasena.

Lole-lole … mbegegeg ugeg-ugeg … hemel-hemel … sadulit-dulita … sabar ndara. Ini sudah garis Dewata,” ucap Semar dengan suara lirih.

“Tolonglah aku, kakang Bardanaya! Aku ingin menolong ayahanda Pandu!” ratap Bimasena.

“Katakan, apa yang harus kulakukan?”

Kiai Lurah Semar Badranaya kembali terdiam. Tangannya lagi-lagi mengusap wajah. Matanya bahkan sebentar-sebentar terpejam. Seperti sedang memikirkan jalan keluar dari masalah yang sedang menimpa momongannya. Pandawa.

““Lole-lole … mbegegeg ugeg-ugeg … hemel-hemel … sadulit-dulita … ndara. Berangkatlah ke Kahyangan Suralaya. Temui Adikku Bathara Guru disana. Mintakan ampunan atas segala dosa kedua orang tuamu, Pandu dan Madrim!” saran Semar dengan suara lirih.

“Budhal!” tutup Bimasena.

*****

Kedatangan putra Pandu, Werkudara (Bimasena) disambut langsung oleh Sang Hyang Manikmaya (Bathara Guru) di paseban agung istana taman langit. Kahyangan Suralaya.

“Sembah dan bhaktiku untuk pukulun Bathara Guru,” ucap Bimasena.

“Kuterima sembah dan bhaktimu, Werkudara. Semoga kesejahteraan senantiasa mengiringi keluarga Pandawa,” balas Bathara Guru.

“Ada apa gerangan, engkau datang menemuiku?” lanjut raja dari segala Dewa itu. Meski sebenarnya ia mengetahui maksud Bimasena tentu ingin menanyakan siksaan yang sedang dialami Pandu dan Madrim di neraka.

“Aku datang untuk meminta ampunan bagi ayah dan ibuku!” jawab Bimasena.

Bathara Guru tersenyum. Ia bangkit dari singgasananya lalu berjalan menghampiri Bimasena. Ditepuk-tepuk pundak putra Pandu. Mencoba membesarkan hati kesatria yang sedang mengalami kesedihan atas mimpi buruknya.

"Bukankah di masa mudanya, ayahku Pandu pernah berjasa besar kepada Kahyangan? Tidakkah para Dewa ingat bagiamana dulu ayahku mengalahkan Nagapaya yang sedang mengobrak-abrik istana taman langit ini?" Bimasena mencoba membuka kembali bhakti dan perjuangan Pandu semasa hidupnya.

“Ini sudah menjadi takdir Dewata. Meski ayahmu pernah berjasa besar, tetapi ia juga telah melakukan dosa besar. Pandu pernah membunuh sepasang kijang yang sedang bermesraan. Padahal sejatinya kijang itu adalah jelmaan Resi Kimindama. Brahmana itu kemudian mengutuk Pandu yang menjadikannya mengalami siksaan di neraka,” jelas Bathara Guru.

“Tetapi dosa itu seharusnya sudah impas dengan segala siksaan yang dialami ayahandaku selama ini,” bantah Bimasena.

“Bukan hanya itu, bersama ibumu Madrim, Pandu juga melakukan dosa besar kedua. Ia melakukan perbuatan berpadu asmara diatas sapi suci tungganganku. Lembu Andini!” lanjut Bathara Guru.

“Itu juga seharusnya telah sebanding dengan penderitaan ayahandaku selama bertahun-tahun di neraka!” debat Bimasena.

“Sekarang, ijinkanlah aku memohon kepadamu, Sang Hyang Manikmaya. Ambil nyawaku sekarang juga, jika itu bisa menebus segala dosa orang tuaku!” ratap sang Bimasena.

Langit menggelegar!

Bathara Guru tersentak mendengar kata-kata mulia dari seorang anak yang berbhakti pada ayah dan ibunya. Seketika ia jatuh terduduk kembali di singgasana. Tangannya gemetar memegang tepi kursi kebesaran raja Dewa.

“Baiklah Werkudara, karena ini adalah permintaan dari seorang anak berbhakti, aku kabulkan permohonan ampunanmu. Tetapi hanya engkau yang bisa mengentas Pandu dan Madrim dari api neraka loka. Kawah Candradimuka!” sabda Bathara Guru.

“Budhal!” tutup Bimasena.

Sang putra Pandu langsung melesat meninggalkan Kahyangan Suralaya, sesaat setelah ia mengahturkan sembah kepada Bathara Guru. Ia langsung menuju puncak gunung Jamurdipa. Gunung yang meiliki kawah sebagai pintu masuk ke neraka.

Sampai di puncak gunung Jamurdipa, Bimasena langsung berlari menuju bibir kawah Candradimuka.

Seketika ia jatuh bersimpuh disana. Jauh di kedalaman dasar kawah, samar-samar Bimasena melihat kedua orang tuanya, Pandu dan Madrim menjerit, merintih dan meratap karena mengalami siksaan maha dahsyat.

Gejolak lahar panas yang membabi buta terus menerus mengguyur tubuh mereka. Guguran batu-batu yang membara berjatuhan menimpa tubuh Pandu dan Madrim hingga nyaris tak berwujud manusia. Siksaan itu sudah bertahun-tahun dialami keduanya.

Airmata Bimasena jatuh berderaian. Hatinya seketika luluh lantak menyaksikan pemandangan memilukan di hadapannya. Ia pun langsung menceburkan diri ke kawah Candradimuka. Neraka Loka.

Mendadak gunung Jamurdipa diguncang gempa!

Guntur menggelegar berkali-kali. Disusul kilatan cahayanya yang menari-nari di angkasa. Sesaat kemudian, suasana hening menyelimuti seisi kawah Candradimuka.

Seiring terjunnya Bimasena ke neraka itu, berhentilah gejolak lahar panas di dasar kawah. Api-api yang sebelumnya menjilat-jilat berkobar seketika padam.

Pandudewanata dan Dewi Madrim yang melihat kedatangan putranya segera berlari memeluk tubuh Bimasena. Suasana haru menyelimuti dasar neraka. Mereka saling bertangisan melepas kerinduan.

Bersamaan dengan itu, datang iring-iringan bidadari yang menghampiri Pandu dan Madrim. Mereka menuntun keduanya keluar dari dasar neraka. Lalu membimbing ke jalan menuju biibir kawah Candradimuka. Bimasena mengikuti dari belakang.

Sampai di puncak gunung Jamurdipa, rombongan Bidadari menjelaskan kepada Bimasena bahwa Pandu dan Madrim akan dibawa ke Swarga Loka. Masa hukuman dan siksaan mereka telah berakhir atas dikabulkannya permohonan ampun dari seorang anak yang berbhakti kepada orang tua.

Bimasena pun kembali menitikkan air mata, perjuangannya mengentas ayah dan ibunya dari neraka hari itu berakhir dengan indah.

Pandu dan Madrim melambai-lambaikan tangannya ke arah sang putra. Tubuh keduanya terbang melayang diiringi para bidadari. Meninggalkan puncak gunung Jamurdipa. Menuju surga.

Sementara mata Bimasena tak berkedip sedikitpun menatap kepergian ayah dan ibunya hingga lenyap tak terlihat. Tangannya balas melambai juga.

“Kelak, kita akan berkumpul di surga, ayah!” teriak Bimasena.

*****

Kisah Pandu Swargo diatas adalah hendaknya menjadi bahan renungan kita. Betapa ikatan batin antara ayah dan anak sangatlah kuat. Perjuangan seorang ayah tidak kalah mulia dengan ibu kita.

Sebaliknya, bhakti seorang anak soleh yang berdoa untuk memintakan ampun bagi dosa orang tua, ternyata mampu menghentikan siksa di alam kematian.

Selamat Hari Ayah Nasional, 12 November 2016.


Heru Sang Mahadewa
Member of #OneDayOnePost

1 komentar:

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *