Kamis, 20 Oktober 2016

MENGENAL SOSOK PANDAWA, TOKOH PROTAGONIS DALAM PERANG BHARATAYUDA (Bagian 17)

Pandawa - image google

4-5. NAKULA - SADEWA

Kadipaten Gandaradesa,

“Acak-acak wilayah pinggiran Pringgodani! Bikinlah onar disana!” ucap Hary Suman.

Sendika dhawuh, kakang Harya Suman,” jawab Haryaprabu Anggajaksa dan Haryaprabu Sabarasanta serempak. Hari itu Harya Suman menemui kerabatnya di Gandaradesa sebelum ke Pringgodani.

Kepada mereka berdua, Harya Suman memerintahkan agar kondisi keamanan di pinggiran Pringgodani dibuat tak terkendali, demi memuluskan rencana barunya.

Setelah Haryaprabu Anggajaksa dan Haryaprabu Sabarasanta bersedia menjalankan siasatnya, berangkat pula Harya Suman meninggalkan Gandaradesa bersama Duryudana, Dursasana, Kartamarma, Citraksa, Citraksi dan Durmagati. Mereka memacu kuda sekencang-kencangnya menuju Pringgodani. Berburu dengan waktu agar bisa sampai lebih cepat mendahului Patih Gandamana yang diutus Prabu Pandudewanata.

Sampai di kotaraja Pringgodani, Harya Suman dan para Kurawa menghadap Prabu Tremboko. Raja bangsa raksasa itu kebetulan sedang berkumpul dengan anak-anaknya di paseban agung.

“Sembah dan bhakti kami untuk paduka Prabu Tremboko. Perkenalkan, hamba Harya Suman dari Astina. Hamba adalah adik dari gusti Prabu Pandudewanata,” ucap Harya Suman mengaku-aku sebagai adik raja Astina.

“Kuterima sembahmu, Harya Suman, ada apa gerangan engkau datang kemari?” balas Prabu Tremboko.

“Hamba hanya ingin mengabarkan tentang nasib surat yang pernah dikirimkan oleh Raden Arimba beberapa hari lalu,” jawab Harya Suman.

“Oh iya, aku ingat. Adakah pesan balasan dari raja kalian? Aku jadi merasa sangat bersalah kepada guruku. Prabu Pandudewanata,” ucap Prabu Tremboko.

“Maaf beribu-ribu maaf jika kabar ini menyinggung perasaan paduka. Surat itu dirobek-robek oleh gusti Prabu Pandu,” dengan nada suara dibuat-buat, Harya Suman menceritakan keadaan yang penuh rekayasa.

“Apa?” Mata Prabu Tremboko terbelalak.

“Prabu Pandudewanata merasa bahwa paduka Prabu Tremboko hanya mengada-ada, lebih mementingkan urusan keluarga daripada hubungan persahabatan kedua negeri, juga bhakti murid kepada guru. Saat ini raja kami juga telah mengirim seorang utusan bernama Patih,” semakin liar kata-kata Harya Suman bersilat lidah.

“Kenapa Prabu Pandudewanata bersikap seperti itu?” Prabu Tremboko masih belum bisa menerima kenyataan bahwa gurunya merobek-robek surat yang ia kirim melalui Raden Arimba.

“Ada orang yang sengaja menghasut raja kami. Akhir-akhir ini Prabu Pandudewanata menjadi gampang murka gara-gara dikompori. Orang itu adalah Patih Gandamana yang sekarang sedang dalam perjalanan menuju kemari. Ia hendak menghukummu, paduka.” Harya Suman memelintir kumisnya, dalam hati ia tertawa terbahak-bahak melihat reaksi Prabu Tremboko.

“Putraku Arimba, hadang Patih Gandamana sebelum memasuki Pringgodani, jangan biarkan dia datang ke istana kita!” perintah Prabu Tremboko.

Sendika dhawuh, romo prabu!” jawab putra sulungnya. Raden Arimba.

Berangkatlah Raden Arimba bersama pasukannya menuju perbatasan Pringgodani dan Astina. Sementara Harya Suman, Duryudana, Dursasana, Kartamarma, Citraksa, Citraksi dan Durmagati mengikuti dari kejauhan.

*****

Suara lari kaki kuda memecah kesunyian hutan Pringgodani. Sepasukan bangsa raksasa pimpinan Raden Arimba yang mengintai dari balik rerimbunan semak belukar mulai bersiaga. Menunggu kedatangan Patih Gandamana.

“Serang!” perintah Raden Arimba ketika seorang penunggang kuda berpakaian kebesaran Astina mendekati tempat mereka.

Jatuh bangun Patih Gandamana dari kudanya, ketika tiba-tiba ia dikeroyok pasukan bangsa raksasa. Belum sempat utusan Astina itu memasang kuda-kuda, tetapi Raden Arimba sudah menghajarnya tanpa ampun.

Beberapa saat Patih Gandamana keteteran. Tapi ia bukanlah seorang kesatria kemarin sore. Prabu Pandudewanata mengangkatnya sebagai patih karena ia memiliki ilmu kedigdayaan linuwih.

Dalam keadaan babak belur karena tidak sempat melawan, Patih Gandamana menyentuh Kalung Robyong Mustakawarih di lehernya (kelak pusaka ini diwariskan kepada Puntadewa). Seketika ia berubah wujud menjadi raksasa berukuran puluhan kali lebih besar dari Raden Arimba dan pasukannya.  

Terkejut Raden Arimba melihat sosok dihadapannya.

Ia mundur beberapa langkah. Ketika pasukannya mencoba menyerang dan melukai raksasa jelmaan Patih Gandamana, makhluk itu bertambah ukuran menjadi dua kali lebih besar. Diserang lagi, bertambah besar empat kali, sepuluh kali, seratus kali, dan seterusnya.

Lari tunggang langgang Raden Arimba dan pasukannya. Ngeri melihat kedigdayaan Patih Gandamana.

“Tunggu Raden Arimba,” seru Harya Suman saat bersama para Kurawa mencegat pasukan Pringgodani.

“Gandamana bukan tandingan kita paman,” jawab Raden Arimba.

“Aku tahu cara mengalahkan Gandamana!” ucap Harya Suman.

“Benarkah?”

“Iya, akan kuberitahu engkau.”

Harya Suman mendekat ke Raden Arimba, lalu berbisik ke telinga putra sulung Prabu Tremboko. Sesaat mereka tampak serius merencanakan sesuatu. Setelah itu, keduanya tertawa terbahak-bahak.

“Hahaha … hahaha … mati kau, Gandamana!” sesumbar Raden Arimba sambil tertawa lebar.

*****

Prabu Pandudewanata sampai di Kahyangan Jonggringsaloka. Ia segera menghadap Sang Hyang Manikmaya di paseban agung. Tampak beberapa Dewa sedang berkumpul disana.

“Sembah dan bhaktiku untuk pukulun Bathara Guru,” ucap Prabu Pandudewanata sembari bersujud menyembah.

“Kuterima sembah dan bhaktimu Pandudewanata. Semoga kesajahteraan senantiasa menyertai orang-orang Astina,” jawab Bathara Guru.

“Katakan apa yang menjadi tujuanmu datang ke Kahyangan Jonggringsaloka,” lanjutnya.

Prabu Pandudewanata menghela napas dalam-dalam. Sesaat raja Astina itu terdiam. Wajahnya tertunduk, menatap dalam-dalam ke lantai paseban agung istana taman laingit.

“Ampun beribu-ribu ampun jika ucapan hamba nanti menyinggung pukulun. Saat ini istri hamba, Dewi Madrim sedang mengandung. Dia mengidam ingin menunggangi Lembu Andini, pukulun.” Prabu Pandudewanata memberanikan diri angkat bicara. Mengutarakan apa yang menjadi keinginan istri selirnya.

“Hamba tahu keinginan Dewi Madrim sangatlah mustahil terpenuhi. Tetapi demi rasa cinta kepada istri yang sedang mengandung, ijinkahlah Pandudewanata ini meminjam Lembu Andini dari pukulun barang sehari saja,” lanjutnya.

Terkejut Bathara Guru!

Semua Dewa yang hadir juga tersentak mendengar pengakuan Prabu Pandudewanata. Lembu Andini adalah tunggangan pribadi Sang Hyang Manikmaya. Sangat lancang sekali jika ada manusia yang ingin menunggangi Sapi Kahyangan itu.

“Hemmm, ternyata itu yang ingin kau sampaikan Pandu?” Bathara Guru manggut-manggut. Ia tidak serta merta mengabulkan keinginan Prabu Pandudewanata.

“Seharusnya kau pikir dahulu berulang kali sebelum datang kemari, Pandudewanata. Keberanianmu hari intuk untuk meminjam Lembu Andini sungguh melampaui batas etika seorang manusia kepada Dewata,” timpal Bathara Yamadipati. Dewa Pencabut Nyawa.

“Maaf pukulun, hamba bersedia dihukum seberat-beratnya atas kelancangan ini. Hamba rela diberi umur pendek dan ditempatkan di Neraka Loka setelah kematian kelak, asal diijinkan meminjam Lembu Andini sehari saja.” Tutup Prabu Pandudewanata sambil kembali menyembah kepada Bathara Yamadipati dan Bathara Guru.

Sang Hyang Manikmaya kembali terkejut mendengar ucapan Pandudewanata.

Guntur menggelegar. Istana taman langit mendadak menjadi gelap gulita beberapa saat. Ucapan Prabu Pandudewanata yang rela diberi umur pendek dan bersedia ditempatkan di Neraka Loka telah disabda para Dewa yang hadir disana.

“Baiklah Pandu, kembalilah ke Arcapada. Jemput istrimu dan ajak kemari untuk menunggangi Lembu Andini. Bawalah Dewi Madrim berkelana dengan Sapi Kahyangan milikku,” ucap Bathara Guru.

“Sendika dhawuh pukulun. Terima kasih banyak Dewata Agung,” ucap Prabu Pandudewanata, lalu melesat meninggalkan Kahyangan.

Kembali lagi ke Astina. Menemui istri selirnya, Dewi Madrim untuk mengabarkan bahwa Bathara Guru mengabulkan keinginannya untuk menaiki Lembu Andini.

*****

Hutan Pringgodani,

“Aku belum kalah Gandamana, tunjukkan lagi kesaktianmu!” sesumbar Raden Arimba.

“Menyingkirlah, jangan halangi aku menemui Prabu Tremboko,” balas Patih Gandamana.

“Jangan jadi pengecut, kalau kau memang seorang kesatria sejati, seranglah aku Gandamana!” seru Raden Tremboko. Ia berdiri sambil berkacak pinggang. Kedua kakinya mengangkang lebar-lebar. Tepat dibawahnya terdapat sebuah sumur tua yang sengaja telah ditutup dengan dedaunan kering atas siasat Harya Suman.

Sumur Upas!

Sebuah sumur tua yang tidak terpakai, di dalamnya terdapat gas beracun sebagaimana yang terjadi pada lubang-lubang tanah yang tidak ada pergerakan udara disana.

Patih Gandamana yang sebenarnya adalah seorang berwatak temperamental akhirnya terpancing. Ia berlari hendak menyerang Raden Arimba. Ketika nyaris menerjang, putra mahkota Pringgodani langsung melompat.

Terperosok Patih Gandamana ke dalam sumur upas, ketika ia menginjakkan kaki di dedaunan tempat Raden Arimba berdiri mengangkang tadi.

Krocok!” seru Harya Suman.

Para prajurit Pringgodani serentak menimbun sumur upas dengan bebatuan dan tanah. Patih Gandamana terkubur di dalamnya. Tak mungkin ia bisa selamat. Selain gas beracun yang ada di dalamnya, tubuh patih Astina itu tentu telah hancur terkena timbunan batu.

“Hahaha … hahaha … hahaha … Gandamana tewas!” seru Harya Suman sambil tertawa terkekeh-kekeh.

“Kita kembali ke istana Pringgodani!” perintah Raden Arimba.

Pada saat bersamaan, datang seorang penjaga perbatasan. Ia melaporkan bahwa terjadi penyerangan besar-besaran di wilayah pelosok Pringgodani. Pelakunya mengaku sebagai pasukan Astina.Dipimpin dua orang punggawa.

“Keamanan wilayah kita di pelosok sedang kacau, Raden Arimba,” lapor prajurit Pringgodani.

“Kita menghadap kepada romo Prabu Tremboko sekalian,” ajak Raden Arimba.

“Ini pasti ulah Haryaprabu Anggajaksa dan Haryaprabu Sabarasanta. Sungguh luar biasa kalian mengerjakan tugas, hehehe … hehehe … hehehe.” Dalam hati Harya Suman tertawa terkekeh-kekeh.


~ BERSAMBUNG ~

(Heru Sang Mahadewa)
Member Of OneDayOnePost

Baca cerita sebelumnya [ Disini ]
Cerita selanjutnya [ Disini ]


Catatan :
sendika dhawuh = siap laksanakan
romo = ayah
pukulun = panggilan kepada Dewa
krocok = hujani (timbuni)
 
Bathara Guru (Sang Hyang Manikmaya) - foto dokumen pribadi
 
Prabu Pandudewanata - image google
Gandamana - image google
Arimba - image google
Harya Suman - foto dokumen pribadi


 

5 komentar:

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *