devianart.com |
Sang bagaskara telah naik satu tombak di
cakrawala. Sinarnya menggampar tanah perang Kuru Setra yang belum kering
sepenuhnya dari darah para ksatria. Menguapkan lapak-lapak embun di dedaunan
kusam yang sebelumnya menjadi saksi bisu kekelaman. Kawanan burung pemakan
bangkai sesekali mendekut. Bernyanyi ria menikmati serpihan bangkai manusia.
Begawan Abiyasa berjalan tertatih-tatih mengelilingi
tegal yang menjadi ajang saling bunuh sesama anak keturunannya. Dadanya terasa dicabik-cabik
ratusan anak panah melihat pemandangan mengerikan ini. Dalam pandangan
kewaskitaan, terlintas bayangan pertempuran sia-sia antara kakek dengan cucu,
paman dengan keponakan, kakak dengan adik, dan sepupu dengan sepupunya.
Air mata sang begawan pun tak terbendung.
Bulir-bulir bening menggenang di pelupuk matanya, lalu perlahan membasahi pipi
yang telah keriput.
Kuru Setra, tanah suci yang diberkati para Dewa
kini telah koyak moyak. Dia menjelma menjadi jalan kematian para ksatria yang
menghamba pada hawa nafsu duniawi. Nafsu untuk berebut tahta tertinggi antara
Pandawa dan Kurawa.
Tidak ada yang pantas disebut sebagai pemenang
dalam Bharatayudha, perang sesama wangsa Bharata ini. Pandawa kehilangan
seluruh anaknya. Kurawa tumpas tak tersisa. Indraprasta dan Astina ludes harta
bendanya.
Konsep manunggaling kawula
praja lan sedulur-----bersatunya rakyat, pemimpin dan sesama anak bangsa-----yang telah dirintis oleh Kresna
Dwipayana, abhiseka-----gelar
natha/raja----sang Begawan Abiyasa, lalu diteruskan putranya Prabu
Pandudewanata bukan hanya telah retak, tetapi sudah pecah berkeping-keping. Tak
ada lagi prinsip mengedepankan persaudaraan yang tertanam pada jiwa Pandawa dan
Kurawa.
Perebutan tahta tertinggi keduanya membawa mereka
pada perpecahan sesama saudara.
Kini, Bharatayudha telah usai.
Sisa-sisa simpatisan pihak yang kalah perang, merasa
dicurangi secara sistematis oleh raja Dwarawati, Prabu Kresna. Dialah aktor
dibalik tumpasnya semua Kurawa. Seandainya sosok titisan Bathara Wisnu bisa berbuat
adil dan tidak berpihak kepada Pandawa, tentu hasil akhir perang saudara ini
akan berbeda.
Aswatama, Resi Krepa dan Kartamarma pun memprotes
kecurangan Pandawa. Diam-diam mereka menyusun rencana balas dendam.
Putra Begawan Durna, Aswatama mengeluarkan
kedigdayaannya nglandak. Dia menerobos masuk bumi, membuat terowongan menuju pesanggrahan
tempat istirahat para Pandawa.
Bayi mendiang Abimanyu, cucu Arjuna, Raden
Parikesti yang menjadi incaran untuk dihabisi. Nahas, ulah mereka justru bisa
diselesaikan oleh si jabang bayi sendiri. Ketiganya tewas menyusul Kurawa.
Tahta tertinggi Astina, negeri yang menjadi rebutan
Pandawa dan Kurawa dengan berdarah-darah, telah luluh lantak pula. Tak ada yang
bisa dibanggakan dari hasil akhir perang saudara, Bharatayudha.
Puntadewa, Pandawa nomor satu menolak untuk
menduduki tahta itu. Penyesalan atas pertumpahan darah di Kuru Setra telah
membuka mata batinnya. Dia hanya bersedia menjadi wali raja bagi cucu
keponakannya. Raden Parikesit. Satu-satunya penerus trah Pandawa yang tersisa.
Pelan-pelan, justru akhirnya Parikesit yang bisa
membangun kembali Astina. Menyatukan kepingan-kepingan kebencian yang
sebelumnya telah tertanam di antara para simpatisan Pandawa dan Kurawa.
Era baru Astina dimulai.
Di tangan Prabu Kresna Dwipayana II, abhiseka
Raden Parikesit yang memilih meneruskan gelar buyutnya (Begawan Abiyasa),
Astina tumbuh menjadi negeri yang gemah
ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja------makmur, berlimpah pangan, aman
tentram dan sentausa.
Astina bangkit dari perpecahan sesama saudara.
Menjelma menjadi negeri damai nan penuh toleransi.
-o0o-
Akhir Perang Bharatayudha, pantas kita jadikan
cermin dari berakhirnya Pilkada Serentak 15 Februari 2017 kemarin.
Usai sudah pesta demokrasi ini. Tidak ada yang
boleh jumawa dengan hasil yang mungkin menyakitkan bagi sebagian pihak. Tidak
boleh pula ada yang membabi buta dalam memprotesnya.
Seperti halnya Aswatama, Resi Krepa dan Kartamarma
yang kecewa dengan ketidakadilan sikap Kresna, tentu setelah Pilkada ini ada pihak
atau simpatisan yang merasa dicurangi saat proses kampanye, hari tenang,
pencoblosan hingga penghitungan suara kemarin. Tetapi berkaca dari kisah akhir
Bharatayuda, janganlah melakukan tindakan pembalasan yang inskonstitusional. Keluar dari jalur hukum.
Sampaikan protes dan keberatan hasil Pilkada ini
secara prosedural. Ada Mahkamah Konstitusi yang Insya Allah akan memberikan
penilaian seadil-adilnya terhadap nota kekecewaan kita.
Apapun hasilnya, baik dalam penghitungan suara
hasil Pilkada maupun gugatan ke Mahkamah Konstitusi, meski tidak sesuai dengan
harapan sebagian kubu, kita harus menghormatinya sebagai sebuah proses
demokrasi.
Katakanlah yang menang nantinya adalah seorang
terdakwa dan penista sekalipun.
Ingat, saat Bharatayudha, Prabu Kurupati, seorang
penista yang berwatak angkara murka bersama Kurawa-nya juga berhasil
mengalahkan kesatria berhati mulia. Gatotkaca dan Abimanyu tumbang di tangan
koalisi mereka.
Jujur, secara langsung maupun tidak, Pilkada serentak,
khususnya di ibu kota DKI Jakarta, telah mengoyak semangat persatuan dan
kesatuan sesama anak bangsa.
Entah berapa banyak energi dan pikiran yang sudah tertumpah
untuk mendukung paslon masing-masing. Tanpa sadar, terkadang dukungan itu
membuat kita lupa mengedepankan arti pentingnya persatuan dan toleransi.
Seperti halnya Pandawa dan Kurawa dalam
Bharatayudha yang sama-sama tidak menjadi pemenang, akhir dari Pilkada serentak ini
adalah bukan kemenangan untuk satu paslon. Tapi kemenangan seluruh rakyat Indonesia.
Kemenangan akan datangnya masa damai bagi
Indonesia. Kembali menjadi negeri yang gemah ripah loh jinawi, tata tentrem
kerta raharja.
Aamiin Ya Robbal Alaamiin.
Ayu, hayu, rahayu
wilujeng.
Heru
Sang Mahadewa
Member
of #OneDayOnePost
aamiin, aamiin, yaa robbalallamin. semoga kedamaian datang setelah pilkada yang membuat kita saling menghujat dan menguras emosi ini
BalasHapusAamiin.
HapusMatur suwun, sudah mampir gubuk saya mas Fajar.
sama sama mas. semoga semakin semangat ngeblog dan berbagi ilmu :), cerita dan pemikiran
HapusAamiin.
Hapus