Sang bagaskara kian meninggi di cakrawala Panjalu. Cahanya mulai terasa hangat membelai muka, tapak kaki dan bahu. Buru-buru saya meninggalkan candi Tegowangi di
Plemahan.
Setelah mampir sebentar ke Prasasti Tangkilan yang ada di dusun
Tangkilan, desa Padangan, kecamatan Kayen Kidul, kabupaten Kediri, perjalanan
meng-eksplore sisa-sisa kebesaran tanah Jawa di masa silam saya lanjutkan ke arah selatan.
Sekitar dua puluh menit dari Tangkilan, saya sampai
di desa Menang, kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri, Jawa Timur.
Di desa yang banyak terdapat petilasan ini, saya menggeber
laju sepeda motor menuju sebuah pemandian kuno. Sendang Tirta Kamandanu.
Letaknya berada di tengah-tengah persawahan. Agak
terpisah dari pemukiman penduduk. Dari kantor kelurahan Menang di jalan raya Bogo - Pagu - Kediri, masuk sekitar
satu kilometer.
Sendang Tirta Kamandanu merupakan sebuah mata air kuno.
Di tempat ini, konon Sri Maharaja
Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha
Parakrama Uttunggadewa (Prabu Jayabhaya), raja yang memerintah kerajaan Panjalu
(Kadhri/Kadhiri, Kediri sekarang) 1135 – 1157 Masehi menyucikan diri.
Prabu Jayabhaya sendiri
dikenal sebagai raja Kediri yang paling termahsyur. Bukan hanya karena berhasil
menyatukan Panjalu dan Jenggala setelah pecah karena perang saudara, namun
beliau tersohor juga karena kesaktiannya. Serta karya-karya literasi di era beliau.
Pada masa
pemerintahannya, Prabu Jayabhaya memerintahkan dua pujangga keraton, yaitu Mpu
Panuluh dan Mpu Sedah untuk menulis Kakawin Bharatayuda. Meski kitab
kuno itu adalah saduran dari Mahabharata, tetapi ia dianggap sebagai cermin perang saudara sesama keturunan Prabu Airlangga.
Prabu Jayabhaya
juga dikenal sebagai pujangga yang menelurkan karya berupa ramalan tentang
kondisi Nusantara, khususnya tanah Jawa di masa depan. Jangka
Jayabhaya.
Ramalan inilah yang selanjutnya mengilhami pujangga keraton Surakarta,
Raden Ngabehi Ranggawarsito mengabadikannya lewat sebuah karya adiluhung juga.
Serat Kalitidha.
Di akhir hayatnya, sang penguasa Panjalu memilih jalan Moksa. Kembali ke alam keabadian dengan cara
menghilang, baik raga maupun sukma.
Sebelum menjalani tiga
tahapan Moksa, Prabu Sri Aji Jayabhaya bersuci terlebih dahulu di
Sendang Tirta Kamandanu.
*****
Berdasarkan data yang saya gali di petirtaan kuno
itu, Sendang Tirta Kamandanu mulai dipugar oleh Yayasan Hondodento dari
Jogjakarta sekitar tahun 1980. Kini, sudah dibuka untuk masyarakat
umum.
Sebelum memasuki komplek petirtaan, kita bisa menjumpai pagar tembok yang berdiri megah ala benteng sebuah kerajaan. Di salah
satu sudut pagar, terdapat arca Dewa Brahma bertangan empat. Tangan-tangannya sedang memegang bunga teratai, kitab, gada dan buah genitri (elaeocarpus ganitrus). Buah ini biasanya
dipakai untuk sesajen----perlengkapan
persembahan----saat upacara masyarakat Hindu.
Selain Dewa Brahma, terdapat pula arca Dewa Indra,
Dewa Bayu dan Dewa Wisnu di sudut lain benteng buatan.
Setelah memarkir sepeda motor dengan tarip dua ribu
rupiah, saya mulai menuju komplek petirtaan. Tampak berdiri sangat megah sebuah
gapura yang bentuknya mirip dengan pura-pura yang ada di Bali. Sekilas juga menyerupai
pendharmaan atau candi. Sayang, proyek pembangunan gapura agung ini tak kunjung usai.
Memasuki petirtaan, kita akan disambut sebuah
patung Siwa berukuran besar. Dia sedang berdiri gagah di atas bunga teratai. Tangan kiri sang Mahadewa memegang sebuah gada (senjata pemukul). Letaknya berada di
tengah-tengah komplek. Di samping kiri dan kanan, terdapat dua gapura lagi dengan ukuran lebih kecil dibandingkan gapura agung di pintu masuk.
Di belakang gapura itulah, terdapat sebuah sumur
kuno yang berasal dari mata air Menang.
Tempat Prabu Sri Aji Jayabhaya bersuci sebelum Moksa. Terdapat sebuah
arca Ganesha yang posisinya tepat berpunggungan dengan arca besar Dewa Siwa
tadi.
Kini, air dari petirtaan itu sudah dialirkan ke dua
buah kolam yang dapat digunakan pengunjung untuk mandi. Konon, air dari Sendang
Tirta Kamandanu banyak membawa manfaat bagi masyarakat yang menikmatinya. Baik
digunakan mandi maupun diminum.
Saya sendiri tidak berminat untuk mengambil air
dari petirtaan kuno tersebut. Karena tujuan awal saya ke Sendang Tirta Kamandanu
ini memang hanya menggali data jejak Prabu Sri Aji Jayabhaya, sebagai bahan menulis.
Bukan untuk maksud lain, seperti beberapa pengunjung yang saya temui di sana.
Setelah menyusuri sudut demi sudut petirtaan, saya kembali menatap cakrawala Panjalu. Sang bagaskara tampak mulai redup dan condong ke barat. Saya memutuskan keluar dari Sendang Tirta Kamandanu. Masih ada beberapa jejak peninggalan sejarah yang harus saya jelajahi di negeri yang dulu beribu kota di Daha itu.
Nah, jika sahabat sekalian berkunjung ke kota tahu
Kediri, tidak ada salahnya singgah ke Sendang Tirta Kamandanu ini.
Selain lokasinya yang sangat rindang dan sejuk
karena banyak pohon-pohon berukuran besar disana, untuk memasuki kmpleks
petirtaan ini, kita tidak dipungut biaya alias gratis. Hanya membayar uang
untuk perawatan seikhlas kita.
Hayu, hayu, rahayu wilujeng.
Heru Sang Mahadewa
Member
of #OneDayOnePost
Keren, Mas Heru ... bertambah lagi wawasan saya baca tulisan ini .... hiii
BalasHapusThank u 😁
Terima kasih mbk Fitriani ..
BalasHapusSarwa Hayu.
Nuwun.