Senin, 14 Maret 2016

Misi di Tanah Rencong (Part 2)




“Tinggalkan semua atribut komando milikmu!” tutur Sersan Adi.

“Segala keperluan penyamaranmu sudah disiapkan, sekarang istirahatlah dulu.”  lanjut dia serasa membantu mengeluarkan semua barang-barangku yang tadinya kubawa dari Surabaya.

Hari itu kusempatkan beristirahat di kontrakan Sersan Adi, sebelum melanjutkan perjalanan ke Aceh Timur. Kami saling bercerita tentang pengalaman di kesatuan masing-masing. Dari pembicaraan dengan Sersan Adi, kutahu kalau dia pernah menjadi bawahan Letnan Kusno di kesatuan yang lama. Kali ini dia ditugaskan menjadi tim penjemputku di Deli.

“Ingat, mulai malam ini kamu bukan lagi anggota pasukan kita.” sambil tersenyum dia kembali mengingatkan misi ini.

“Terima kasih, semoga Allah meridhoi perjuangan ini, dan memberikan keselamatan kepada kawan-kawan kita yang lebih dulu ada disana.” kujabat tangannya di akhir pembicaraan.

**************

Sampai di Langsa hari masih tengah malam. Suasana sepi dan lengang menyelimuti ibu kota Aceh Timur itu. Hanya ada satu warung yang masih buka.

Dari sebuah kedai kopi yang aku singgahi, sesekali kulihat iring-iringan truk patroli dari pasukan Brimob melintasi jalan. Memecah kesunyian malam, membangunkan Langsa yang sudah menjadi kota mati.

“Ayo bang, jadi menumpang ke Juleu Rayeu?” tanya seorang bapak yang duduk bersebelahan denganku di kedai kopi.

“Iya uwak, saya jadi menumpang.”

“Tapi hanya sampai di pasar Idie Rayeu, muatan sayurku harus bongkar disana.” jelas si bapak.

“Dari Idie Rayeu, kalau abang mau melanjutkan ke Juleu Rayeu sudah dekat, tinggal dua kiloan.”

“Iya uwak, terima kasih” sahutku lantas naik ke mobil pick up tua yang mengangkut sayur ke pasar Idie Rayeu.

Sepanjang perjalanan, berkali-kali mobil yang kami tumpangi dihadang patroli pasukan republik (Gerakan Aceh Mereka menyebut TNI dan Brimob Polri sebagai Pasukan Republik).

Setiap melintasi barikade patroli, muatan mobil diperiksa, kami berdua juga digeledah. Beruntung bapak tadi tidak menunjukkan gelagat mencurigakan. Sepertinya sudah terbiasa melalui jalanan ini. Beruntung pula tak ada satu pun anggota pasukan patroli yang curiga dengan keberadaanku di mobil itu.

**************

“Kamu kiriman republik ya? kamu penyusup!” bentak salah satu dari dua orang yang menghadangku.

Meski tidak berseragam tentara GAM, tetapi intuisiku mengatakan bahwa aku sedang berhadapan dengan anggota pasukan separatis. Senjata AK 47 tampak tertenteng di balik sarung yang melingkari pundak mereka.

“Tidak bang, aku perantau dari jawa. Aku keponakan Uwak Sirun, pekerja kebun di kampung Afdiling satu.” sanggahku dengan tetap menjaga mimik kepolosan.

Jantungku berdebar, nyaliku sempat menciut juga. Wajah seram keduanya menunjukkan rasa belum puas dengan jawabanku.

“Kamu tahu situasi lagi genting, pasukan republik mengepung dimana-mana, salah salah kamu bisa jadi korban tembak!” bentak dia lagi, lalu seorang temannya menggeledah saku celana, baju, dan membongkar seluruh barang bawaan di dalam ranselku.

Samar-samar terdengar suara rentetan tembakan dari kejauhan. Ah, pasti di kampung seberang sana terjadi lagi baku tembak antara TNI dengan GAM pikirku.

Kulihat beberapa orang dengan wajah panik bergegas mempercepat langkahnya, keluar dari halaman sebuah mushola. Tepat berada di seberang jalan tempatku berdiri.

Matahari belum tampak, pekatnya kabut masih menyelimuti sisa gelap semalam di kampung Juleu Rayeu.

“Jangan sering keluar malam begini, salah-salah kamu akan menjadi sasaran pasukan republik!” imbuh pria bertubuh tegap lalu meninggalkanku.

“Iya bang, terima kasih.” sahutku pelan.

Kulangkahkan kaki ke halaman Mushola, sekalian aku berniat hendak menjalankan Sholat Subuh. Di serambi Mushola tampak duduk seorang anak usia belasan tahun.

Aneh, bocah itu tidak panik mendengar suara rentetan tembakan dari kampung seberang. Sementara orang-orang sudah berhamburan bergegas meninggalkan Mushola.

“Assalamu’alaikum ..” kucoba menyapa bocah kecil itu.

“Wa’alaikum Salam Warohmatullohi Wabarokatuh.“ jawabnya polos.

“Permisi, mau numpang wudhu dan Sholat Subuh.”

“Silahkan, mari kuantar ke pancuran.” terdengar santun dan ramah sekali, lalu menemaniku ke pancuran di samping Mushola.

Selesai menunaikan Sholat Subuh, aku kembali menghampiri bocah tadi. Dia belum beranjak juga dari serambi Mushola .

“Perkenalkan namaku Ado, perantau dari Jawa.” ku ulurkan tangan kepadanya.

“Aku keponakan Uwak Sirun di kampung Afdiling Satu, aku mau ke rumahnya.”

“Namaku Ishak Daud, rumahku diujung jalan itu bang!” balasnya seraya menunjuk kearah ujung jalan.

Aku tersenyum, pekatnya kabut yang masih menyelimuti kampung ini tentu saja membuatku tak bisa melihat arah yang ditunjuk Ishak Daud.

“Ishak sendirian? gak pulang? kan sudah selesai Sholat Subuh tadi?” tanyaku, mencoba mengakrabkan diri kepadanya.

“Nanti saja bang, aku ingin melihat pasukan republik masuk ke kampung ini!” jawab bocah itu dengan lantang.

Aku terkejut mendengarnya, tapi segera kucoba menenangkan diri agar bocah ini tidak berpikiran aneh kepadaku, apalagi sampai curiga.

“Oh begitu, Ishak tidak takut dengan pasukan republik?” kembali aku bertanya.

“Kenapa harus takut? Ishak tidak bersalah, mamak bilang dulu ayah Ishak meninggal saat baku tembak dengan pasukan republik, sekarang Ishak ingin melihat seperti apa pasukan republik itu?” suaranya terdengar jauh lebih polos lagi.

“Ishak ingin ketemu mereka, Ishak ingin bertanya kenapa mereka membunuh ayahku? kenapa harus ada perang dan saling melukai?”

Aku terdiam, ternyata dampak dari konflik berkepanjangan ini tak sesempit yang kubayangkan. Percakapan dengan Ishak Daud membuatku mulai berpikir ke sisi lain yang lebih luas.

Bukan sekedar dari ambisi putra-putra Aceh yang ingin melepaskan diri dari pangkuan Negara Kesatuan RI. Bukan pula dari sisi pasukan TNI yang bertekad mempertahankan keutuhan Ibu Pertiwi. Hatiku kini mulai terusik sisi kemanusiaan.

Kutepuk pundak Ishak Daud, lalu kuusap rambut ikalnya. Belum sempat aku ucapkan satu kalimat untuk membesarkan hatinya, tiba-tiba terdengar teriakan dari ujung jalan.

“Semua bersembunyi! jangan ada yang keluar rumah!” lelaki yang tadi menghadangku kini berlarian sambil memberi peringatan kepada penduduk kampung.

“Pasukan republik datang! semua bersembunyi!” teriak lelaki satunya.

Sementara dari kejauhan sayup-sayup kudengar suara mobil menderu-deru. Suara yang kuhapal betul, berasal dari kendaraan truk militer pengangkut pasukan.

Hanya dalam hitungan sekian menit, iring-iringan kendaran itu tiba di ujung jalan kampung Juleu Rayeu. Ratusan orang berseragam militer lengkap dengan senjata dan amunisi  berhamburan turun dari truk.

“Itu mereka datang bang.” dengan penuh keluguan Ishak Daud berbisik kepadaku.

Belum sempat aku menjawab, seketika terdengar rentetan tembakan membai buta dari pasukan TNI. Serangan mereka arahkan ke setiap rerimbunan pohon karet yang banyak tumbuh di kampung itu.

Segera kutarik tubuh Ishak Daud, ku bungkam mulut mungil bocah itu.

“Tenang dulu, nanti abang jelaskan semua ini!" bisikku seraya kuseret dia menjauh, lalu kupaksa bertiarap dibalik pancuran yang terletak disamping Mushola.

“Dengarkan abang, ini bukan waktunya Ishak untuk menemui mereka!” aku kembali berbisik sambil mendekap tubuhnya agar dia merasa terlindungi.

Tangan kananku masih membungkam mulutnya. Aku khawatir dia mengeluarkan suara yang dapat memancing amarah pasukan TNI.

Baku tembak pun terjadi beberapa saat, dari balik rerimbunan pohon karet sesekali juga terdengar letusan senapan, pertanda pasukan GAM juga membalas tembakan.

Perlawanan GAM hanya berlangsung sesaat. Tak lama setelah itu sudah tidak terdengar lagi suara tembakan balasan. Entah mereka meninggal oleh sergapan pasukan TNI atau berlari ke tengah hutan karet.

Iring-iringan kendaraan militer pun meninggalkan kampung itu. Suasana kembali sunyi. Sontak Ishak Daud berontak dari dekapanku, lalu berlari kearah ujung jalan.

“Mamak … mamak!” teriaknya memanggil-manggil ibunya.

Aku ikut berlari mengejar Ishak Daud. Sampai di halaman sebuah rumah aku terperanga. Tepat didepan pintu tampak tergelatak tubuh seorang wanita dengan pakaian khas wanita Aceh. Terlihat darah segar membasahi punggung wanita itu.

“Mamaaaaakkkk! mamak kenapa?” teriak Ishak Daud menghampiri tubuh itu. Diguncang-guncangkan tubuh ibunya, diam tak bergerak.

“Bangun mamak! kenapa mamak tidur disini?” dia guncangkan tubuh ibunya lebih keras dengan harapan ibunya terbangun.

“Kenapa mamak diam? jawab mak!” tangisnya mulai pecah, teriakan dan jeritannya terdengar histeris.

Dia peluk tubuh ibunya yang membujur kaku. Dibalikkan, lalu diciuminya berkali-kali ibunya yang terpejam. Darah yang keluar dari tubuh ibunya kini sudah membasahi tangan dan lengan Ishak Daud.

Aku terdiam kaku, tak kuasa menyaksikan pemandangan yang ada di depan mata.

“Ya Allah, jika ini adalah kehendakmu, berikan aku kekuatan untuk melihat semua ini” bisikku dalam hati.

Aku kuatkan langkah menghampiri Ishak Daud. Kupeluk tubuh bocah kecil itu. Beberapa saat aku ikut larut dalam tangisnya.

Meski menjadi bagian dari misi penumpasan Gerakan Separatis di Aceh, tetapi dalam hati terdalam aku berharap konflik ini segera bisa diselesaikan dengan jalan diplomasi. Bukan dengan pertumpahan darah seperti ini.

Bagaimanapun juga perang tetaplah kejam, tak mengenal belas kasihan. Perang selalu mencabik-cabik nilai kemanusiaan.


(cerita ini saya dedikasikan untuk ribuan anak bangsa yang gugur selama terjadi konflik di Aceh, baik dari TNI, Polri, GAM maupun rakyat sipil)

#ODOP
#posting_hari_kesebelas

5 komentar:

  1. kereeeennn mas heru..^_^ waiting for the part 3..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih mbk Sasmitha,
      Ditunggu ya part 3'nya

      Hapus
  2. Hanyut dalam ceritanya, keren habis...

    BalasHapus
  3. Hanyut dalam ceritanya, keren habis...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe, biasa aj mbake
      Btw terima kasih mbk Juni

      Hapus

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *