Rabu, 02 Maret 2016

Sunyinya Gelora Delta



“Cak, sepakbola kita hanya tinggal nama” ucapku kepada seorang bapak pemilik warung kopi yang biasa mangkal di pintu gerbang utara stadion Gelora Delta Sidoarjo.

Hari itu saya baru saja menghadiri undangan teman alumni sekolah kumpul-kumpul di alun-alun kota Sidoarjo. Saya sengaja mampir ke bangunan megah yang menjadi kandang Tim Nasional Indonesia U19 itu. Hanya kesunyian yang ada disana.

“Iyo cak, emboh jane karepe wong duwuran iki piye?” jawab si bapak penjual kopi.

“(Iya mas, entah sebenarnya apa maunya para elit di atas sana)”

“Arek-arek parkiran karo kaosan yo melu buyar, wis ora enek sing diarepne dodolan tok kene, jare bal-balan Indonesia saiki soyo ruwet, ora duwe mesakne karo wong cilik” lanjut si bapak.

“(Anak-anak yang usaha parkir dan jualan kaos juga ikut bubar, sudah tidak ada lagi yang bisa diharapkan jualan disini, katanya sih sepakbola Indonesia semakin ruwet, tidak punya rasa belas kasihan dengan nasib rakyat kecil)”


Kalimat dari penjual kopi menggelitik pikiran dan mengingatkan saya kembali kepada carut marutnya system tata kelola sepakbola negeri ini (meminjam istilah pembantu Presiden di bidang olahraga, Menpora Imam Nahrowi).

Juga mengingatkan saya kepada Garuda Muda U19. Tim medioker yang sempat mencuri hati masyarakat Indonesia, karena prestasinya yang luar biasa dan diluar dugaan melejit menjadi juara Piala AFF 2013. Sekaligus mengakhiri puasa gelar sepakbola Indonesia selama 22 tahun ketika itu.

Sambil menikmati sepotong Ote-Ote (jajanan goreng khas Jawa Timur yang terbuat dari tepung terigu dan irisan daun kol) saya berjalan kearah salah satu dinding stadion di dekat warung kopi, tampak masih berserakan sobekan tiket yang telah usang, bertuliskan pertandingan grand final Indonesia versus Vietnam tiga tahun silam.

Ketika itu, setiap kali tim nasional bertanding di Gelora Delta, saya bersama pecinta sepakbola Sidoarjo dan sekitarnya selalu tumplek blek memenuhi tribun stadion. Memberikan dukungan tim kebanggaan negeri kita. Antusiasme kami ketika itu menggambarkan betapa rakyat Indonesia sudah bermimpi dan merindukan gelar bagi tim nasional Merah Putih.

Mimpi yang menjadi kenyataan! tim nasional U19 tampil menggila dan mengobati dahaga gelar bagi Indonesia. Tampil sebagai nomor satu di ASEAN.

*********
Saya nyalakan sebatang rokok. Dengan perasaan pilu saya arahkan pandangan ke sekeliling stadion. Astaga! gelap dan hening sekali. Bukankah ini kandang tim nasional Indonesia U19 dulu? bukankah ini tempat Garuda Muda  berjuang mati-matian menggapai level tertinggi di Asia Tenggara?

Beginilah kalau aroma politik sudah masuk ke olahraga. Konflik tiada ujung pangkal di persepakbolaan nasional benar-benar telah menghancurkan berbagai sendi kehidupan. Bukan hanya para pemain yang kehilangan mata pencaharian. Para tukang parkir dan pedagang kostum tim sepakbola yang selama ini bertebaran di depan stadion Gelora Delta pun satu per satu menutup lapak mereka. Mungkin hal serupa juga terjadi di stadion-stadion di kota lain.

Berbagai upaya islah yang diprakarsai Wakil Presiden Jusuf Kalla bersama Pak Agum Gumelar (Ketua Tim Ad Hoc FIFA) untuk mencari solusi mengurai benang kusut sepakbola negeri ini pun nihil hasilnya.

Bahkan instruksi Presiden Pak Jokowi seminggu silam agar Menpora Imam Nahrowi segera mengaktivkan kembali sepakbola Indonesia (mencabut SK Pembekuan PSSI oleh Menpora yang berakibat Indonesia di banned FIFA) pun terkesan seperti angin lalu. Entah sampai kapan konflik ini akan menidurkan sepakbola kita.

Saya akhirnya memutuskan pulang setelah membayar secangkir kopi dan dua potong Ote-Ote kepada si bapak pemilik warung kopi. Saya pacu sepeda motor meninggalkan kesunyian Gelora Delta.

Sampai di kontrakan, saya buru-buru mengambil flashdisk lalu menyalakan laptop. Ada rasa sakit yang tiba-tiba menyeruak ke dada. Ada kerinduan yang harus saya obati dengan membuka-buka lagi flashdisk. Di sebuah folder yang saya namai “Dahaga Kita Terobati” satu per satu saya cermati lagi foto kenangan ketika saya menjadi saksi hidup kembalinya gelar juara bagi Indonesia, di stadion Gelora Delta Sidoarjo.

Ada puluhan gambar kenangan di flashdisk itu yang kelak akan saya jadikan cerita kepada anak cucu. Kenangan ketika kami harus berebut antri tiket sejak Subuh, di injak-injak pengantri lain, di bentak aparat, berdesak-desakan di pintu masuk, hingga bernyanyi sepanjang pertandingan, lalu menggemakan Takbir dan menangis histeris tatkala stadion itu meneguhkan Indonesia sebagai juara baru di ASEAN.

Kenangan tentang euforia di Gelora Delta dan Indonesia yang jaya sakti.

(catatan ini saya dedikasikan untuk orang-orang yang mengaku cinta sepakbola Indonesia)

#ODOP
#posting_hari_ketiga


**********************

jawaban tantangan menulis dengan menggunakan kata : kopi, flashdisk, presiden

12 komentar:

  1. Suka dengan gaya tulisan mas Heru. Btw ote-ote mungkin kalo di jakarta namanya ba'wan ya?

    BalasHapus
  2. terima kasih, setahu saya kalau Bakwan itu terbuat dari jagung, kalau Ote-Ote dari tepung terigu ... hehe, tapi gk tahu di jakarta itu ada Ote-ote apa gak :)

    BalasHapus
  3. Ini mah bukan tulisan amatiran lagi,

    BalasHapus
  4. Ini mah bukan tulisan amatiran lagi,

    BalasHapus
  5. kalo pakde indro bilang.. kompor gas...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahaa .. suwun cak Junaidi.
      Msh jauh dari kompor ini 😀😊😂

      Hapus
  6. Mantab bang Heru alur ceritanya, enak dan luwes gayanya :D

    Salam Tran Ran

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih mas Sitampan Tampan (fotonya tampan beneran loh) ...
      btw masih amatiran ini tulisan saya, masih harus bnyk belajar, mohon saran & kritiknya mase.

      Hapus

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *