Selasa, 29 Maret 2016

PRABU SRI BETHORO KRESNO (Part 2)




Masa pengasingan keluarga Pandowo (Pandawa) selama dua belas tahun telah berakhir. Mereka terusir dari kerajaan Hastinapura (Astina) karena tipu daya saudara sepupu mereka Prabu Duryudono (Doryudana, Suyudana) dalam perjudian dadu.

Diakhir masa pembuangan itu, mereka menyamar sebagai rakyat biasa dan menetap di negeri Wirata. Butuh waktu setahun bagi Prabu Matswopati, raja Wirata untuk mengenali bahwa kelima putra Prabu Pandu (ayah Pandowo) ternyata berada di negerinya.

Prabu Matswopati pun menyebarkan berita ini ke negeri-negeri tetangga bahwa Pandowo telah bebas dari masa pembuangan dan menetap di negerinya. Maka para putra dan kerabat Pandowo mulai berdatangan ke Wirata.

**********
Pernikahan Abimanyu – Utari.
Sementara itu di Dworowati, Prabu Sri Bethoro Kresno sedang bercakap-cakap dengan Abimanyu (putra Arjuna). Mereka juga sudah mendengar kabar keberadaan para Pandowo.

“Paman Kresno, saya ingin pergi ke Wirata.” Ucap Abimanyu.

“Saya sudah kangen dengan romo Arjuno dan paman-paman Pandowo. ”

“Sabarlah Abimanyu, kita menunggu Gatotkoco yang sedang menuju kemari!” Kresno membesarkan hati Abimanyu.

Sebagai titisan Wisnu, sebenarnya ia telah mengetahui bahwa Pandowo sedang mengutus Gatotkoco (Gatotkaca, putra Bima / Werkudoro) untuk memberitakan kabar ini ke Dworowati, sekaligus mengundang mereka untuk datang ke Wirata.

Sesampainya Gatotkoco ke Dworowati, Prabu Kresno memerintahkan agar putra Bima itu segera kembali ke asalnya Pringgodani karena masih banyak tugasnya yang harus diselesaikan disana. Gatotkoco pun segera melesat terbang ke kesatriannya.

Tak lama setelah itu, berangkat pula Kresno bersama dengan Abimanyu dan Sembodro (istri Arjuno, adik Kresno) menuju Wirata, memenuhi undangan Pandowo.

Kedatangan mereka disambut penuh sukacita oleh Pandowo, karena lama tidak berjumpa. Begitu pula dengan Arjuno, ia sudah sangat merindukan istri dan putranya.

Di Wirata pula, Abimanyu bertemu dengan sosok wanita muda yang cantik jelita, Dewi Utari yang merupakan putri Prabu Matswopati. Singkat cerita, cinta pun bersemi diantara mereka berdua.

Atas restu dari para Pandowo dan Prabu Matswopati, Abimanyu disarankan segera menikahi Dewi Utari. 

Pesta pernikahan akan dilangsungkan di Wirata. Undangan segera mereka sebar ke negeri-negeri tetangga dan kerabat Pandowo. Termasuk keluarga Kurowo (Kurawa) di Astina.

Semua tamu yang diundang menyatakan akan hadir, kecuali Prabu Duryudono bersama saudara-saudara Kurawanya, juga Patih Sengkuni. Bahkan mahaguru dari Pandowo yaitu Pendeto Durno (Resi Drona) pun menolak hadir, dengan alasan sudah tua dan tak sanggup menempuh perjalanan jauh.

Sementara ibu Kunti (ibu para Pandowo), Arya Widura (paman Pandowo) dan Bismo (Resi Bisma, kakek Pandowo & Kurowo) dengan sukacita menyambut pernikahan itu. Mereka pun hadir ke Wirata.

Pernikahan Abimanyu dan Utari pun berlangsung khidmat dan syahdu. Setelah usai pesta, semua undangan dari negeri tetangga pulang, kecuali para tamu kehormatan. Diantaranya Prabu Kresno, ibu Kunti, Arya Widura dan Resi Bismo.

***********
Kresno Duto.
Pandowo berdiskusi dengan para tamu besar. Mereka mengutarakan niat untuk meminta hak atas tanah Amarta (Indrapasta) yang kini telah dikuasai pula oleh Astina.

Ibu Kunti dan Resi Bismo memberi nasehat agar Pandowo membicarakan hal ini secara baik-baik dengan sudara sepupu mereka Prabu Duryudono. Lalu mereka pun pamit kembali ke Astina.

“Aku tidak bisa tinggal bersama kalian di Wirata putra-putraku tercinta”

“Aku harus kembali, almarhum ayah kalian Prabu Pandu memberi amanah bahwa aku harus tetap tinggal Astina.” ungkap Dewi Kunti.

Sebelum pulang, Arya Widura dan Resi Bismo menyarankan agar para Pandowo meminta bantuan Prabu Kresno untuk menjadi duta ke Astina.

Maka berangkatlah Sri Bethoro Kresno menuju Astina. Ia melesat menggunakan kereta yang bisa terbang yaitu Kiai Jolodoro. Sebagai kusir kereta sakti itu adalah senopati (panglima perang) Dworowati yang juga saudara ipar Kresno, Raden Setayki (adik Setyaboma).

Sesampai di Astina, Prabu Duryudono bersama para punggawa dan sesepuh (tetua) istana sudah menunggu. Di paseban agung (pendopo istana) tampak Prabu Destorotro (ayah Duryudono, adik Prabu Pandu) bersama istrinya Dewi Gandari, Resi Bismo, Pendeto Durno, Arya Widura, dan Patih Sengkuni (penasehat Duryudono).

“Wahai Duryudono, niatku datang ke Astina adalah menyampaikan amanah dari Pandowo” buka Sri Bethoro Kresno.

“Sebagaimana yang kita ketahui semua, tanah di Amarta adalah milik Pandowo, saudara-saudaramu itu hendak meminta haknya secara baik-baik!”

“Ketahuilah prabu Kresno, Astina adalah sebuah negeri berdaulat, pantang bagi Duryudono untuk menyerahkan sejengkalpun wilayah dari Astina!” tolak Duryudono.

Semua yang hadir di pendopo Astina tersentak, tidak menyangka Prabu Duryudono (yang sudah dihasut Patih Sengkuni) berani bicara lantang kepada Sri Bethoro Kresno.

“Dengarkan aku Duryudono, hindarilah perang sesama saudara, tempuhlah jalan damai ini, demi keutuhan persaudaraan Pandowo dan Kurowo!”

“Kembalikanlah hak para Pandowo, demi kebaikan kita semua!” sabda titisan Sang Hyang Wisnu itu.

Para sesepuh yang mendengar ucapan Duryudono segera meminta maaf kepada Prabu Kresno,  kakek Bismo berusaha menasehati cucunya.

“Cucuku Duryudono, semua yang dikatakan Sri Bethoro Kresno benar, kembalikanlah Amarta kepada Pandowo!”

“Dari jaman aku kecil hingga sekarang kakek Bismo tua renta, tetap saja kakek pilih kasih membela Pandowo!” bentak Duryudono.

Arya Widura pun ikut angkat bicara, Duryudono, perkataanmu sudah keterlaluan dan tidak mencerminkan tindakan seorang raja, aku tidak akan merestui semua tindakanmu!”

“Aku juga tidak butuh restu dari paman!”

“Terakhir kali aku berkata, apakah kau bersedia berdamai dengan Pandowo dan mengembalikan Amarta?” tanya prabu Kresno.

“Pulanglah ke Dworowati, jangan ikut campur urusan kami! Segera tinggalkan istanaku atau kamu akan menyesal!” tantang Duryudono kepada Kresno. 

Prabu Duryudono
***********
Sementara itu di alun-alun Astina sang kusir dari kereta Kiai Jolodoro sedang beristirahat. Ia tidak menyadari ketika tiba-tiba datang seseorang raksasa muda yang tanpa ampun langsung menendangnya.

Setyaki terjerembab, belum sempat ia bangun tapi sudah diseret-seret oleh sraksasa muda tadi. Cepat-cepat patih Setyaki menguasai diri dan ditendangnya raksasa itu. Raksasa itu jatuh terguling guling.

Burisrowo
Akhirnya raksasa itu mengaku bernama Burisrowo dan diperintah prabu Duryudono untuk menghabisi Setyaki. Mereka pun berkelahi adu kesaktian. Keduanya seimbang sama kuat. Akhirnya mereka berjanji akan melanjutkan perkelahiannya  kelak jika bertemu lagi, karena saat ini Setyaki sedang beperan sebagai seorang duta bersama Kresno yang tidak boleh berkelahi (kelak pada perang Baratayudha mereka bertanding lagi).

Setyaki
Setyaki segera menyusul ke pendopo, lalu menceritakan kejadian tadi kepada prabu Sri Bethoro Kresno.

“Duryudono, semua yang hadir disini akan menjadi saksi atas ucapanmu, perkataanmu dan tindakanmu terhadap Setyaki harus kau pertangunggjawabkan di kemudian hari!” sabda Sang Hyang Wisnu.

“Tangkap dan habisi mereka berdua!” perintah Duryudono yang disambut kepungan ratusan prajurit Kurowo kepada Kresno.

Melihat itu, Sri Bethoro Kresno langsung melesat sekejap mata menuju ke halaman istana Astina. Ia berdiri tegak ditengah halaman, tampak matanya bersinar merah tanda amarahnya telah memuncak.

Tiba-tiba Guntur menggelegar. Langit Astina menjadi gelap gulita. Prabu Kresno lenyap dan kini sudah berdiri sesosok raksasa sebesar gunung Jamurdipa. Reksa denawa itu bernama Berholo Sewu yang merupakan tiwikrama (perubahan wujud) dari Bethoro Wisnu (Dewa Wisnu).

Kehadirannya membuat Astina gempar. Para punggawa Kurowo segera berlarian mencari tempat persembunyian. Berholo Sewu ini mengaum keras dan hendak menelan seluruh istana Astina.

Auman dari Tiwikrama Bethoro Wisnu terdengar hingga istana taman langit (Kahyangan, Suralaya). Para dewa pun ikut gempar, khawatir prabu Kresno akan meluluh lantakkan Astina.

Bethoro Guru pun segera memerintahkan Bethoro Dharmo (Dewa Kesabaran) turun ke bumi menenangkan Bethoro Wisnu. Karena hanya dengan kesabaran Bethoro Dharmo kemarahan tiwikrama Bethoro Wisnu bisa diredam.

Bethoro Dharmo pun pelan-pelan mendekati saudaranya yang sudah dikuasai amarah.

“Wahai tiwikrama, sesakti itukah para Kurowo sehingga perlu dihancurkan oleh seorang Bethoro Wisnu?” bujuk Bethoro Dharmo.

“Aku akan menelan seluruh Astina beserta Kurowo yang sombong ini!”

“Apakah kejahatan mereka menggemparkan dunia? Hingga tiwikrama yang sakti sebagai perwujudan dewa sampai turun tangan?”

“Kita semua tahu, para Pandowo akan bisa menyelesaikan angkara murka Kurowo tanpa bantuan Dewa Wisnu! Cabutlah tiwikrama ini saudaraku!”

Ucapan sang Bethoro Dharmo yang penuh kesabaran pun meredam amarah Sri Bethoro Kresno. Iapun kembali ke wujud aslinya, lalu menuju ke rumah ibu Kunti dan Arya Widura untuk pamit.

Prabu Sri Bethoro Kresno memerintahkan Setyaki untuk pulang ke Dworowati bersama Kiai Jolodoro. Sementara ia langsung terbang ke langit menuju Wirata, mengabarkan hasil pertemuan dengan Kurowo kepada Pandowo.
Prabu Duryudono


Berholo Sewu - Tiwikrama Dewa Wisnu
Segmen ini dalam pagelaran wayang kulit dikenal dengan kisah “Kresno Duto”, sekaligus menjadi babak dimulainya perang saudara antara Pandowo dan Kurowo, perang besar Baratayudha (Barotoyudho Joyo Binangun).


#ODOP
#PostingHariKeduaPuluhDua

2 komentar:

  1. serial yg ini aku pernah baca, tp lupa. diingatkan kembali oleh heru,
    baguuus ceritanya

    BalasHapus
  2. Terima kasih,
    Mencoba membawakannya dengan gaya tulisanku Lis.
    Belajar konsisten dg mahafiksi jawa

    BalasHapus

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *