Selasa, 15 Maret 2016

Terinspirasi Slilit Sang Kiai




Ketika masih duduk di bangku SMP, saya pernah mendapatkan kiriman sebuah buku dari kakak yang tinggal di Jogja. Ketika itu saya memang memesan agar dibelikan sebuah buku (tanpa menentukan genre & pengarangnya).

Saya sempat heran begitu membuka dan membaca judul buku itu. Tampak sebuah gambar Catut (alat untuk mencabut paku) mendominasi sampul hitam dengan judul “Slilit Sang Kiai” karangan Emha Ainun Najib (Cak Nun). Budayawan asal kota santri Jombang.

Slilit Sang Kiai sendiri sebenarnya kumpulan kolom yang pernah ditulis Cak Nun di berbagai media massa. Judul tersebut diambil dari esai pertama pada buku yang membahas tentang slilit.

Slilit sebenarnya bukanlah hal penting untuk didiskusikan. Keberadaannya pun seolah terpinggirkan karena satu-satunya produk yang berhubungan dengan slilit bahkan dinamakan Tusuk Gigi, padahal yang ditusuk slilitnya, bukan gigi.

Justru karena slilit pula, seorang kiai terhambat masuk ke surga. Kok bisa?

Suatu hari, seorang Kiai yang alim dan soleh diundang tetangganya untuk kenduri (selamatan). Sudah menjadi tradisi setelah berdo’a maka sang tuan rumah bersedekah dengan menjamu makan para tamunya. Termasuk Sang Kiai ikut menikmati jamuan makan malam itu.

Setelah selesai jamuan, Sang Kiai pun pulang. Dalam perjalanan pulang beliau merasa ada slilit yang mengganjal di sela-sela giginya (Slilit : sedikit sisa makanan, biasanya daging). Kebetulan di pinggir jalan terdapat pagar terbuat dari kayu bambu yang sudah lapuk. Sang Kiai mengambil sedikit kayu dari pagar itu dan menjadikannya sebagai tusuk gigi.

Selesai sudah masalah slilit Sang Kiai.

Beberapa tahun setelah kejadian itu Sang Kiai meninggal dunia karena sudah uzur. Salah seorang santrinya bermimpi bertemu Sang Kiai.

Di alam sana Sang Kiai memperoleh banyak kebaikan karena amal baiknya semasa hidup di dunia. Tetapi ada satu hal yang mengganjal yang dapat menghalangi seluruh kebaikan Sang Kiai. Serta menghambat jalan masuk ke surga.
Sepotong kayu kecil yang dijadikan Sang Kiai untuk mengambil slilit itu bukanlah kayu miliknya. Inilah yang menjadi penghalang seluruh amal baik Sang Kiai. Beliau tidak sempat meminta ijin kepada si pemilik pagar. Sehingga sama dengan pencuri.

Sang Kiai lalu meminta kepada santrinya untuk menemui pemilik kayu pagar itu dan memohon keikhlasannya. Agar dimuluskan jalan Sang Kiai masuk ke surga.

********

Gaya tulisan dari Kiai Mbeling (sebutan Cak Nun) kental dengan dialek khas Jawa Timur. Sehingga bagi saya (yang kebetulan bertetangga kota dengan Cak Nun) mudah mencernanya sebagai pembaca pemula. Semisal dalam esai berjudul “Bu Tono dan Pak Tini”, atau pada esai “Yang Berteriak Tinggal Serak".

Meski tidak menyisipkan Ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist, dan terkesan sedikit nakal gaya bahasanya (tipikal Arek Jatim / anak Jawa Timur), tetapi tulisan-tulisan Cak Nun tetap mengusung pesan dakwah.

Kumpulan kolom dari arek Jombang ini pula yang mengspirasi saya bahwa menulis itu tidak selamanya harus memakai kalimat puitis. Buktinya kolumnis yang sempat nyantri di Ponpes Tebu Ireng Jombang itu selalu sokor jeplak (asal ngomong) dalam menuangkan ide dan gagasan ke dalam tulisan. Sedikit mengesampingkan EYD, tapi misi dakwahnya tetap sampai ke pembaca.

#ODOP
#BukuTerbaikYangPernahSayaBaca
#posting_hari_keduabelas

9 komentar:

  1. Menarik... bacanya enak... ngalir.. baru tahu apa itu slilit... kirain selulit..hehe...

    BalasHapus
  2. Hahaha ..
    Apalagi kl gigi kita ada yg berlubang, pasti sibuk nuntasin problem Slilit setiap habis makan 😊

    BalasHapus
  3. Siip. Saya juga senang baca buku-bukunya Cak Nun mas. Yang paling saya suka judulnya "Kagum pada Orang Indonesia".

    BalasHapus
  4. Saya jg termasuk penggemar Cak Nun, bahasa dakwahnya bisa merangkul berbagai kalangan

    BalasHapus
  5. Saya jg termasuk penggemar Cak Nun, bahasa dakwahnya bisa merangkul berbagai kalangan

    BalasHapus
  6. Bahasa Cak Nun ceplas ceplos apa adanya.
    Saya pernah datang di pengajian Cak Nun di Jogja mulai pukul 21.00 hingga 03.00 dini hari dukuk "nglesot" di dekatnya. Saya sampai tdk beranjak blasss. Takut kehilangan info penting dari Cak Nun..

    BalasHapus
  7. saya juga penggemar cak nun..
    mbak Juni ponpesnya caknun di jogja opo yo?

    BalasHapus
  8. mantaaaabbb Her...nyilih aku bukune

    BalasHapus
  9. mantaaaabbb Her...nyilih aku bukune

    BalasHapus

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *