Selasa, 21 Februari 2017

BALADA SANG BIDUAN JAWA




Hujan tak kunjung berhenti mengguyur Anjuk Ladang, kota kecil yang berada di kaki gunung Wilis. Setelah beberapa hari tirta cakrawala enggan membasahi bumi, malam itu dia seperti membayar lunas tugasnya yang tertunda.

Hingga tengah malam, langit masih gelap gulita. Kudongakkan kepala ke atas. Tak tampak sebuah bintangpun berkelip di sana. Padahal, seharusnya rembulan bersolek dengan bentuk sempurna di angkasa.

Iya, malam itu adalah malam kelima belas dalam penanggalan Jawa. Malam purnama, dimana di pendopo kabupaten Nganjuk selalu terlihat kesibukan puluhan orang yang menjadi pengabdi seni. Mencurahkan hidupnya untuk berbhakti, demi lestarinya peninggalan adiluhung moyang kami.

“Ayo bangun, waktunya pulang,” samar-samar kudengar suara itu. Sedikit tergesa-gesa, tanganku digandengnya.

Dengan kantuk yang masih membekap dua kelopak mata, antara sadar dan tidak, aku bisa melihat orang-orang tampak bergegas meninggalkan pendopo. Sebagian berlari kecil menghindari guyuran gerimis. Beberapa menit sesudahnya, beberapa di antara mereka telah mengayuh sepeda onthel, melintas di depan kami sambil melambaikan tangan. Lalu melempar senyum yang bersahabat.

Pareng, Bu. Kulo rumiyin ---- Mari, Bu. Saya duluan,” sapa mereka.

Monggo ---- silahkan,” jawab wanita yang disapa.

“Ayo, itu Kang Man sudah datang,” lagi-lagi tanganku digandeng. Di depan pagar kantor kabupaten, seorang tukang becak ----- sebutan abang becak di kota asal saya ----- langganan meminggirkan kuda besi tua.

Iya, hampir setiap kamis malam, dan malam kelima belas dalam kalender Jawa, si tukang becak itu selalu menjadi langganan sang biduan. Mengantar dan menjemput dari rumahnya yang berada di pelosok desa, jauh dari pusat kota, menuju pendopo yang tepat berada di samping alun-alun Nganjuk.

Sebuah paguyuban karawitan rutin pentas di sana. Biasanya disiarkan langsung oleh Radio Khusus Pemerintah Daerah (RKPD) Nganjuk. Meski tak banyak yang mendengarkan siaran itu mungkin. Pada hari tertentu, mereka akan mengundang seorang dalang untuk wayangan.

Malam itu, sepanjang perjalanan dari pendopo menuju rumah, sang biduan tiada henti-hentinya menasehatiku.

Mbésok, ojo dadi wong sêni. Dadio wong pintêr. Ndang oncat saka kutha kéné. Golèko penggawèyan sing bisa kanggo nguripi anak lan bojomu ---- Kelak, jangan berprofesi sebagai seniman. Jadilah orang pintar. Merantaulah dari kota ini. Cari pekerjaan layak yang bisa kamu gunakan untuk menafkahi anak dan istrimu,” tuturnya.

Nggih ---- Iya,” jawabku singkat.

Kalimat yang terlontar dari sang biduan bukan tanpa alasan. Kehidupan seniman pinggiran, apalagi kelas kampung, penuh dengan kesusahan. Dalam hal penghasilan tentunya. Untuk sebuah pengabdian seni seperti malam itu, uang yang dia terima hanya cukup dipakai membeli beberapa kilo beras besok pagi. Sedangkan lauk pauknya, biasanya masih harus menghutang di toko pracangan ----- sembako ---- Yu Dami. Seorang taipan Jawa yang galaknya bukan kepalang saat menagih hutang.

Hidup dengan segala keterbatasan seperti itu sudah mendarah daging dalam keseharian sang biduan. Tetapi, semua tetap dia jalani tanpa berniat sedikitpun untuk berhenti dari me-nyinden ---- mendendangkan tembang Jawa. Menjual lantunan suara dari panggung ke panggung, mengais remahan rejeki dari sana. Jangan harap akan ada pundi-pundi uang berlebih.

Bagi sang biduan, ada nilai yang tak bisa dihargai dengan materi. Menjaga seni dan budaya agar tetap terpelihara. Itulah misi sejati dia.

Belasan tahun aku melewati malam-malam seperti itu bersama sang biduan.

Terkadang harus ikut berbasah kuyup saat hujan, karena plastik penutup becak milik Kang Man sudah compang-camping. Berlubang di sana-sini. Tak jarang pula menunggu berjam-jam, mencari tukang becak lain yang melintas depan pagar pendopo kabupaten, ketika becak langganan kami berhalangan.

Tiba-tiba rasa kantuk yang tadi menyelimuti kedua kelopak mataku telah sirna. Tujuh kilo dari pusat kota, jalan yang kami lalui mulai membelah hamparan sawah. Gerimis sudah tak lagi turun.

Sepanjang kanan kiri jalan, kawanan kodok ijo ----- katak hijau (fejervarya cancrivora) terdengar merdu bersahut-sahutan. Pertanda hujan sudah benar-benar reda. Dari kejauhan, terlihat sorot lampu para tukang suluh kodok ----- pemburu katak sawah ----- mulai berkilatan. Cuaca seperti ini, bagi mereka adalah berkah tiada tara. Bisa dipastikan, hasil buruan mereka akan melimpah.

Sungguh, Gusti Ingkang Murbeng Dumadi, Allah SWT senantiasa memberi banyak pintu rejeki bagi manusia yang mau berusaha dan bekerja.

Akhirnya, kami mulai memasuki gapura desa. Tak lama berselang, Kang Man yang sudah hapal dengan tujuan, menghentikan becaknya tepat di sebuah rumah tanpa pagar dan hanya berlantai tanah.

Matur suwun ---- terima kasih, Bu,” ucap Kang Man ketika menerima selembar uang sepuluh ribuan yang diulurkan sang biduan.

Tukang becak itu sempat mengusap kepalaku, sebelum akhirnya memutar haluan dan kembali mengayuh kuda besi tua miliknya. Sementara sang biduan sibuk membuka kunci pintu rumahnya. Aku masih diam berdiri di tengah halaman.

Kembali kudongakkan kepala ke atas cakrawala. Terlihat sebuah bintang yang bersinar terang di sana.

Lintang Panjerwengi. Bintang Alpha Centauri.

"Ah, alangkah indahnya malam ini," gumamku dalam batin.

-o0o-

Tiga dasawarsa telah berlalu. 

Kini, sang biduan sudah tidak lagi menjual lantunan suaranya. Paguyuban-paguyuban karawitan dan para dalang wayang sekarang lebih tertarik untuk menggunakan jasa biduan-biduan muda. Meninggalkan sinden-sinden pinggiran kelas kampung yang semakin renta.

Sebagai gantinya, untuk menafkahi hidup sang biduan, setiap minggu aku rutin menyisihkan sebagian rejeki, lalu mengirimkan kepadanya. Sebagai pengingat atas perjalanan membahagiakan setiap kamis malam di masa kecil dulu. Pengganti sepiring nasi rawon yang selalu kuterima dari pramu saji ---- pelayan ---- pendopo kabupaten saat manggung di sana.

Semoga sang biduan senantiasa dikarunia kesehatan dan umur panjang. 

Doakan juga aku tetap sehat, agar bisa terus bekerja. Demi menafkahi orang-orang tercinta. Istri, anak, dan tentunya sang biduan.

Aamiin Ya Robbal Alaamiin.

Ayu, Hayu Rahayu Wilujeng.

Heru Sang Mahadewa
Member of #OneDayOnePost

Catatan:
Tulisan ini saya dedikasikan untuk Ibu Siti Fatimah (nama udara pemberian Pak Gondo Sutrisno, penyiar RKPD Nganjuk), seorang sinden kabupaten ----- sebutan untuk biduan Jawa ----- di tahun 90-an yang biasa mengiringi pentas sebuah paguyuban karawitan binaan Pemda.

Sang biduan Jawa itu adalah ibu saya.

Sang biduan di masa muda, bersama Lik Karsih yang juga biduan
 
Sang biduan Jawa

12 komentar:

  1. Aamiinn... Allahumma aamiinn..
    Asli, keren iniiii....aku suka.
    Makasih mas heru tulisannya... Salam takzim untuk sang biduan. Semoga panjang umur dan selalu sehat. Aamiinn...

    BalasHapus
  2. Adem kalo baca tulisan kang Heru. Mirip ya wajahnya kang 😀😀

    BalasHapus
  3. Mas heru darah seninya kuat bgt turunan babe sama ibu nya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha, tapi saya gak nurun bakat seni beliau-beliau, mbk Dewie.

      Hapus
  4. Para seniman harusnya juga dapat dana pensiun. Atau minimal, hari tuanya tetap diperhatikan. Apalagi seperti sang Biduan di atas yang merupakan binaan Pemda.

    Mereka juga layaknya PNS yang di hari tuanya dapat dana pensiun: mengabdi untuk melayani.

    Bukankah begitu bang Heru?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setuju sekali, Gus Ibnu.
      Alangkah bahagianya mereka, andai pemerintah berpikiran seperti panjenengan.

      Hapus
  5. Saya trenyuh baca tulisan mas Heru. Luar biasa. Mugi2 Ibunda & keluarga Mas Heru tansah pinaringan berkah saking Gusti Allah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin.
      matur suwun Pak Parto.
      Mugi panjenengan sakaluwarga ugi tansah pinaringan berkah saking Gusti Ingkang Murbeng Dumadi.

      Hapus

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *