Sabtu, 11 Februari 2017

BENGAWAN BRANTAS, SUNGAI SEJARAH DI JAWA DWIPA


Bengawan Brantas - foto @wedya_wiwied


Di Pulau Jawa, ada dua sungai legendaris yang telah dikenal sejak ribuan tahun silam. Sungai-sungai itu, dahulu menjadi jalur penting bagi aktivitas kerajaan-kerajaan kuno. Baik sebagai pertahanan pasukan, maupun jalur perdagangan dengan negeri-negeri seberang.

Sungai pertama adalah Bengawan Solo. Merupakan sungai terpanjang di Jawa yang mengalir dari mata air di pegunungan Seribu di Jawa Tengah, lalu masuk ke kabupaten-kabupaten di provinsi Jawa Timur melalui Madiun, Ngawi, Bojonegoro, Lamongan dan bermuara di Gresik.

Sungai kedua adalah Bengawan Brantas (Kali Brantas). Merupakan sungai terbesar di Jawa. Bermata air di kaki gunung Arjuno, Batu, Malang, Jawa Timur. Alirannya membelah Lodaya (Blitar, Tulungagung), Panjalu (Kediri), Anjuk Ladang (Nganjuk), Watugaluh-Tamwlang (Megaluh-Tembelang, Jombang) dan Kotaraja Majapahit Antawulan (Trowulan, Mojokerto).

Sampai di pelabuhan kuno Canggu (sekitar desa Mlirip, Jetis, Mojokerto sekarang) dekat kotaraja Majapahit, aliran bengawan Brantas terpecah menjadi dua. Pertama alirannya terus lurus menuju ke arah timur, menjadi Bengawan Porong. Bermuara di daerah Bangèr (Bangil, Pasusuruan sekarang). Pecahan kedua, mengalir ke utara, menjadi Bengawan Mas. Bermuara di Ujung Galuh (Pelabuhan Kalimas Surabaya sekarang).

Pelabuhan Canggu, di masa silam merupakan sebuah dermaga penting bagi perdagangan Majapahit. Para saudagara dari negeri Tiongkok, Syiam, Champa, India dan Arab senantiasa melanjutkan pelayaran ke pelabuhan kuno itu menggunakan BALANDONG (kapal kayu kecil kuno) setelah merapatkan JUNG (kapal layar kuno berbendera asing) di Bangèr atau Ujung Galuh.

Brantas Dalam Sejarah.
Bengawan Brantas, sudah mulai dikenal sebagai jalur penting sejak era perang pasukan Mpu Sindok (Mataram Kuno) dengan pasukan Melayu (Sriwijaya) yang mengejarnya hingga ke lembah gunung Wilis, Nganjuk, Jawa Timur.

Pasukan Sriwijaya yang berasal dari pangkalan militer divisi Jambi (Swarna Dwipa/Sumatera) mengerahkan kekuatannya mengarungi samudera Jawa, lalu mendarat di pelabuhan kuno Kembang Putih (Tuban, Jawa Timur sekarang).

Dari Tuban, pasukan Sriwijaya bergerak ke selatan hingga sampai di bengawan Brantas. Mereka singgah di pelabuhan kecil Watugaluh (Megaluh, Jombang sekarang) untuk membuat BALANDONG.

Perjalanan dilanjutkan menyusuri ke arah hulu bengawan Brantas hingga sampai di seberang pelabuhan Bandar Alim (desa Demangan, Tanjunganom, Nganjuk sekarang). Di tempat itu, pasukan Sriwijaya mendirikan pangkalan militer untuk menyiapkan kekuatan menggempur Mpu Sindok di lembah gunung Wilis.

Bengawan Brantas sekaligus menjadi batas pertahanan antara dua negeri yang berseteru. Sriwijaya dan Mataram Kuno.

Bengawan Brantas - foto Angga Kris
Pasukan Tar-Tar dari Mongolia yang dikirim Kaisar Kubilai Khan untuk menghukum raja Singhasari, Prabu Kertaêgara juga melalui bengawan Brantas. Nahas, pasukan yang buta peta kekuasaan Jawa Dwipa itu, setelah menghabisi Jayakatwang----penguasa Kediri yang mengkudeta Kertaêgara sehingga dianggap sebagai raja Singhasari---- justru digempur habis-habisan oleh para punggawa menantu mendiang Kertanêgara , Lembu Sora, Arya Wiraraja, Ronggolawé dan pasukannya. Kocar-kacir prajurit Tar-Tar di bengawan Brantas. Dikisahkan, air Brantas berubah warna menjadi merah karena banjir darah orang-orang Mongolia.

Di sungai Brantas inilah, dulu terjadi pertarungan satu lawan satu antara Arya Ronggolawé dan Kêbo Anabrang, ketika Adipati I Tuban itu memberontak kepada Bathara Ring Wilwatikta Kapisan----raja Majapahit pertama----, Sanggramawijaya (Raden Wijaya).

Di Brantas pula (desa Jatiduwur, kecamatan Kesamben, kabupaten Jombang sekarang), dulu Bêkêl Gajah Mada melarikan Bathara Ring Wilwatikta Karo----raja Majapahit kedua----, Jayanêgara (Raden Kalagêmêt) ketika terjadi pemberontakan besar-besaran oleh seorang Dharmaputra bernama Rakuti. Mereka dikawal sepuluh prajurit Bhayangkara (pasukan elit Majapahit yang dibentuk dan dilatih Gajah Mada).

Dari Jatiduwur, Gajah Mada membawa Jayanègara menyeberangi Bengawan Brantas menuju Kudu. Lalu terus ke utara hingga sampai di kabuyutan ----pemukiman kuno---- Badander (desa Bedander, kecamatan Kabuh, kabupaten Jombang sekarang). Di sana, rombongan tinggal di rumah seorang Samgat/Sam Pamegat ----Lurah kuno----, Ki Ageng Badander.

Malam ketiga setelah Jayanêgara tinggal di Badander, seorang prajurit Bhayangkara ngotot meminta ijin ingin pulang ke kotaraja Majapahit sebentar. Gajah Mada melarangnya. Dia curiga sang prajurit adalah teliksandi yang berkhianat kepada Jayanêgara pula, dan berniat akan membocorkan keberadaan mereka kepada Rakuti. Karena ngotot meninggalkan rombongan, Gajah Mada menghabisinya!

Malam ketujuh sejak meninggalkan kotaraja Antawulan, Gajah Mada pamit kepada Jayanêgara untuk membuat perhitungan dengan Rakuti. Bathara Ring Wilwatikta Karo sementara tetap tinggal di Badander, dijaga sembilan prajurit Bhayangkara.

Terjadilah tanding satu lawan satu antara Dharmaputra yang telah menguasai istana Wilwatikta dengan Gajah Mada.

Tombak Patmayoni milik sang pemberontak tidak mampu menandingi keris Luk Pitu milik bèkêl muda yang kelak menaklukkan Nusantara.

Rakuti meregang nyawa di tangan Gajah Mada!

Heru Sang Mahadewa
Member of #OneDayOnePost

4 komentar:

  1. Beberapa kali ke Pemandian Air Panas Cangar melewati sumber mata air Brantas, tapi belum tertarik untuk singgah nengok. Lain kali, saya mau singgah, ah. Mungkin masih ada jejak-jejak sejarah di sana....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya malah belum pernah ke Cangar, Gus Ibnu.
      Kapan-kapan harus kesana ah ...

      Hapus
  2. Aku malah lom ngerti kali brantas her.. Ngertine kali cewok.. Hahahah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kali Cewok ... sungai penuh kenangan jaman kita SMP biyen Lis :)

      Hapus

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *