Kamis, 02 Februari 2017

MENILIK JEJAK MOKSA RAJA TERBESAR PANJALU




Keluar dari Sendang Tirta Kamandanu, sang Bagaskara mulai condong ke sisi barat cakrawala Panjalu. Cahayanya tak lagi terasa menyengat kulit. Perjalanan pun saya lanjutkan melalui jalur yang sama saat berangkat ke petirtaan kuno tadi.

Masih berada di desa Menang, kecamatan Pagu, kabupaten Kediri, Jawa Timur, tempat yang selanjutnya saya tuju untuk berburu data jejak kerajaan Panjalu (Kadhri/Kadhiri/Kediri sekarang) adalah Petilasan Prabu Sri Aji Jayabhaya.

Tempat ini, konon membawa banyak berkah bagi siapa saja yang bisa mendekatkan diri dengan Sang Pencipta. Memohon apapun, tentunya yang positiv kepada Gusti Ingkang Murbeng Dumadi. Allah SWT.

Petilasan Prabu Sri Aji Jayabhya hanya berjarak sekitar setengah kilometer dari Sendang Tirta Kamandanu. Letaknya berada di tengah-tengah permukiman penduduk. Dari jalan raya Bogo – Pagu, tepatnya balai kelurahan Menang masuk sekitar lima ratus meter.

*****

Sebuan gapura indah bertuliskan "Mustika Pamenang, Petilasan Sang Prabu Sri Adji Djojobojo" menjadi penyambut kedatangan saya.

Begitu memasuki area petilasan, aura mistis sangat kental terasa. Terdapat sebuah bangunan pendopo megah. Pada salah satu teras diberi hiasan Kala. Makhluk ini dikenal juga dengan nama Banaspati. Sosok yang dipercaya masyarakat Jawa kuno sebagai penjaga bangunan agung. 

Kondisi pendopo sangat terawat, bersih dan sejuk. Lagi-lagi saya memberi apresiasi tinggi kepada Pemerintah dan masyarakat Kediri atas kepedulian mereka menjaga situs sejarah. 

Tampak beberapa pengunjung sedang ber-tapa brata----meditasi----di sana.

Dari data prasasti yang saya temukan di pendopo, Petilasan Prabu Sri Aji Jayabhaya mulai dipugar oleh Yayasan Hondodento Jogjakarta tahun 1970. Kini, pamuksan yang telah dibuka untuk umum itu ramai didatangi pengunjung pada hari-hari tertentu. Terutama di bulan Suro (Muharram).

Aroma kemenyan setanggi menusuk-nusuk indera penciuman. Menyebar hampir ke seluruh sudut pendopo. Asapnya mengepul dan meliuk-liuk di dalam ruangan. Sebagian pengunjung yang sedang bermeditasi justru tampak sangat fokus menikmati kepulan dupa.

Saya hanya singgah beberapa menit saja di pendopo. Selanjutnya berjalan menuju petak lain dari komplek petilasan  Bhatara Ring Panjalu Kapat-----Raja Panjalu ke Empat. Dibatasi dengan pagar setinggi setengah meter, area pamuksan berada tepat di sebelah utara pendopo.

Ada tiga tempat utama di area Pamuksan atau Petilasan Prabu Sri Aji Jayabhaya. Masing-masing digunakan beliau untuk menjalani tiga tahapan Moksa.

Loka Makutha
Tempat yang dipercaya sebagai posisi Prabu Sri Aji Jayabhaya melepaskan mahkota kebesarannya sebagai raja Panjalu.


Bangunan buatan berbentuk seperti mahkota raja berdiri indah di sana. Dikelilingi pagar besi setinggi satu meter.

Setelah melepaskan mahkotanya, konon Prabu Sri Aji Jayabhaya berjalan ke sebuah titik yang tak jauh dari Loka Makhuta. Sekitar lima meter.

Loka Busana
Tempat Bhatara Ring Panjalu Kapat, Prabu Sri Aji Jayabhaya melepaskan seluruh pakaian, hingga tak tersisa sehelai kain pun.


Tahapan ini sebagai simbol bahwa sang raja telah menanggalkan segala hal yang berhubungan dengan kemewahan duniawi. Mahkota dan busana yang semula dianggap sebagai simbol kebesarannya sebagai raja Panjalu, kini telah lepas. Sebagai manusia, beliau kembali ke titik awal, tanpa busana seperti seorang bayi.

Selanjutnya, beliau menuju tempat yang berjarak sekitar tiga meter tepat di samping sebelah barat dari Loka Busana.

Loka Moksa.
Sebuah tempat yang dipercaya sebagai lokasi Prabu Sri Aji Jayabhaya menghilang. Kembali ke alam keabadian, baik raga maupun sukma. Jasadnya lenyap tanpa bekas sedikitpun.

Pada tahapan ini, raja terbesar Panjalu telah meninggalkan bukan hanya segala hal yang berhubungan dengan pesona duniawi, tetapi juga meninggalkan Arcapada. Dunia yang fana.


Tiga lubang pintu menjadi jalan masuk ke Loka Moksa, terdapat sebuah batu andesit berbentuk bulat dengan lubang di tengah hingga tembus. Sekilas mirip manik mata. Batu itu posisinya menyatu dengan lingga dan yoni (simbol organ vital lelaki dan perempuan) sebagai lambang kesuburan, kemakmuran rakyat Panjalu.

Batu manik mata dengan lubang tembus adalah simbol waskita---kepandaian, kesaktian----Prabu Sri Aji Jayabhaya yang mampu melihat atau menembus dimensi jaman hingga jauh ke masa depan.

*****

Tiga tahapan Moksa dan tiga pintu Loka Moksa Prabu Sri Aji Jayabhaya dianggap sebagai simbol perjalanan manusia. Lahir, dewasa dan mati.

Moksanya Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa (gelar abhiseka Prabu Sri Aji Jayabhaya), setelah berhasil menyatukan Panjalu dan Jenggala yang pecah akibat perang saudara, meninggalkan sebuah pesan adiluhung lewat karya sastra. Tentang ajaran hidup yang patut kita petik hikmah positivnya. 

Pesan beliau ini yang kemudian dikenal sebagai Jangka Jayabhaya. Berisi ramalan keadaan tanah Jawa mulai jaman Aji Saka hingga kiamat.

Salah satu isi dari Jangka Jayabhaya sang sangat tersohor adalah kata kunci tentang unsur aksara (suku kata) dari nama-nama pemimpin Nusantara. Siapa-siapa kelak orang yang akan memangku jabatan nata atau kini Presiden.

Menurut Prabu Sri Aji Jayabhaya, pemangku Nusantara adalah orang yang namanya mengandung unsur suku kata Natanagara---dibaca notonagoro (bahasa Jawa, artinya mengatur negara).

Sekedar mengutak-atik, nama presiden kita dari masa ke masa adalah sebagai berikut:
  • Sukarno, Presiden pertama RI, mengandung unsur suku kata Na.
  • Suharto, Presiden kedua RI, mengandung unsur suku kata Ta.
  • Baharuddin Jufuf Habibie, Presiden ketiga RI, mengandung unsur suku kata Na (dalam aksara Jawa, akhiran bunyi N memakai aksara Na).
  • Abdurrahman Wahid, biasa dipanggil Gus Dur, Presiden keempat RI, mengandung unsur suku kata Na, Ga dan Ra.
  • Megawati Sukarnoputri, Presiden kelima RI, mengandung unsur suku kata Ga, Ra dan Na.
  • Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden keenam RI, mengandung unsur suku kata Na.

Nah, nama Presiden kita sekarang, Joko Widodo tidak mengandung unsur suku kata seperti yang di ramalkan Prabu Sri Aji Jayabhaya. Saat itulah, konon ramalan beliau menyebutkan bahwa tanah Jawa telah berada di jaman edan. Jaman Kalabendu. Sebuah masa dimana keadaan negeri ini carut marut.

Percaya atau tidak?

Wallahu alam bishawab

Betapa fakirnya ilmu dan pengetahuan kita.

Jangka Jayabhaya merupakan sebuah karya sastra besar di jamannya. Saya lebih menghormati ramalan itu sebagai kehebatan sang raja yang juga pujangga agung dari sisi kepandaian beliau dalam berkreasi di dunia literasi. Tentu dengan model dan bentuk di masa Panjalu dulu.

Salah satu kutipan Jangka Jayabhaya :

Besuk yen wis ana kreta tanpa jaran --- Kelak jika sudah ada kereta tanpa kuda (mobil).
Tanah Jawa kalungan wesi --- Pulau Jawa berkalung besi (rel kereta api).
Prahu mlaku ing dhuwur awang-awang --- Perahu berjalan di angkasa (pesawat).
........
Manungsa padha seneng nyalah--- Orang-orang saling lempar kesalahan.
Ora ngendahake hukum Hyang Widhi--- Tak peduli akan hukum Tuhan.
.........
Iku tandha yen tekane jaman Jayabaya wis cedhak --- Itulah pertanda jaman Jayabaya telah mendekat.

 *****

Setelah menjelajahi sudut demi sudut Petilasan, saya berjumpa dengan juru kunci dan penjual dupa yang menawarkan tikar dan kemenyan.

"Monggo masé, mbok mènawi badhé gadah gêgayuhan---silahkan mas, barangkali mempunyai sebuah impian," sapa mereka dengan ramah. Saya mengerti maksud kalimat si penjual dupa.

Tentu saja saya menolaknya dengan halus. Tujuan ke situs itu memang bagian dari mewujudkan mimpi saya, yaitu menelurkan sebuah karya buku. Tetapi dengan cara menggali data dan informasi sebanyak-banyaknya. Bukan melalui jalan seperti yang dimaksud beliau-beliau.

"Matur suwun, ngaturakên agunging pangaksami, sanès wèkdal mawon masè----terima kasih, mohon maaf sebesar-besarnya, mungkin lain waktu saja mas (membeli kemenyan dagangan)," jawab saya sambil mengatupkan kedua telapak tangan di depan dada.

"Sami-sami, mbotên punapa masè, sarwa hayu----sama-sama, tak apa-apalah mas, semoga kita semua senantiasa diberi keselamatan," balasnya.

"Aaamiin!" pungkas saya sembari pamit meninggalkan komplek petilasan.

Nah, jika sahabat sekalian berkunjung ke kota tahu Kediri, tidak ada salahnya singgah ke Petilasan Prabu Sri Aji Jayabhaya, raja terbesar Panjalu yang memerintah dari tahun 1135 - 1157 Masehi. Kita tidak dipungut biaya alias gratis. Hanya membayar uang untuk perawatan seikhlasnya.

Hayu, hayu, rahayu wilujeng.


Heru Sang Mahadewa
Member of #OneDayOnePost

8 komentar:

  1. Keren lengkap banget kang, riset dulukah

    BalasHapus
  2. Entah riset atau apa namanya,
    Saya memang blusukan ke situs2 itu untuk bahan menulis mas.

    BalasHapus
  3. Waah, jadi pengen ke situ...
    jadi agak tahu ceritanya Jayabhaya, keren mas

    BalasHapus
    Balasan
    1. Buruan ke sana mbk Inet ...
      Belajar mengenal lebih dalam kearifan budaya lokal.

      Hapus
  4. aamiin

    hayu hayu ikut mas. sll keren tulisannyaa

    BalasHapus

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *