Selasa, 14 Februari 2017

FIKTIFKAH PERANG BUBAT?


image google


Salah satu pahlawan nasional yang memiliki nama besar dari masa ke masa adalah Rakryan Mahamentri Gajah Mada. Lebih dikenal masyarakat dengan sebutan Patih Gajah Mada.

Putra Jawa kelahiran desa Modo yang memiliki nama kecil Jaka Mada itu menjadi the rising star, ketika berhasil menyelamatkan Jayanegara, raja kedua Majapahit dari percobaan pembunuhan oleh seorang pemberontak bernama Ra Kuti. Puncak kariernya adalah ketika dengan Sumpah Amukti Palapa, Gajah Mada berhasil menyatukan wilayah Nusantara ke dalam kekuasaan Wilwatikta (bahasa Sanskerta, Vilva yang berarti buah Maja, dan Tikta yang artinya Pahit).

Tetapi, konon tidak ada satu pun jalan di tanah Sunda, khususnya kota Bandung yang menggunakan nama Gajah Mada.

Kenapa?

Perang Bubat adalah penyebabnya.

Iya, sebuah tragedi berdarah yang bukan hanya memupuskan harapan penguasa Majapahit ketika itu, Hayam Wuruk, untuk meminang seorang putri Sunda, tetapi juga menjadi cikal bakal mitos larangan menikahi orang Jawa bagi rakyat Sunda.

Apakah sebenarnya perang Bubat itu?

Hayam Wuruk (Sri Rajasanegara Hyang Wêkasing Shuka) yang masih lajang naik tahta menggantikan ibunya Ratu Tribhuwana Tunggadewi pada Saka Warsa 1272, sekitar tahun 1350 M (selisih penanggalan Saka dengan Masehi adalah 78 tahun).

Pada saat usianya telah matang, tersiar berita tentang kecantikan Dyah Pitaloka Citraresmi, putri dari Prabu Lingga Buana, raja Galuh. Disebarlah teliksandhi Majapahit untuk mencari informasi sebanyak-banyaknya perihal kejelitaan mojang parahyangan yang konon memiliki wahyu prajna paramitha (anugerah tertinggi seorang wanita, berupa kecantikan tiada tara, dulu pernah dimiliki Ken Dedes).

Akhirnya sebuah lukisan Dyah Pitaloka Citreresmi hasil guratan tinta seorang pelukis bernama Sungging Prabangkara sampai juga ke tangan Prabu Hayam Wuruk di kotaraja Antawulan (Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur sekarang). Kepada para tandha (pejabat, punggawa, sesepuh) Majapahit, raja muda itu mengutarakan niatnya untuk mempersunting sang putri Sunda.

Rakryan Mahamentri (Perdana Menteri) Gajah Mada menentang keinginan Prabu Hayam Wuruk. Galuh adalah target selanjutnya bagi Majapahit untuk menyempurnakan wilayah Nusantara. Hanya tanah pasundan yang belum tersentuh invasi Wilwatikta.

Sementara Prabu Hayam Wuruk bersikukuh untuk menikahi Dyah Pitaloka Citraresmi. Dikirimlah beberapa Rakryan Demung dan Rakryan Tumenggung untuk melamar ke Galuh.

Bak gayung bersambut, pinangan raja besar tanah Jawa itu diterima dengan suka cita oleh Prabu Lingga Buana dan Dyah Pitaloka Citraresmi. Sesuai permintaan Prabu Hayam Wuruk, pesta pernikahan besar-besaran akan dilangsungkan di Antawulan, Majapahit.

Rencana ini ditentang oleh Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati. Menurut tokoh dewan kerajaan Galuh itu, tidak lazim seorang mempelai wanita harus mendatangi calon pengantin lelaki. Ini pertanda buruk bagi tanah pasundan.

Seolah-olah silau dengan nama besar Prabu Hayam Wuruk dan Majapahit, Prabu Lingga Buana bersikukuh mengantar Dyah Pitaloka Citraresmi ke Antawulan. Bersama permaisuri, seluruh kerabat dan pembesar Galuh, rombongan calon mempelai wanita berangkat pada Saka Warsa 1273 atau sekitar 1351 Masehi.

Sementara di kotaraja Majapahit, Rakryan Mahamentri Gajah Mada juga bersikukuh menentang niat Prabu Hayam Wuruk untuk mempersunting Dyah Pitaloka Citraresmi.

Gajah Mada menyarankan, demi tetap terlaksananya pernikahan Prabu Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka Citraresmi, maka biarlah putri Prabu Lingga Buana itu diserahkan kepada raja Majapahit sebagai sesembahan. Tanda bahwa tanah pasundan tunduk dan patuh di bawah kekuasaan Majapahit, tanpa ada pertumpahan darah.

Sampailah rombongan Galuh di sebuah tempat bernama Bubat. Mereka disambut secara hormat oleh cethi----pelayan wanita----dan prajurit-prajurit suruhan Prabu Hayam Wuruk. Di sana didirikan pesanggrahan untuk melayani segala keperluan Dyah Pitaloka Citraresmi, Prabu Linggabuana, permaisuri serta seluruh rombongan calon mempelai wanita.

Nahas bagi orang-orang Sunda, malam hari setelah menginjakkan kaki di bumi Majapahit, Rakryan Mahapatih Gajah Mada beserta Bhayangkara (pasukan elit Wilwatikta, semacam Kopassus sekarang) bergerak diam-diam, lalu menemui mereka di pesanggrahan. Kepada Prabu Lingga Buana, Gajah Mada mengutarakan maksud kedatangannya. Pernikahan Dyah Pitaloka Citraresmi adalah sesembahan Galuh kepada Bathara Ring Majapahit----raja di Majapahit----Prabu Hayam Wuruk. Agar penyatuan sunda ke wilayah Nusantara tanpa melalui pertumpahan darah.

Sontak keinginan Gajah Mada membuat harga diri Prabu Lingga Buana terinjak-injak. Pantang bagi orang-orang Sunda untuk tunduk sedikitpun kepada Majapahit, tantangnya. Terjadi keributan. Seluruh punggawa Galuh dan Bhayangkara sama-sama tidak bisa menahan diri.

Bubat berdarah!

Prabu Lingga Buana, ratu permaisuri dan seluruh punggawa Galuh tewas dalam tragedi itu. Tersisa Dyah Pitaloka Citraresmi. Tak ada prajurit Bhayangkara, termasuk Gajah Mada yang berani melukai sedikitpun calon istri raja Majapahit itu.

Tetapi di luar dugaan Gajah Mada, Dyah Pitaloka Citraresmi menghunus Keris Singa Barong----keris berlekuk tiga belas, pusaka tanah Pasundan, peninggalan Prabu Jayasinga Warman, raja Tarumanegara----lalu menusukkan ke jantungnya sendiri. Putri Sunda itu memilih jalan bela pati (bunuh diri). Tradisi menjaga kehormatan keluarga keraton hampir di seluruh Nusantara.

Pernikahan Prabu Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka yang tinggal di depan mata batal!

Prabu Hayam Wuruk murka. Dia menganggap tragedi Bubat ini adalah buah dari blunder Gajah Mada yang ambisius. Sumpah Amukti Palapa-nya terlalu berlebihan. Hingga mengesampingkan perasaan junjungannya sendiri.

Seorang tamu negara dari Balidwipa yang awalnya berniat menghadiri undangan pernikahan, dikirim ke Sunda untuk menyampaikan pralaya dan permohonan maaf kepada Hyang Bunisora Suradipati yang memutuskan tidak ikut ke Majapahit.

Satu-satunya putra Prabu Lingga Buana yang tersisa adalah Niskala Wastu Kencana. Adik Dyah Pitaloka Citraresmi itu tidak diajak ke Majapahit karena masih terlalu kecil. Ketika naik tahta, dia mengeluarkan seruan 'melarang orang Sunda menikah dengan orang Jawa'. Larangan ini yang akhirnya menjadi mitos selama berabad-abad.

Sejak saat itu, rengganglah hubungan Hayam Wuruk dan Gajah Mada.

Sang Rakryan Mahamentri semakin dibatasi ruang lingkup dan wewenangnya. Puncaknya adalah ketika dia ditempatkan di Madakaripura (sekitar Tongas, Probolinggo, Jawa Timur sekarang), sebuah tanah perdikan yang jauh dari kotaraja. Gajah Mada menganggap itu sebagai hukuman. Dia pun mengundurkan diri dari pemerintahan Majapahit.

Sejak saat itu, Gajah Mada menghilang bak ditelan bumi. Tak ada kabar tentang Mahapatih yang berhasil menyatukan wilayah Nusantara mulai dari Champa di utara, Kepulauan Fiji di timur, hingga Madagaskar di belahan barat.

Nama besarnya lenyap seiring meredupnya pamor Majapahit, sejak tragedi pembantaian di pesanggrahan Bubat.

Kontroversi Sejarah.
Semua catatan diatas saya rujuk dari Kidung Sunda dan Sêrat Pararaton. Tulisan kuno yang memuat kisah perang Bubat. Tidak ada satu pun prasasti (batu tulis) yang mencantumkan tragedi ini.

Kidung Sunda diangkat (diterjemahkan) oleh seorang Belanda C.C. Berg pada tahun 1927. Masa di mana Indonesia sedang dikuasai bangsa Penjajah.

Sebagian orang mengatakan bahwa Perang Bubat dalam Kidung Sunda adalah pesanan Belanda untuk memuluskan politik devide at impera. Politik adu domba. Tujuannya adalah menciptakan konflik horisontal antara suku Sunda dan Jawa.

Satu lagi yang membuat Kidung Sunda diragukan validitas-nya adalah penyebutan Jaka Sasuruh, seorang putra Sunda, anak dari Rakryan Jayadarma dan Dyah Lembu Tal sebagai pendiri Majapahit.

Catatan di atas sangat berbeda dengan beberapa kitab lain (Sêrat Pararaton dan Kakawin Negarakertagama) yang menyebutkan Dyah Lembu Tal adalah seorang wanita, putri dari Singasari yang menikah dengan Mahisa Campaka, lalu memiliki putra bernama Sanggramawijaya yang kelak mendirikan Majapahit.

Sementara, Sêrat Pararaton, kitab tentang kisah raja-raja Jawa mulai era Singasari hingga Majapahit, juga diragukan kebenarannya. Pustaka ini ditulis jauh pada masa setelah terjadi Perang Bubat. Bait terakhir yang mencantumkan Saka Warsa 1522 atau 1600 Masehi dijadikan rujukan waktu pembuatannya. Namun, tidak dicantumkannya nama penulis, meragukan validitas isi kitab ini.

Selanjutnya, data pembanding yang saya gunakan adalah Kakawin Negarakertagama, karya Mpu Prapanca. Kitab ini tidak mencantumkan satu pun tragedi Perang Bubat dalam seluruh Pupuh-nya.

Kakawin Negarakertagama cukup valid dibanding kedua rujukan sebelumnya. Selain mencantumkan tahun pembuatan, Saka Warsa 1287 atau 1365 Masehi, nama penulisnya, Mpu Prapanca juga terpampang. Kumpulan syair-syair ini dibuat pada waktu terjadinya Perang Bubat, sehingga keakuratan isinya lebih mendekati kebanaran fakta sejarah (analisa saya).

Namun, baik Kidung Sunda, Serat Pararaton, maupun Kakawin Negarakertagama adalah sama-sama karya sastra. Ditulis oleh para pujangga. Bukan sebuah prasasti yang bisa dijadikan sebagai kronik sejarah. Ketiganya lebih tepat dikatakan tafsir sejarah, atau bahkan opini dari penulis di masa itu.

Bubat sendiri, nama tempat yang disebut-sebut dalam Kidung Sunda dan Serat Pararaton masih misteri keberadaannya sampai sekarang. Saya sudah berkali-kali ke Trowulan dan sekitarnya, namun tidak ada petunjuk yang mengarah di mana Bubat berada.

Tempat itu benar-benar masih misterius, seperti kontroversi kebenaran kisahnya.


Heru Sang Mahadewa
Member of #OneDayOnePost.

8 komentar:

  1. Saya sangat suka cerita perang Bubat, Menjadi satu2 kerajaan yang tidak terkena invasi majapahit. hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dan mitos itu sepertinya akan semakin hilang ketika Aa mempersunting Cili ...
      Eh ...
      keceplosan

      Hapus
  2. Aku nek moco perang bubat ki juga gemes karo gajah mada..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tokoh besar, kuat, tegas, berani, namun seorang destroyer!!!

      Keberaniannya mengarungi samudera untuk mendapatkan wilayah kekuasaan Majapahit yang lebih luas, tidak kalah hebat dengan tokoh-tokoh penjelajahan samudera dari bangsa Eropa semacam Colombus, Marcopolo, De Houtman, dll.

      Hapus
  3. Mas heru kereeen udah 2 aja yang di posting misterinya kekekekek

    BalasHapus

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *