Senin, 06 Februari 2017

POIN PENTING YANG HARUS DIPERHATIKAN SEBELUM MEMUTUSKAN BERHENTI BEKERJA


Hari minggu kemarin, ada tiga orang yang bertamu ke kontrakan saya dengan latar belakang berbeda namun mempunyai tujuan yang sama.

Pertama adalah kawan lama yang sudah sekian tahun resign dari perusahaan tempat saya bekerja sekarang.

Kepada saya, dia menceritakan bahwa saat ini terjadi pengurangan karyawan di tempatnya bekerja seiring kenaikan Upah Minimum Kabupaten (UMK) tahun 2017. Dari sekian banyak tenaga kerja yang terkena dampak Pemutusan Hubungan Kerja, kawan saya itu termasuk salah satu diantaranya.

“Mas, sudah sebulan saya menganggur. Jika ada lowongan bagian apa saja, tolong kasih kabar ke saya,” pintanya, seraya melanjutkan ceritanya, lalu berkeluh kesah bagaimana kariernya pasca resign dahulu.

Tentu saja maksud kawan lama saya itu bukan sekedar ingin diberi kabar, tetapi sekalian meminta bantuan agar dia bisa diterima bekerja lagi. Tentu melalui perusahaan penyalur tenaga alih daya (Outsourching). Minta referensi saya, singkatnya.

Tempat bekerja saya memang sebuah perusahaan yang senantiasa welcome bagi siapa pun yang ingin berkarya, meski seorang mantan karyawannya sekalipun. Asal melalui tahapan seleksi yang prosedural.

“Insya Allah, akan saya bantu semaksimal mungkin. Tapi saya tidak berani menjamin. Berdoa saja, semoga masih ada jalan terbaik bagi kita semua,” jawab saya.

Setelah saling bertukar cerita perihal kondisi masing-masing pasca kami tidak bersama dalam satu perusahaan lagi, akhirnya kawan saya berpamitan pulang.

Tak berselang lama, datang lagi dua orang tamu. Sepupu istri saya bersama seorang temannya. Sama seperti tamu pertama, juga ingin berkeluh kesah.

Monggo pinarak----silahkan masuk. Tunggu sebentar, Mas Heru masih di belakang, tadi habis bongkar-bongkar wayang koleksinya,” sambut istri saya ketika membuka pintu.

Saya sendiri sedang di ruang belakng, membersihkan tiga wayang kulit yang sudah beberapa bulan ini tidak pernah saya angin-anginkan. Mendengar ada tamu yang datang, buru-buru saya letakkan kembali Dasamuka, Bagong dan Gareng (beberapa jenis wayang koleksi saya), lalu bergegas menemui mereka.

“Wuih, janur gunung kadingaren----tumben. Ada apa gerangan, para tamu agung berkenan singgah di kontrakan sepetak ini?” Saya menyalami kedua tamu itu, lalu mempersilahkan mereka duduk di lantai. Kondisi kontrakan kami memang tidak memungkinkan untuk ditempati meja kursi. Terlalu sempit, jika tidak mau disebut “kurang layak”.

“Begini mas, sudah dua minggu saya menganggur. Terlalu berat dan menyiksa aktivitas di pabrik saya. Gajinya jauh dari kata pantas untuk harga tenaga yang diperas habis-habisan. Saya pun memutuskan keluar!” tutur sepupu istri saya.

“Teman saya ini seorang security. Dulu satu perusahaan juga dengan saya.  Sayangnya perusahaannya sekarang tidak bertanggung jawab. Tiga bulan sudah gajinya tak kunjung naik,” lanjutnya.

“Oh, begitu. Memang dinamika menjadi seorang buruh pabrik ya seperti itu,” sahut saya.

Denger-denger, perusahaan sampeyan lagi membuka beberapa unit produksi baru ya mas? Mbok saya ditulungi mas, dibantu bisa bekerja disana. Sekalian teman saya ini.” Sepupu istri saya tampak memelas wajahnya. Dari nada suara yang berlogat khas Jawa Timuran, saya bisa menangkap isyarat bahwa saat ini dia benar-benar membutuhkan pekerjaan.

Sama seperti saat menjawab permintaan tamu pertama tadi, saya berkata, “Insya Allah, akan saya bantu semaksimal mungkin. Tapi saya tidak berani menjamin. Berdoa saja, semoga masih ada jalan terbaik bagi kita semua.”

“Aamiin,” jawab kedua tamu saya serempak.

Setelah meneguk minuman Sprite yang dibeli istri saya dari warung Cak Laji di samping kontrakan, dua orang yang sengaja bertamu setelah menemui kegagalan di tempat bekerja masing-masing itu berpamitan pulang.

Entah, angin apa yang membawa tiga orang dengan tujuan sama hari ini bertamu ke kontrakan saya. Mungkin mereka mendengar penuturan dari beberapa teman yang pernah saya bantu.

Dulu, memang pernah ada beberapa teman, saudara, saudara dari teman, atau bahkan bukan siapa-siapa saya yang pernah diterima bekerja di perusahaan saya sekarang atas bantuan referensi saya. Untuk hal ini, sepeser pun saya tidak pernah mau menerima imbalan dalam bentuk apapun.

Meski termasuk karyawan dengan klasifikasi gaji menengah ke bawah, bahkan di jajaran level saya,  mungkin saya adalah pekerja yang grade gajinya terendah, tapi Insya Allah saya tidak akan memanfaatkan saudara sendiri yang sedang kesusahan.

Bisa melihat wajah mereka berseri-seri, gembira dan senang karena diterima bekerja, sudah luar biasa bahagia bagi saya.

Doakan saya tetap sehat, sehingga dapat terus berkarya dan bekerja untuk menafkahi orang-orang tercinta. Istri, anak, juga orang tua dan mertua saya tentunya. Agar bisa membantu saudara dan teman yang membutuhkan saya.

Sahabat sekalian, ada dua pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah para tamu yang bertandang ke kontrakan saya di atas.

Pertama, jangan resign jika hanya ingin pindah kerja dengan profesi selevel.
Memutuskan bekerja sebagai seorang buruh pabrik, tentu bukanlah impian kita. Tidak ada satupun anak-anak sekolah, ketika ditanya guru perihal cita-citanya, menjawab ingin menjadi pekerja pabrik. Semua tentu bercita-cita menjadi Dokter, Guru, Polisi, Pengusaha, dan sebagainya.

Namun, ketika kita telah dewasa dan dibenturkan dengan realita kehidupaan, berlatar belakang tingkat pendidikan minim seperti saya, karena berbagai faktor tidak bisa melanjutkan kuliah, menjadi buruh pabrik adalah pilihan terbaik. Tentu dengan klasifikasi pekerjaan yang sepadan dengan ijasah kita. Dengan kata lain, siap dipekerjakan di bagian kasar.

Iya, begitulah kerasnya hidup.

Perusahaan apapun dan di manapun, akan tetap memberlakukan kita dengan pekerjaan yang seharga dengan latar belakang pendidikan. Jadi, jangan bermimpi jika pindah ke perusahaan lain, kita akan mendapatkan porsi tugas yang lebih indah-indah.

Berpikirlah panjang, sebelum memutuskan resign dengan alasan pindah perusahaan, namun pendidikan, kemampuan dan skill kita tidak di up-grade.

Kedua, jangan resign karena coba-coba.
Banyak cerita yang indah-indah dari teman lama yang bekerja di lain perusahaan, terkadang mampu menghinoptis kita untuk coba-coba mengikuti jejaknya. Bekerja di tempat dia mengais rejeki.

Sayangnya, tak jarang yang akhirnya menyesal karena setelah pindah bekerja, apa yang mereka peroleh, baik porsi pekerjaan maupun kenyamanan beraktivitas tidak sesuai bayangan. Ujung-ujungnya, keluar lagi dari perusahaan itu.

Sahabat sekalian, bekerja di sebuah perusahaan swasta, atau bekerja ikut orang lain, ibarat berdiri di depan lintasan sebuah parit yang lebar dan dalam. Di seberang parit, terbentang ladang luas yang subur dan penuh harapan.

Jika kita tidak melakukan lompatan, maka kita akan tetap berdiri terpaku. Terhalang parit.

Tetapi ingat, untuk menuju hamparan indah di seberang parit itu, kita butuh lompatan yang besar. Bukan sekedar langkah kecil. Untuk bisa melompat besar atau lebar, kita butuh ancang-ancang (awalan, persiapan melompat) yang panjang dan kuat.

Itulah gambaran kehidupan pekerja. Butuh persiapan matang sebelum kita memutuskan resign. Rintislah usaha dan bisnis yang bisa menjadi penopang saat kita sudah tidak bekerja lagi di perusahaan sekarang ini. 


Jangan memaksakan diri menceburkan tubuh kita ke dalam parit, jika memang belum memiliki kekuatan untuk melompatinya.


Semoga bermanfaat.


(Heru Sang Mahadewa)
Member of #OnedayOnePost

4 komentar:

  1. Setuju sekali Kang..pt lain belum tentu lebih baik kerjaannya...meski pun sama posisinya...dan mgkn kelihatannya wow...

    Suka artikel ini

    BalasHapus
  2. Aku dulu minta resign her.. Alasane pengen menerapkan ilmu, meski gajine 1/4 dr gaji pas di pabrik.. Hehehe

    BalasHapus
  3. awakmu kan wis duwe kekuatan gawe ancang-ancang & melompat Lis.
    Terbukti saiki tho ...

    BalasHapus

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *