Minggu, 12 Februari 2017

SOSOK (TAK) KASAT MATA DI DEPAN JENDELA


“Bayangan itu … !!!” ratapku dalam hati.

Malam itu adalah malam dimana seluruh ketegaran terasa runtuh bersama nuansa bayangan hitam. Kejadian yang sebelumnya hanya sebuah mitos, akhirnya benar-benar menumbuhkan keyakinanku, bahwa ada dimensi lain di sekitar kehidupan nyata kita.

Mitos bahwa jika Mbah Sablung, penunggu kedung kali Sugihwaras menampakkan diri, maka desa kami akan dilanda pagebluk----wabah penyakit.

Hujan baru saja reda, setelah seharian mengguyur Sugihwaras (nama kampung halamanku). Membuat orang-orang memilih tenggelam di peraduan. 

Malam terasa lebih sunyi dari hari-hari sebelumnya. Tidak ada suara kodok yang biasanya bernyanyi sehabis langit menumpahkan jutaan kubik tirta cakrawala. Hanya ada cericitan Daresh, jenis burung malam yang berkeliaran memangsa serangga di gelapnya angkasa.

Sejak lepas Maghrib, saat gerimis belum benar-benar habis, aku sudah berada di rumah seorang kerabat. Bahar namanya. Kebetulan kami seusia, juga masih ada hubungan keluarga. Hampir setiap hari, aku bermain kesana. Namun, biasanya hanya di siang hari. Tidak pernah sampai larut malam.

Entah apa penyebabnya, aku memutuskan untuk menginap di sana malam itu.

Aku tidur di kamar yang berada di ujung paling depan. Jendelanya menghadap ke pekarangan kosong yang tepat berada di tepi hutan bambu di pojok desa. Karena terlalu asyik ngobrol dengan Bahar, atau mungkin karena mata sudah tidak kuat untuk terjaga, kami lupa menutup jendela.

Samar-samar masih kulihat Bahar keluar dari kamar, menuju ke kamar lain yang terletak di belakang. “Wis ndang turu wae, mripatmu ora iso melek ngunu----sudah tidur aja dulu, matamu sudah tidak bisa terbuka gitu,” ucapnya seraya meninggalkan aku sendirian.

Belum lama terdengar sayup-sayup Bahar menutup pintu kamarnya, dan aku hendak terlelap dalam tidur, tiba-tiba aku ketindhihan. Sekujur tubuh terasa kaku, tidak bisa digerakkan sama sekali. Pikiran masih terjaga, namun badan terasa kelu. Sekuat tenaga, aku berusaha mengumpulkan tenaga untuk memberontak. Butuh waktu lama hingga akhirnya tangan dan kaki benar-benar bisa bergerak. Dada terasa sesak karenanya.

“Mungkin ini kram,” bisikku dalam hati.

Mata sudah semakin mengantuk, akhirnya kembali kurebahkan badan ke dipan----tempat tidur berbahan kayu tanpa kasur. Namun, begitu hendak terlelap, lagi-lagi aku ketindhihan. Kali ini tubuh terasa jauh lebih kaku dari kejadian pertama tadi. Perjuangan terasa sangat menyiksa untuk mendapatkan kembali kekuatan kaki dan tangan. Napas memburu, naik turun tak beraturan. Ingin sekali berteriak kencang, namun lidah benar-benar kelu.

Aku mencoba untuk menenangkan diri.

Malam terasa mencekam, suara cericitan Daresh menambah suasana semakin kelam. Setelah nekad memejamkan lagi, untuk ketiga kalinya aku kembali ketindhihan. Kali ini benar-benar telah habis seluruh kekuatan badan.

Seperti ada tenaga yang menghimpit sekujur tubuh. Aku biarkan saja sesuatu itu sepuasnya menguras nyali dan ketegaran. Dalam kepasrahan itu, terlintas bacaan Surat-surat pendek. Juga Mantra Pendanyangan, ajaran Kejawen. Sebisa-bisanya, semua kuucapkan dalam batin. Meski tidak menolong secara langsung, tetapi pelan-pelan bisa membuat badan bergerak kembali.

Tiba-tiba bulu kuduk ini berdiri!

Meski tidak terlihat jelas, tapi aku merasakan ada sesosok entah lelaki atau wanita sedang berdiri di depan jendela kamar yang terbuka. Sorot matanya seperti menatap tajam ke arahku. Jantung seperti berhenti berdenyut. Paru-paru mengempis sekempis-kempisnya. Seluruh bagian dari tubuh bergetar, bahkan menggigil.

“Apa salahku? Dunia kita berbeda, aku tidak mengganggumu, tolong jangan ganggu aku juga,” pintaku.

Bersamaan dengan kalimat ratapan itu, mendadak aku tersadar bahwa jendela kamar itu tepat menghadap ke belukar bambu yang selama ini dipercaya orang-orang desa sebagai rumah Mbah Sablung. Makhluk astral penghuni pojok kedung----cekungan----sungai Sugihwaras.

Buru-buru aku menutup jendela, lalu bergegas mengetuk kamar tidur Bahar. Tanpa beralasan apa-apa, kukatakan bahwa tidak jadi tidur di rumahnya, lalu memutuskan pulang saat itu juga.

Keesokan harinya, pagebluk lara mata melanda desa kami. Puluhan penduduk terserang wabah sakit mata.

Penyebabnya sepele, saat pergi ke sungai kemarin sore, seorang penduduk bernama Kang Man menemukan sebuah kaca mata yang hanyut, lalu iseng-iseng memakainya. Sampai di rumah, matanya bengkak dan berwarna merah pekat. Dengan cepat, sakit yang di derita Kang Man menular ke warga satu desa.

Orang-orang pun beranggapan bahwa kaca mata yang ditemukan Kang Man adalah milik Mbah Sablung. Mengingat sungai yang dikunjunginya dikenal wingit----angker.


(Heru Sang Mahadewa)
Member of #OneDayOnePost

8 komentar:

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *