Senin, 15 Mei 2017

PANGERAN LORING PASAR



Syiar Islam yang berdarah-darah oleh Panembahan Trenggana, akhirnya berakhir dengan terbunuhnya Sultan ketiga Demak itu di Panarukan, Brang Wétan (Jawa belahan timur), oleh sisa-sisa loyalis Majapahit generasi terakhir.

Mangkatnya Trenggana, kian meruncingkan konflik perebutan tahta kesultanan Islam  pertama di Jawa. Demak dibumihanguskan oleh Arya Jipang/Arya Penangsang, adipati Jipang Panolan karena dendam atas kematian ayahnya, Raden Kikin/Pangeran Surawiyata/Pangeran Sêkar Sédo Ing Lèpèn (bunga yang gugur di tepi sungai).

Ayah dari Arya Penangsang tewas oleh Keris Setan Kober, sebuah senjata berkekuatan niskala buatan Mpu Supo Mandrangi, pembuat keris asal Kambang Putih (Tuban, Jatim sekarang), diduga atas konspirasi Raden Mukmin/Sunan Prawoto dan Pangeran Hadiri/Tjie Bin Tang (istri R.A. Retna Kencana/Ratu Kalinyamat, puteri Trenggana). Motivnya adalah memuluskan Trenggana menggantikan Pati Unus/Pangeran Sabrang Lor, putera sulung Sultan Fattah/Panembahan Jin Bun/Jimbun yang tewas setelah menyerang bangsa rambut jagung (Portugis) di Melaka.

Arya Penangsang, murid kinasih Sunan Kudus juga aktor dari tewasnya Sunan Prawoto dan Pangeran Hadiri. Keduanya dibunuh juga dengan Keris Setan Kober. Dengan senjata itu pula, putera Raden Kikin itu berhasil menguasai Kesultanan Demak, sekaligus memindahkan keraton ke Jipang Panolan (Cepu, Blora, Jateng sekarang).

Kesaktian Arya Penangsang dengan Keris Setan Kober-nya seolah tak tertandingi lagi.

Tapi, ternyata di atas langit masih ada langit!

Sunan Kudus, guru sekaligus perisai Arya Penangsang juga memiliki seorang murid lain, yaitu Jaka Tingkir/Raden Mas Karebet, suami Ratu Mas Cempaka (puteri Trenggana). Dia adalah adipati Pajang yang bergelar Sultan Hadiwijaya, penobatan yang diterimanya saat tahta Demak berada dalam status quo.

Upaya serangan berkali-kali pasukan Jipang Panolan ke Pajang, juga percobaan pembunuhan terhadap Sultan Hadiwijaya, akhirnya membuat saudara seperguruan Arya Penangsang itu habis kesabaran.

Namun, Sultan Hadiwijaya sungkan jika berhadapan langsung dengan murid kinasih gurunya. Dia pun membuat sayembara: Siapa yang sanggup menghadapi kesaktian Arya Penangsang dan menghabisinya, akan dihadiahi tanah perdikan Pati dan Mataram.

Di luar dugaan, putera angkat Sultan Hadiwijaya sendiri, Danang Sutawijaya yang masih berusia sebelas tahun maju sebagai peserta sayembara. Dia tinggal di puri yang terletak di utara pasar Pajang, sehingga disebut juga dengan panggilan Pangeran Loring Pasar.

Danang Sutawijaya, sejatinya adalah anak kandung dari Nyai Sabinah (canggah/keturunan keempat Sunan Giri) dan Ki Ageng Pemanahan, serta keponakan Ki Juru Martani (senopati Pajang). Ki Ageng Pemanahan adalah cicit dari Raden Bondan Kejawan. 

Raden Bondan Kejawan (suami Nawangsih) adalah menantu Ki Ageng Tarub (Jaka Tarub/suami bidadari Nawang Wulan), juga putera Bathara Ring Majapahit Raden Kêrthabumi (Prabu Brawijaya V) dari garwa sinelir asal Pulau Wandan (Banda), Bondit Chamara.

Karena tidak tega melihat putera angkatnya yang masih anak-anak harus bertarung dengan Arya Penangsang, Sultan Hadiwijaya/Jaka Tingkir meminjamkan senjatanya berupa sebuah tombak bernama Kyai Plered.

Pangeran Loring Pasar  beradu tanding dengan Arya Penangsang!

Tak pernah diperhitungkan oleh penguasa Jipang Panolan, sabetan tombak Kyai Plered berhasil merobek perutnya. Seluruh ususnya terburai keluar. Namun, karena kedigdayaannya, Arya Penangsang masih sanggup bertarung. Dia menyelipkan usus-ususnya ke warangka Keris Setan Kober, sebagian dibelitkan sebagai ikat pinggang. Bahkan, dia mampu menghajar bocah ingusan yang menjadi lawannya.

Nahas, ketika berniat menghunus senjata untuk menghabisi Pangeran Loring Pasar, usus-usus Arya Penangsang justru tersayat oleh Keris Setan Kober hingga putus.

Sang Adipati Jipang Panolan tewas di atas kuda legendarisnya, Gagak Rimang.

Pangeran Loring Pasar mendapat hadiah tanah Mataram dan diwalikan kepada ayah kandungnya. Setelah Ki Ageng Pemanahan mangkat, dia baru meneruskan sebagai pemangku wilayah yang terletak di hutan Mentaok itu.

Mataram tumbuh pesat menjadi sebuah kekuatan baru. Konon, prajuritnya bukan hanya dari bangsa manusia, tetapi juga pasukan makhluk halus/jin dari Laut Selatan/Samudera Indonesia. Pangeran Loring Pasar mulai berani menaklukkan kadipaten-kadipaten di sekitarnya.

Mendengar sepak terjang itu, setelah mendapat laporan dari teliksandi, Sultan Hadiwijaya akhirnya memutuskan menyerang Mataram. Pangeran Loring Pasar menolak bertarung dengan ayah angkatnya. Namun pertempuran kedua kubu tetap terjadi. Pasukan Pajang berhasil dipukul mundur.

Dalam perjalanan pulang, Sultan Hadiwijaya mangkat. Peristiwa ini menjadi tonggak berdirinya negeri Mataram. Pangeran Loring Pasar menasbihkan diri sebagai penguasa baru tanah Jawa. Demi menghormati ayah angkatnya, dia menolak pemakaian gelar Sultan.

Pangeran Loring Pasar/Danang Sutawijaya ber-abhiseka sebagai Panembahan Senopati Ing Alaga Sayidin Panatagama Kalifatullah Ing Tanah Jawa.

Sesuai ramalan Sabda Palon, abdi setia Raden Kêrthabumi (Prabu Brawijaya V), kelak keturunannya dari garis Raden Bondan Kejawan yang akan menjadi tonggak bumi Jawa, meneruskan kejayaan Majapahit dengan keyakinan (agama) baru. Menjadi raja-raja hingga jaman berganti-ganti.

Kini, kita mengenal Mataram sebagai Ngayogjakarta Hadiningrat. Daerah Istimewa Jogjakarta.


(Heru Sang Mahadewa)
Member of #OneDayOnePost

4 komentar:

  1. Jenenge apik apik, Ning tokohe akeh. Dadi ngapalne rodho susah...

    Apik apik critane.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha ..
      Butuh kejelian untuk mengenal dan menghapali tokoh tokohe, mbakyu

      Hapus
  2. Mohon maaf Mas mataram itu bukan hanya Jogjakarta tapi juga Surakarta, salam kenal

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih koreksinya, mas. Salam kenal juga.

      Hapus

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *