devianart.com |
Hutan Wanamarta.
“Katakan,
dari mana engkau mendapatkan semua pakaian itu?” Raden Bratasena bertanya kepada
seekor kera yang berpapasan dengannya.
Hari
itu, dia sedang mencari keberadaan adiknya, Raden Permadi, yang sudah beberapa
hari tidak ada kabar berita. Tak seorang pun yang mengetahui kemana perginya
Pandawa ketiga. Segala penjuru hutan Wanamarta telah ditelusurinya, namun
tanda-tanda keberadaan Raden Permadi belum juga tampak. Justru seekor kera berpakaian
aneh yang dijumpai Raden Bratasena.
Kera
itu berbulu putih, kulit wajahnya terlihat mengeriput. Menunjukkan kalau
usianya sudah tua. Ia memakai kain Dodot Polèng Bang Bintulu Aji, Sumping Pudak
Sinumpêt, Pupuk Mas Rinêka Jaroting Asêm, Kelatbahu Cêpok Manggis, Gelang
Candrakirana, dan Pêningsêt Cindébara. Semuanya persis dengan apa yang sedang
dipakai oleh Raden Bratasena.
“Tidak
penting bagimu, dari mana aku mendapatkan baju ini!”
“Lancang
sekali engkau berani menyamai pakaianku, kera! Aku
tanya sekali lagi, dari mana engkau mendapatkannya?”
“Ramandaku
yang memberi semua ini.”
“Lepaskan
semuanya, kera! Engkau tidak pantas mengenakan apa yang kupakai!”
“Jaga
mulutmu, manusia tak tahu sopan santun!”
Kera
putih meloncat turun dari pohon, berdiri menantang di hadapan Raden Bratasena
dengan sorot mata merah. Gigi-gigi taringnya menyeruak keluar, bibir mendesis
dan mengeluarkan suara cericitan layaknya binatang yang sedang terusik. Melihat
reaksi itu, Raden Bratasena semakin terpancing amarahnya.
Pertarungan
keduanya pun tak terelakkan. Pukulan dan tendangan keras Raden Bratasena
menyasar ke dada lawan. Namun, kera putih ternyata memiliki gerakan lincah yang mampu membuatnya berkelit dari
sergapan musuhnya. Beberapa waktu lamanya, mereka terlibat saling terjang.
Pepohonan banyak yang tumbang, semak belukar acak-acakan. Hutan menjadi luluh
lantak karenanya.
Hampir
setengah hari bertarung, akhirnya Raden Bratasena dan kera putih menghentikan
pukulan. Keduanya mundur beberapa langkah. Saling pandang, mencoba
menerka-nerka, siapa gerangan lawan yang mereka hadapi. Jurus demi jurus,
gerakan, pukulan dan tendangan mereka nyaris sama. Tak ada satu pun diantara
mereka yang memenangi adu kedigdayaan itu.
“Ya
Jagat Dewa Nata, apakah engkau adalah
putera dari ramanda Bathara Bayu juga, kera?” Tanya Raden Bratasena.
Dia
baru ingat, ayah angkatnya yang telah meniupkan kehidupan kepada kama Pandudewanata di rahim ibundanya, Dewi Kunti, yaitu Bathara Bayu pernah bercerita bahwa Dewata penguasa angkasa
itu juga memiliki putera yang wujudnya adalah seekor kera berbulu putih. Kapi
Hanoman namanya.
Putera
Bathara Bayu dari Dewi Anjani itu dahulu menjadi pahlawan besar ketika terjadi
perang antara Prabu Sri Rama melawan Prabu Dasamuka. Kapi Hanomanlah yang
berhasil membakar istana Alengka dan mengubur hidup-hidup jasad penguasa
berwatak angkara murka di bawah gunung Ungrungan.
Raden
Bratasena mendapat cerita kepahlawanan itu turun temurun dari eyang, ramanda,
ibunda dan gurunya. Dalam benaknya, Kapi Hanoman tentu sosok kesatria yang
berbadan tinggi besar dan gagah perkasa. Namun, lawan yang dihadapinya adalah
seekor kera yang tua renta.
“Hahaha
... benar apa yang engkau katakan. Aku adalah Kapi Hanoman, putera Bathara
Bayu. Dodot Polèng Bang Bintulu Aji, Sumping Pudak Sinumpêt, Pupuk Mas Rinêka
Jaroting Asêm, Kêlatbahu Cêpok Manggis, Gelang Candrakirana, dan Pêningsêt
Cindébara yang aku kenakan ini adalah pemberian beliau,” jelas Kapi Hanoman.
“Maafkan
aku, Kakang Hanoman,” ucap Raden Bratasena, sembari melakukan sembah dada.
Pandawa kedua itu juga mengungkapkan jati dirinya sebagai putera Dewi Kunti dan
Prabu Pandudewanata. Namun, Bathara Bayulah yang meniupkan roh kehidupan kepada
kama ramandanya.
Sejurus
kemudian, kedua putera angkat Bathara Bayu yang sebelumnya terlibat pertarungan
itu saling berpelukan. Mereka saling meminta maaf. Raden Bratasena mengakui
telah kurang ajar dengan berkata-kata yang tidak sopan kepada saudara tua tunggal
ramanda angkat. Sementara Kapi Hanoman juga mengakui kesalahannya. Sebagai
orang tua, tidak seharusnya amarahnya terpancing oleh kesatria muda seperti
Raden Bratasena.
“Kenapa
engkau memandangiku seperti itu, Bratasena?”
“Brubuh
Alengka sudah terjadi ratusan tahun silam. Bagaimana mungkin Kakang Hanoman
masih hidup?”
“Aku
mendapat anugerah umur yang panjang, Bratasena. Karena Dewata memberiku tugas
untuk menjaga jasad Dasamuka yang telah terkubur hidup-hidup di gunung
Ungrungan. Sayangnya, setelah dua ratus tahun berlalu, aku lengah saat bertapa
brata. Raja danawa berwatak ahangkara itu lolos dan kini menyatu ke raga Prabu
Godayitma, penguasa Tawanggantungan.” Jelas Kapi Hanoman.
“Maaf,
Kakang Hanoman. Dari cerita turun temurun tentang kesatriaanmu, aku mengira
Kakang adalah sosok yang tinggi besar dan gagah perkasa, bukan bertubuh kurus dan kecil seperti
saat ini,” lanjut Raden Bratasena.
Mendengar
ucapan Raden Bratasena yang terkesan masih ragu akan sosoknya, Kapi Hanoman
memejamkan mata. Kedua tangannya bersedekap menyilang di depan dada. Mulutnya
membaca sebuah mantra yang seketika membuat tubuh kera putih itu membesar dua
kali. Setiap bunyi mantra diucapkan, ukuran tubuhnya terus bertambah. Tiga
kali, empat kali, sepuluh kali, seratus kali.
Raden
Bratasena bergidik melihatnya. Kini, Kapi Hanoman telah berdiri menjulang tinggi, melebihi gunung Ungrungan. Dia pun percaya bahwa sosok kera putih itu benar-benar
kesatria yang pernah menjadi pahlawan besar dalam peristiwa Brubuh Alengka
ratusan tahun silam.
“Dua
hari yang lalu, aku mendapat pawisik dari Dewata bahwa untuk meringkus Prabu
Godayitma, aku harus menuju gunung Gandamadana terlebih dahulu,” tutur Kapi
Hanoman.
“Gunung
Gandamadana?”
“Iya,
Bratasena. Tetapi aku tidak tahu di mana letak gunung itu. Apakah engkau
mengetahuinya?”
“Gunung
Gandamadana adalah tempat pendharmaan para leluhurku. Di sanalah abu jenasah eyangku, Prabu Kunti Boja disucikan dalam sebuah astana.”
“Bersediakah
engkau mengantar aku ke sana, Bratasena?”
“Tentu
saja!”
Kapi
Hanoman dan Raden Bratasena segera merapal Aji Sepi Angin. Sejurus kemudian,
tubuh keduanya melesat meninggalkan hutan yang telah porak pranda oleh pertarungan
mereka tadi. Puncak gunung Gandamadana menjadi tujuan para putera angkat
Bathara Bayu itu.
-o0o-
Astana Pendharmaan Prabu Kunti
Boja.
Prabu
Baladewa terkejut melihat ada manusia selain dia dan Prabu Kresna di
bangunan suci leluhurnya. Sambil menahan rasa sakit akibat tabrakan cahaya niskala, penguasa Mandura itu berdiri. Lalu, dia mendekati tubuh orang tak dikenal yang juga terhempas tak jauh dari tempatnya terkapar.
“Permadi?”
“Kasinggihan, Kakang Baladewa.”
“Kenapa
engkau bisa di tempat ini?”
“Nuwun
agung ring pangaksama, kakang. Aku mendapat pawisik dari Dewata agar bertapa brata
di astana eyang Kunti Boja, untuk menjemput sebuah wahyu yang akan
dianugerahkan kepadaku.”
“Edian
... ternyata bukan hanya aku dan adi Kresna yang mendapat pawisik ini!”
Belum
selesai keheranan Prabu Baladewa dan Raden Permadi, di hadapan mereka telah
berdiri dua sosok yang tak asing bagi mereka. Bathara Narada diiringi Prabu Kresna.
“Sembah
bhakti hamba untuk pukulun Narada,” sambut Prabu Baladewa dan Raden Permadi
nyaris bersamaan.
“Prokèncong-prokèncong ... pak-pak pong ...
waru doyong ditêgor uwong ... Kuterima sembah bhaktimu, kulup. Semoga
kalian senantiasa dalam lindungan para Dewata,” balas Bathara Narada.
Prabu
Kresna berpindah posisi. Dia berdiri sejajar dengan kakaknya, Prabu Baladewa
dan Raden Permadi yang juga terhitung sebagai sepupunya. Kini, Bathara Narada
berhadap-hadapan dengan tiga kesatria yang selama beberapa hari menjalani tapa
brata di puncak gunung Gandamadana.
“Ketahuilah,
kulup. Malam ini, tiga wahyu yang dianugerahkan Dewata telah menyatu ke dalam
raga kalian. Mereka adalah Wahyu Purbo, Wahyu Sejati dan Wahyu Wahdat,” tutur
Bathara Narada.
“Terima
kasih, pukulun,” jawab Prabu Kresna, Prabu Baladewa dan Raden Permadi serempak.
“Wahyu
yang kuberikan kepada Kresna adalah Wahyu Purbo. Ia adalah penjelmaan dari
sukma Sri Rama, leluhur Kunti Boja, juga eyang kalian. Purbo bermakna sebagai
asal-usul. Bila dijabarkan, Purbo merupakan sebuah pengaturan rencana dan
siasat untuk berperilaku baik. Kresna terpilih menjadi penerima Wahyu Purbo ini
karena dia titisan Sang Hyang Wisnu, Dewata penjaga, pemelihara kelestarian, kedamaian
dunia. Dengan wahyu ini, maka Kresna akan menjadi manusia yang memiliki
kemampuan mengatur jalan hidup manusia lainnya, dalam bhakti menumpas angkara
murka di Arcapada,” Bathara Nadara menjabarkan asal muasal dan makna Wahyu
Purbo.
“Singgih,
pukulun. Nuwun pangèstu,” sembah Prabu Kresna.
“Untuk
Permadi, para Dewata menganugerahkan Wahyu Sejati. Ia penjelmaan dari separuh
sukma Lesmana. Makna dari sejati adalah kebenaran yang nyata. Permadi terpilih
sebagai manusia yang pantas menerima Wahyu Sejati karena dia adalah kesatria
yang dikodratkan sebagai penumpas ahangkara. Juga penegak kebenaran yang
sesungguhnya. Bukan kebenaran atas sudut pemikiran orang per orang atau
sekawanan,” lanjut Bathara Narada.
“Singgih,
pukulun,” Raden Permadi menyembah.
“Dan,
yang terakhir untuk Baladewa adalah Wahyu Wahdat. Ia juga penjelmaan dari
separuh sukma Lesmana. Wahdat memiliki makna tunggal, tidak mendua. Wahyu ini
adalah pesan atau perlambang atas keteguhan kasih. Baladewa akan menjadi
kesatria yang memiliki sifat tunggal rasa cinta. Semasa hidupnya, Lesmana
memilih jalan hidup wahdat, tidak pernah menikah. Dia mematikan segala indera
perasa kenikmatan duniawi, membunuh nafsu birahinya kepada wanita. Maka, mulai
malam ini Baladewa akan seperti Lesmana, mati birahinya!”
“Mati
aku!” Teriak Prabu Baladewa.
“Sabar,
kulup Baladewa,” Bathara Narada menenangkan Prabu Baladewa.
“Aduh,
pukulun. Baladewa ini sosok laki-laki yang tangguh dan perkasa. Bukan hanya di
medan laga, tapi juga dalam olah asmara. Jika dengan Wahyu Wahdat ini nafsu
birahiku lenyap seperti Lesmana, bagaimana dengan Dewi Erawati?” ratap
Baladewa. Dia sedih karena membayangkan istrinya, Dewi Erawati pasti akan kecewa
seiring matinya nafsu birahinya.
“Jangan
kuatir, kulup Baladewa. Penjelasanku belum selesai. Nafsu birahimu akan mati
itu kepada wanita selain Dewi Erawati. Jika berolah asmara dengan istrimu, engkau
tak akan kehilangan keperkasaan sedikitpun. Dengan begitu, maka engkau tetap
memegang teguh prinsip tunggal cinta. Kasihmu hanya untuk satu wanita, tiada pernah
mendua!” Tutup Bathara Narada.
“Singgih,
pukulun. Ngaturakên agung ring sêmbah nuwun,” Prabu Baladewa menghembuskan
napas panjang. Beban di dadanya yang sempat mengganjal, kini terasa lepas. Dia pun
menghaturkan sembah kepada Bathara Narada.
BERSAMBUNG
Heru Sang Mahadewa
Member
of #OneDayOnePost
Catatan:
Jagat Dewa Nata =
Dewata pengatur alam semesta.
Brubuh Alengka = Peristiwa perang besar antara pasukan Sri Rama melawan raja Alengka, Prabu Dasamuka.
Brubuh Alengka = Peristiwa perang besar antara pasukan Sri Rama melawan raja Alengka, Prabu Dasamuka.
Kama = Spermatazoid
Kasinggihan
= Iya, selanjutnya biasa dipendekkan dengan ucapan Singgih, Nggih.
Prokèncong-prokèncong, pak-pak pong, waru doyong
ditêgor uwong = ucapan latah Bathara Narada.Nuwun pangèstu = Mohon doa restu.
Ngaturakên agung ring sêmbah nuwun = Menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
0 komentar:
Posting Komentar