Kamis, 11 Mei 2017

WAHYU PURBO SEJATI (3)



devianart.com



Hutan Wanamarta.
“Katakan, dari mana engkau mendapatkan semua pakaian itu?” Raden Bratasena bertanya kepada seekor kera yang berpapasan dengannya.

Hari itu, dia sedang mencari keberadaan adiknya, Raden Permadi, yang sudah beberapa hari tidak ada kabar berita. Tak seorang pun yang mengetahui kemana perginya Pandawa ketiga. Segala penjuru hutan Wanamarta telah ditelusurinya, namun tanda-tanda keberadaan Raden Permadi belum juga tampak. Justru seekor kera berpakaian aneh yang dijumpai Raden Bratasena.

Kera itu berbulu putih, kulit wajahnya terlihat mengeriput. Menunjukkan kalau usianya sudah tua. Ia memakai kain Dodot Polèng Bang Bintulu Aji, Sumping Pudak Sinumpêt, Pupuk Mas Rinêka Jaroting Asêm, Kelatbahu Cêpok Manggis, Gelang Candrakirana, dan Pêningsêt Cindébara. Semuanya persis dengan apa yang sedang dipakai oleh Raden Bratasena.

“Tidak penting bagimu, dari mana aku mendapatkan baju ini!”

“Lancang sekali engkau berani menyamai pakaianku, kera! Aku tanya sekali lagi, dari mana engkau mendapatkannya?”

“Ramandaku yang memberi semua ini.”

“Lepaskan semuanya, kera! Engkau tidak pantas mengenakan apa yang  kupakai!”

“Jaga mulutmu, manusia tak tahu sopan santun!”

Kera putih meloncat turun dari pohon, berdiri menantang di hadapan Raden Bratasena dengan sorot mata merah. Gigi-gigi taringnya menyeruak keluar, bibir mendesis dan mengeluarkan suara cericitan layaknya binatang yang sedang terusik. Melihat reaksi itu, Raden Bratasena semakin terpancing amarahnya.  

Pertarungan keduanya pun tak terelakkan. Pukulan dan tendangan keras Raden Bratasena menyasar ke dada lawan. Namun, kera putih ternyata memiliki gerakan  lincah yang mampu membuatnya berkelit dari sergapan musuhnya. Beberapa waktu lamanya, mereka terlibat saling terjang. Pepohonan banyak yang tumbang, semak belukar acak-acakan. Hutan menjadi luluh lantak karenanya.

Hampir setengah hari bertarung, akhirnya Raden Bratasena dan kera putih menghentikan pukulan. Keduanya mundur beberapa langkah. Saling pandang, mencoba menerka-nerka, siapa gerangan lawan yang mereka hadapi. Jurus demi jurus, gerakan, pukulan dan tendangan mereka nyaris sama. Tak ada satu pun diantara mereka yang memenangi adu kedigdayaan itu.

“Ya Jagat Dewa Nata, apakah engkau adalah putera dari ramanda Bathara Bayu juga, kera?” Tanya Raden Bratasena.

Dia baru ingat, ayah angkatnya yang telah meniupkan kehidupan kepada kama Pandudewanata di rahim ibundanya, Dewi Kunti, yaitu Bathara Bayu pernah bercerita bahwa Dewata penguasa angkasa itu juga memiliki putera yang wujudnya adalah seekor kera berbulu putih. Kapi Hanoman namanya.

Putera Bathara Bayu dari Dewi Anjani itu dahulu menjadi pahlawan besar ketika terjadi perang antara Prabu Sri Rama melawan Prabu Dasamuka. Kapi Hanomanlah yang berhasil membakar istana Alengka dan mengubur hidup-hidup jasad penguasa berwatak angkara murka di bawah gunung Ungrungan.

Raden Bratasena mendapat cerita kepahlawanan itu turun temurun dari eyang, ramanda, ibunda dan gurunya. Dalam benaknya, Kapi Hanoman tentu sosok kesatria yang berbadan tinggi besar dan gagah perkasa. Namun, lawan yang dihadapinya adalah seekor kera yang tua renta.

“Hahaha ... benar apa yang engkau katakan. Aku adalah Kapi Hanoman, putera Bathara Bayu. Dodot Polèng Bang Bintulu Aji, Sumping Pudak Sinumpêt, Pupuk Mas Rinêka Jaroting Asêm, Kêlatbahu Cêpok Manggis, Gelang Candrakirana, dan Pêningsêt Cindébara yang aku kenakan ini adalah pemberian beliau,” jelas Kapi Hanoman.

“Maafkan aku, Kakang Hanoman,” ucap Raden Bratasena, sembari melakukan sembah dada. Pandawa kedua itu juga mengungkapkan jati dirinya sebagai putera Dewi Kunti dan Prabu Pandudewanata. Namun, Bathara Bayulah yang meniupkan roh kehidupan kepada kama ramandanya.

Sejurus kemudian, kedua putera angkat Bathara Bayu yang sebelumnya terlibat pertarungan itu saling berpelukan. Mereka saling meminta maaf. Raden Bratasena mengakui telah kurang ajar dengan berkata-kata yang tidak sopan kepada saudara tua tunggal ramanda angkat. Sementara Kapi Hanoman juga mengakui kesalahannya. Sebagai orang tua, tidak seharusnya amarahnya terpancing oleh kesatria muda seperti Raden Bratasena.

“Kenapa engkau memandangiku seperti itu, Bratasena?”

Brubuh Alengka sudah terjadi ratusan tahun silam. Bagaimana mungkin Kakang Hanoman masih hidup?”

“Aku mendapat anugerah umur yang panjang, Bratasena. Karena Dewata memberiku tugas untuk menjaga jasad Dasamuka yang telah terkubur hidup-hidup di gunung Ungrungan. Sayangnya, setelah dua ratus tahun berlalu, aku lengah saat bertapa brata. Raja danawa berwatak ahangkara itu lolos dan kini menyatu ke raga Prabu Godayitma, penguasa Tawanggantungan.” Jelas Kapi Hanoman.

“Maaf, Kakang Hanoman. Dari cerita turun temurun tentang kesatriaanmu, aku mengira Kakang adalah sosok yang tinggi besar dan gagah perkasa, bukan bertubuh kurus dan kecil seperti saat ini,” lanjut Raden Bratasena.

Mendengar ucapan Raden Bratasena yang terkesan masih ragu akan sosoknya, Kapi Hanoman memejamkan mata. Kedua tangannya bersedekap menyilang di depan dada. Mulutnya membaca sebuah mantra yang seketika membuat tubuh kera putih itu membesar dua kali. Setiap bunyi mantra diucapkan, ukuran tubuhnya terus bertambah. Tiga kali, empat kali, sepuluh kali, seratus kali.

Raden Bratasena bergidik melihatnya. Kini, Kapi Hanoman telah berdiri menjulang tinggi, melebihi gunung Ungrungan. Dia pun percaya bahwa sosok kera putih itu benar-benar kesatria yang pernah menjadi pahlawan besar dalam peristiwa Brubuh Alengka ratusan tahun silam.

“Dua hari yang lalu, aku mendapat pawisik dari Dewata bahwa untuk meringkus Prabu Godayitma, aku harus menuju gunung Gandamadana terlebih dahulu,” tutur Kapi Hanoman.

“Gunung Gandamadana?”

“Iya, Bratasena. Tetapi aku tidak tahu di mana letak gunung itu. Apakah engkau mengetahuinya?”

“Gunung Gandamadana adalah tempat pendharmaan para leluhurku. Di sanalah abu jenasah eyangku, Prabu Kunti Boja disucikan dalam sebuah astana.”

“Bersediakah engkau mengantar aku ke sana, Bratasena?”

“Tentu saja!”

Kapi Hanoman dan Raden Bratasena segera merapal Aji Sepi Angin. Sejurus kemudian, tubuh keduanya melesat meninggalkan hutan yang telah porak pranda oleh pertarungan mereka tadi. Puncak gunung Gandamadana menjadi tujuan para putera angkat Bathara Bayu itu.

-o0o-

Astana Pendharmaan Prabu Kunti Boja.
Prabu Baladewa terkejut melihat ada manusia selain dia dan Prabu Kresna di bangunan suci leluhurnya. Sambil menahan rasa sakit akibat tabrakan cahaya niskala, penguasa Mandura itu berdiri. Lalu, dia mendekati tubuh orang tak dikenal yang juga terhempas tak jauh dari tempatnya terkapar.

“Permadi?”

Kasinggihan, Kakang Baladewa.”

“Kenapa engkau bisa di tempat ini?”

“Nuwun agung ring pangaksama, kakang. Aku mendapat pawisik dari Dewata agar bertapa brata di astana eyang Kunti Boja, untuk menjemput sebuah wahyu yang akan dianugerahkan kepadaku.”

“Edian ... ternyata bukan hanya aku dan adi Kresna yang mendapat pawisik ini!”

Belum selesai keheranan Prabu Baladewa dan Raden Permadi, di hadapan mereka telah berdiri dua sosok yang tak asing bagi mereka. Bathara Narada diiringi Prabu Kresna.

“Sembah bhakti hamba untuk pukulun Narada,” sambut Prabu Baladewa dan Raden Permadi nyaris bersamaan.

Prokèncong-prokèncong ... pak-pak pong ... waru doyong ditêgor uwong ... Kuterima sembah bhaktimu, kulup. Semoga kalian senantiasa dalam lindungan para Dewata,” balas Bathara Narada.

Prabu Kresna berpindah posisi. Dia berdiri sejajar dengan kakaknya, Prabu Baladewa dan Raden Permadi yang juga terhitung sebagai sepupunya. Kini, Bathara Narada berhadap-hadapan dengan tiga kesatria yang selama beberapa hari menjalani tapa brata di puncak gunung Gandamadana.

“Ketahuilah, kulup. Malam ini, tiga wahyu yang dianugerahkan Dewata telah menyatu ke dalam raga kalian. Mereka adalah Wahyu Purbo, Wahyu Sejati dan Wahyu Wahdat,” tutur Bathara Narada.

“Terima kasih, pukulun,” jawab Prabu Kresna, Prabu Baladewa dan Raden Permadi serempak.

“Wahyu yang kuberikan kepada Kresna adalah Wahyu Purbo. Ia adalah penjelmaan dari sukma Sri Rama, leluhur Kunti Boja, juga eyang kalian. Purbo bermakna sebagai asal-usul. Bila dijabarkan, Purbo merupakan sebuah pengaturan rencana dan siasat untuk berperilaku baik. Kresna terpilih menjadi penerima Wahyu Purbo ini karena dia titisan Sang Hyang Wisnu, Dewata penjaga, pemelihara kelestarian, kedamaian dunia. Dengan wahyu ini, maka Kresna akan menjadi manusia yang memiliki kemampuan mengatur jalan hidup manusia lainnya, dalam bhakti menumpas angkara murka di Arcapada,” Bathara Nadara menjabarkan asal muasal dan makna Wahyu Purbo.

“Singgih, pukulun. Nuwun pangèstu,” sembah Prabu Kresna.

“Untuk Permadi, para Dewata menganugerahkan Wahyu Sejati. Ia penjelmaan dari separuh sukma Lesmana. Makna dari sejati adalah kebenaran yang nyata. Permadi terpilih sebagai manusia yang pantas menerima Wahyu Sejati karena dia adalah kesatria yang dikodratkan sebagai penumpas ahangkara. Juga penegak kebenaran yang sesungguhnya. Bukan kebenaran atas sudut pemikiran orang per orang atau sekawanan,” lanjut Bathara Narada.

“Singgih, pukulun,” Raden Permadi menyembah.

“Dan, yang terakhir untuk Baladewa adalah Wahyu Wahdat. Ia juga penjelmaan dari separuh sukma Lesmana. Wahdat memiliki makna tunggal, tidak mendua. Wahyu ini adalah pesan atau perlambang atas keteguhan kasih. Baladewa akan menjadi kesatria yang memiliki sifat tunggal rasa cinta. Semasa hidupnya, Lesmana memilih jalan hidup wahdat, tidak pernah menikah. Dia mematikan segala indera perasa kenikmatan duniawi, membunuh nafsu birahinya kepada wanita. Maka, mulai malam ini Baladewa akan seperti Lesmana, mati birahinya!”

“Mati aku!” Teriak Prabu Baladewa.

“Sabar, kulup Baladewa,” Bathara Narada menenangkan Prabu Baladewa.

“Aduh, pukulun. Baladewa ini sosok laki-laki yang tangguh dan perkasa. Bukan hanya di medan laga, tapi juga dalam olah asmara. Jika dengan Wahyu Wahdat ini nafsu birahiku lenyap seperti Lesmana, bagaimana dengan Dewi Erawati?” ratap Baladewa. Dia sedih karena membayangkan istrinya, Dewi Erawati pasti akan kecewa seiring matinya nafsu birahinya.

“Jangan kuatir, kulup Baladewa. Penjelasanku belum selesai. Nafsu birahimu akan mati itu kepada wanita selain Dewi Erawati. Jika berolah asmara dengan istrimu, engkau tak akan kehilangan keperkasaan sedikitpun. Dengan begitu, maka engkau tetap memegang teguh prinsip tunggal cinta. Kasihmu hanya untuk satu wanita, tiada pernah mendua!” Tutup Bathara Narada.

“Singgih, pukulun. Ngaturakên agung ring sêmbah nuwun,” Prabu Baladewa menghembuskan napas panjang. Beban di dadanya yang sempat mengganjal, kini terasa lepas. Dia pun menghaturkan sembah kepada Bathara Narada.

BERSAMBUNG

Heru Sang Mahadewa
Member of #OneDayOnePost

Baca cerita sebelumnya [DI SINI ]
Cerita sebelumnya [DI SINI ]

Catatan:
Jagat Dewa Nata = Dewata pengatur alam semesta.
Brubuh Alengka = Peristiwa perang besar antara pasukan Sri Rama melawan raja Alengka, Prabu Dasamuka.
Kama = Spermatazoid
Kasinggihan = Iya, selanjutnya biasa dipendekkan dengan ucapan Singgih, Nggih.
Prokèncong-prokèncong, pak-pak pong, waru doyong ditêgor uwong = ucapan latah Bathara Narada.
Nuwun pangèstu = Mohon doa restu.
Ngaturakên agung ring sêmbah nuwun = Menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

0 komentar:

Posting Komentar

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *