Jumat, 26 Mei 2017

MEGENGAN, SLAMETAN DAN APEM DALAM RAMADHAN MUSLIM JAWA




Jauh sebelum Islam masuk ke Jawadwipa, masyarakat Nusantara khususnya orang-orang Jawa, sudah memiliki tradisi kirim doa kepada arwah leluhurnya. Ritual itu dilakukan pada penghujung bulan Ruwah (bulan ketujuh dalam penanggalan Jawa) atau bertepatan dengan Sya'ban dalam kalender Islam, sehingga disebut juga sebagai Ruwahan atau Arwahan.

Ritual kirim doa itu, ditandai dengan memberikan sêsajên berupa makanan sêgo golong dan jajanan apem pada tempat-tempat yang dianggap memiliki energi niskala (ghaib). Di antaranya adalah makam sebagai rumah arwah leluhur, pohon sebagai simbol alam semesta, serta sumur pundên sebagai sumber air atau sumber kehidupan.

Beratus-ratus tahun, tradisi Ruwahan lekat dengan kehidupan masyarakat Jawa kuno sebagai penganut Syiwa Sogata*.

Di akhir masa kejayaan Majapahit, sekitar abad XV, Islam mulai marak di pesisir utara Jawadwipa. Pelan namun pasti, mayoritas orang Jawa telah memeluk ajaran Kanjêng Rosul (Islam). Namun, tradisi dari leluhur mereka tetap saja masih dilakukan.

Seorang Ulama asal Tuban, putera dari Adipati Arya Tedja, bernama Rahadyan Santi Kusuma, dikenal juga sebagai Raden Sahid, anggota Majelis Wali (Wali Sangha, Wali Songo) termuda, berusaha masuk ke sendi kehidupan leluhurnya dengan menyisipkan syiar Islam.

Ulama yang kemudian dikenal dengan gelar Kanjêng Susuhunan (manusia mulia, dipendekkan menjadi Sunan) Kalijaga itu memahami bahwa tradisi peninggalan leluhur masyarakat Jawa tidak mungkin bisa dihilangkan seutuhnya. Ritual Ruwahan yang bernuansa animisme itu sudah mengakar dalam sendi kehidupan orang Jawa.

Beliau pun memasukkan unsur syiar Islam ke dalam setiap tahapan tradisi Ruwahan. 

MEGENGAN.
Penyebutan kata ruwahan, kemudian digubah menjadi Megengan (menahan, bahasa Jawa). Definisinya adalah menahan diri dari segala hawa nafsu, makan, minum dan syahwat, mulai terbit fajar hingga matahari terbenam.

Megengan kemudian menjadi tradisi masyarakat Jawa Islam setiap menyambut datangnya bulan Ramadhan/Pasa hingga sekarang.

SLAMETAN.
Esensi dari sêsajên atau pemberian persembahan kepada arwah dan alam semesta, kemudian dibelokkan menjadi slametan dan sedekahan.

Slametan diambil dari bahasa Arab 'salima-yaslamu-salaman' yang memiliki arti damai dan selamat.

Sedekah mengadopsi kata shadaqah yang berarti memberi sesuatu, berupa rejeki. Dalam hal ini adalah makanan.

Perubahan mendasar lainnya adalah jika dulu segala sêsajên diberikan hanya untuk persembahan, maka semenjak tersentuh syiar Islam, makanan dan jajanan itu akan dinikmati ramai-ramai oleh orang-orang yang mengikuti ritual slametan. 

Dengan demikian, slametan yang saat ini tetap dilakukan orang Jawa memiliki makna berbagi rejeki (makanan dan jajanan) sebagai wujud rasa syukur atas segala nikmat dan karunia Allah SWT. Niatnya pun di doktrinkan sebagai shadaqah makanan.

APEM.
Jajanan pelengkap dalam tradisi Megengan adalah kue apem. Makanan khas nusantara yang berbahan dasar tepung beras, santan, gula dan garam.

Kata apem mengadopsi bahasa Arab 'afwum' yang artinya memberi maaf. Karena lidah kolot orang Jawa tidak bisa melafalkan huruf 'F', penyebutan afwum lebur menjadi apwum. Kemudian biasa diucapkan apem.

Jajanan apem pada megengan memiliki makna bahwa menjelang bulan Ramadhan inilah moment tepat untuk saling memberi dan meminta maaf. Sehingga tiada dosa dan kesalahan belum termaafkan, yang bisa mengganjal langkah beribadah di bulan suci.

Tepung beras yang warnanya putih adalah simbol kesucian. Bulan Ramadhan adalah bulan suci. Bulan yang paling mulia di antara sebelas bulan lainnya.

Santan adalah intisari dari buah kelapa. Simbol dari pohon yang mulai batang, daun dan buahnya banyak memberi manfaat bagi kehidupan. Memiliki makna sebagai sebuah pesan, agar manusia senantiasa menebar manfaat bagi sesama.

Sedangkan gula dan garam adalah simbol dari hati atau sifat manusia. Ada yang bijak, ada pula yang berwatak ahangkara.

SÊGO GOLONG.
Sêgo (nasi, bahasa Jawa) golong adalah nasi yang ditanak dengan air santan dan garam. Golong berasal dari kata Gemolong yang artinya terus berdatangan atau berlimpah ruah.

Ubo rampe (komponen pelengkap, bahasa Jawa) dalam tradisi slametan ini memiliki makna sebuah pengharapan atau Doa, agar Gusti Ingkang Makarya Jagat, Allah SWT senantiasa memberikan rejeki yang berlimpah ruah.

-o0o-

Nah, ketika kini masyarakat Jawa beramai-ramai mengadakan acara Megengan, niat tulus mereka adalah menyambut datangnya bulan suci Ramadhan dengan ber-shadaqah makanan. Tidak ada niat lain. Apalagi niat untuk Syirik. Seujung rambut pun tak terlintas di benak mereka.

Mencoba menghormati tradisi leluhur, dengan sentuhan napas Islam sebagai bentuk luapan kebahagaian masyarakat Jawa menyambut bulan suci Ramadhan, tentu tidak salah. Ketimbang terlalu bersemangat berlebihan dengan mengumbar teriakan mengagungkan asma-Nya sembari melakukan sweeping sana-sini.

Masih banyak jalan indah menuju surga, ketimbang menempuh jalan fanatisme berlebihan, apalagi yang menjurus anarkis dan menebar kebencian. Jalan indah itu adalah melalui pelestarian budaya para pendahulu kita.

Indonesia itu indah.

Selamat datang bulan suci. Marhaban Ya Ramadhan 1438 H.


Surabaya, 26 Mei 2017

(Heru Sang Mahadewa)
Member of #OneDayOnePost

Catatan:
Seiring waktu, sêgo golong kini sudah diganti dengan nasi putih biasa. Jajanan apem juga telah dikembangkan menggunakan berbagai bahan dan rasa.

*Syiwa Sogata = sinkretisme antara Hindu, Buddha Wajrayana dan ajaran leluhur Jawa.

0 komentar:

Posting Komentar

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *