devianart.com |
Surup
belum sepenuhnya datang. Namun, sejak siang hari, mendung telah
bergelayut di atas Gandamadana. Membuat gunung yang dianggap suci itu
tampak gulita. Sejauh tatapan mata, hamparan langit hanya memampangkan warna gelap.
Dari setiap bentang cakrawala pada candikkala
itu, hanya pekat saja yang terlihat. Puncak gunung yang menjadi tempat pendharmaan
abu jenazah Prabu Kunti Boja, pendiri negeri Mandura bagai ditutup layar hitam yang membentang di seluruh atap langit. Sesekali, terdengar suara guntur
menggelegar.
Seorang
kesatria bertubuh lencir dan wajah rupawan mendatangi cungkup Prabu Kunti Boja. Dia tidak masuk ke garbhagriha, tetapi berjalan ke belakang bangunan.
Sejenak,
kesatria yang tak lain adalah Raden Permadi, putra Pandudewanata dan Dewi
Kunti itu menghampiri sendang kecil di
dekat cungkup. Dia membersihkan tangan, lalu membasuhkan air ke mukanya. Sang Pandawa
ketiga ingin menghabiskan malam dengan bertapa brata untuk mendapatkan
ketenangan batin, menuruti pawisik
yang diterimanya. Pawisik bahwa dirinya menjadi manusia terpilih Dewata, sebagai
penerima sebuah anugerah niskala.
Setelah
bersuci, Raden Permadi bersila dalam sikap padmasana. Tangannya membentuk sembah,
diangkat ke atas ubun-ubun. Dia berusaha memusatkan kesadarannya di titik ajna, untuk lebur bersama alam semesta.
Mulutnya membaca mantra-mantra penyejuk batin.
Sejurus
kemudian, tangannya yang bersembah ketika merapalkan mantra tiba-tiba
diturunkan. Kini, tangan itu membentuk amusthikarana.
Napasnya diatur mengikuti alunan mantra dalam hati. Dia merapalkan asma para Dewa, seiring
napas yang keluar dan masuk melalui hidungnya.
Dalam
keheningan yang menghanyutkan, batinnya tersadar. Kesadarannya membentang tanpa
batas. Tiba-tiba dia melihat dirinya sendiri berdiri di depannya. Sosok itu tampak lebih tampan, lebih tenang, selalu tersenyum dan bercahaya.
Ketika
Raden Permadi kian tenggelam dalam keheningan yang menghanyutkan, dua
kesatria lain mendatangi cungkup Prabu Kunti Boja.
Kesatria pertama berkulit
kemerah-merahan. Pandangan matanya jelalatan, menoleh ke sekeliling bangunan
suci. Seolah memastikan bahwa tiada manusia lain yang menginjakkan kaki di
puncak gunung Gandamadana, selain dia dan kesatria yang bersamanya.
Kesatria
kedua, berkulit hitam legam. Bibirnya senantiasa mengumbar senyum. Tatapan matanya tampak teduh.
Dua
kesatria itu adalah Prabu Baladewa, penguasa Mandura dan Prabu Kresna, penguasa
Dwarawati. Mereka adalah cucu dari mendiang Prabu Kunti Boja sendiri. Keduanya
juga mendapat pawisik dari Dewata agar melakukan tapa brata di puncak gunung
Gandamadana. Tepat di astana----pemakaman----eyang
dan leluhurnya.
-o0o-
Jauh dari puncak gunung Gandamadana, terjadi pertemuan dua penguasa bangsa danawa. Ditya Kunjanawresa dan Prabu Gondayitma.
Ditya Kunjanawresa, sosok danawa berkepala kuda yang menjadi penguasa Mregapati pernah dikalahkan oleh Raden Narayanana----nama muda Prabu Kresna----ketika dia bersama dua kakaknya, Kunjarakresna dan Yudakalakresna mengeroyok kesatria Dwarawati. Nahas, dua kakaknya tewas, sedangkan Ditya Kunjanawresa berhasil melarikan diri ke gunung Mregapati dan mengumpulkan prajurit dari bangsa brekasakan di sana.
Ditya Kunjanawresa, sosok danawa berkepala kuda yang menjadi penguasa Mregapati pernah dikalahkan oleh Raden Narayanana----nama muda Prabu Kresna----ketika dia bersama dua kakaknya, Kunjarakresna dan Yudakalakresna mengeroyok kesatria Dwarawati. Nahas, dua kakaknya tewas, sedangkan Ditya Kunjanawresa berhasil melarikan diri ke gunung Mregapati dan mengumpulkan prajurit dari bangsa brekasakan di sana.
Sementara
Prabu Godayitma adalah reinkarnasi dari roh Prabu Dasamuka, penguasa Alengka.
Dahulu, setelah menculik Rakryanwara Sinta, terjadi perang besar antara pasukan
Alengka melawan Prabu Sri Rama, suami Sinta, Raden Lesmana yang dibantu pasukan
kera dari gua Kiskenda. Ketika itu, Sugriwa, Subali dan Kapi Hanoman, para
panglima perang bersosok kera, menjadi aktor kunci dibalik tewasnya Dasamuka.
Prabu
Sri Rama adalah titisan Bathara Wisnu. Kini, setelah ratusan tahun berlalu,
Prabu Godayitma menemukan kembali Dewata itu telah menitis ke raga Prabu
Kresna. Maka, dendam kematian masa lalu ketika dia masih menjadi Dasamuka,
patut dibalaskan kepada sang penguasa Dwarawati.
Prabu
Godayitma tak jauh dari peringai Dasamuka yang tergila-gila dengan Rakryanwara
Sinta. Telah lama pula, dia mengagumi kecantikan Dewi Bratajaya. Beberapa kali
dia mencoba menculik adik dari Prabu Baladewa dan Prabu Kresna itu, tetapi
selalu gagal. Prabu Baladewa senantiasa menjadi penlindung bagi Dewi Bratajaya
yang memang tinggal di istana Mandura, ikut sang kakak.
Hari
itu, antara Ditya Kunjanawresa dan Prabu Godayitma sepakat bersatu untuk
melampiaskan dendam kesumat mereka. Berangkatlah pasukan gabungan Mregapati dan
Tawanggantungan ke Dwarawati. Patih Prahastayitma dan Raden Begakumara menjadi
senopati pasukan hantu.
Hari
itu pula, Dewi Bratajaya sedang berkunjung ke Dwarawati bersama Prabu
Baladewa, sebelum penguasa Mandura pergi bertapa ke gunung Gandamadana bersama
Prabu Kresna.
Raden
Setyaki, senopati Dwarawati bersama seorang Patih muda bernama Pragota menghadang
ribuan pasukan danawa di alun-alun. Mereka juga ditopang punggawa senior Arya
Udawa dan Arya Prabawa.
“Asu! Brekasakan dari mana, kalian?” Umpat
Raden Setyaki.
“Minggir!”
Jawab Patih Prahastayitma, senopati Tawanggantungan.
“Dedemit edan! Kurobek-robek mulut
besarmu!”
Sejurus
kemudian, Raden Setyaki langsung menghajar Patih Prahastayitma. Namun, senopati
Dwarawati sekaligus ipar Prabu Kresna itu bagai bertarung melawang gugusan
karang. Pukulan demi pukulan yang dia layangkan ke tubuh lawan seperti
membentur besi baja.
Dalam
sebuah gerakan, Patih Prahastayitma bahkan nyaris meringkus tubuh kecil Raden
Setyaki. Beruntung, kesatria dari Lesanpura itu ingat sebuah Aji Panglimunan yang dulu pernah
diajarkan Raden Permadi, Pandawa ketiga. Tanpa menunggu musuh menyerang lagi,
dia segera membacakan mantra pengabur raga.
“Aku
harus segera ke gunung Gandamadana. Dwarawati dalam bahaya,” batin Raden
Setyaki. Dalam wujud tak kasat mata, dia menghampiri tiga punggawa Dwarawati.
“Bertahanlah
sekuat tenaga, musuh kita bukan bangsa manusia. Aku akan segera kembali bersama
sinuwun Prabu Kresna,” ucapnya kepada Patih Pragota, Arya Udawa dan Arya
Prabawa. Sejurus kemudian, dia melesat menggunakan Aji Sepi Angin, menuju puncak gunung Gandamadana, tempat Prabu
Kresna dan Prabu Baladewa sedang bertapa.
Kini,
Patih Pragota, Arya Udawa dan Arya Prabawa yang bertarung melawan Ditya
Kunjanawresa, Prabu Godayitma dan Raden Begakumara. Tiga lawan tiga. Tiga
kesatria Dwarawati menghadapi tiga danawa.
“Menyerahlah,
kalian bukan lawan kami!” Sesumbar Ditya Kunjanawresa, sambil memamerkan gigi
taring yang mencuat dari sudut mulutnya. Wajahnya memerah, bibirnya
mendesis-desis, siap memangsa siapaun yang berada di hadapannya.
“Keluar,
kau Kresna dan Baladewa!” Imbuh Prabu Godayitma. Sorot matanya tak kalah
beringas dari Ditya Kunjanawresa. Sepasang gigi runcing juga menyeruak keluar
dari mulutnya.
“Langkahi
dulu mayat kami!” Balas Arya Udawa. Tangan kanannya telah mengangkat sebilah
pedang. Hal yang sama juga diikuti oleh Arya Prabawa. Keduanya sadar,
menghadapi dua raja bangsa danawa tidak boleh lengah sedikitpun. Tangan, leher
dan kepala mereka senantiasa jadi incaran gigi-gigi taring Ditya Kunjanawresa
dan Prabu Godayitma. Sementara, Patih Pragota bergerak menjauh, membantu pasukan Dwarawati di sisi lain.
Alun-alun
Dwarawati beruban menjadi palagan perang.
Pasukan
niskala Mregapati dan Tawanggantungan maupun para prajurit Dwarawati saling
unjuk kedigdayaan. Suara jerit kesakitan mengiringi percikan darah yang bersahut-sahutan dari kedua pasukan.
“Suruh
keluar Kresna dan Baladewa!” Ucap Patih Prahastayitma yang menjadi marah karena
Raden Setyaki mendadak lenyap dari hadapannya. Dia mengamuki barisan prajurit
Dwarawati yang sedang bertarung dengan pasukan dedemit Mregapati dan
Tawanggantungan.
“Sinuwun
Prabu Kresna dan Prabu Baladewa sedang bertapa di gunung Gandamadana!” Jawab
Patih Pragota yang tiba-tiba telah berdiri menantang Patih Prahatayitma. Kini,
kedua patih dari masing-masing kubu telah berhadap-hadapan.
Namun,
kesatria belia Dwarawati itu dengan polosnya terpancing ucapan lawan. Tanpa
disadarinya, Patih Prahatayitma telah mengeluarkan Aji Pameling.
“Kresna
dan Baladewa tidak ada di Dwarawati. Keduanya berada di gunung Gandamadana,”
bisik sang senopati pasukan danawa melalui kontak batin dengan Ditya
Kunjanawresa dan Prabu Godayitma.
“Hahahaha
..... hahahaha ... akhirnya Bratajaya menjadi milikku! Bratajaya sebentar lagi menjadi istriku!” Tertawa terbahak-bahak Prabu Godayitma.
Sejurus
kemudian, penguasa Tawanggantungan itu langsung melesat menerobos istana
Dwarawati. Disusul Raden Begakumara, pengawal setianya. Sementara, Ditya
Kunjanawresa dengan mudah menahan gempuran Arya Udawa dan Arya Prabawa yang
berusaha mengejar Prabu Godayitma.
Jerit
tangis dan ketakutan pecah dari istana kaputren. Para dayang dan Dewi Bratajaya
tak kuasa menahan tarikan tangan Prabu Godayitma dan Raden Begakumara yang dengan
beringas membopong tubuh puteri satu-satunya mendiang Prabu Basudewa.
Sekedip
kemudian, sosok dua danawa telah melesat meninggalkan Dwarawati, membawa lari Dewi
Bratajaya.
BERSAMBUNG
Heru Sang Mahadewa
Member
of #OneDayOnePost
Catatan:
Surup
= senja.
Candikkala
= senjakala, sinonim surup.
Cungkup
= bangunan pelindung makam.
Garbhagriha
= ruang utama bangunan suci, candi, pendharmaan.
Sendang
= kolam yang terbuat akibat aliran sebuah mata air.
Pawisik
= bisikan.
Niskala = ghaib.
Niskala = ghaib.
Padmasana
= Posisi duduk bersila seperti bunga teratai.
Ajna
= mata ketiga, mata batin.
Amusthikarana
= sikap tangan kanan mengepal dibungkus oleh tangan kiri yang masing-masing ibu
jarinya bertemu dan ujung-ujungnya mengarah ke atas, ditempatkan di depan hulu hati.
Danawa
= makhluk raksasa
Brekasakan
= makhluk yang tidak jelas wujud dan asal-usulnya.
Asu
= Anjing, bahasa Jawa.
Dedemit
= demit, golongan jin jahat.
Aji Panglimunan
= ilmu kesaktian yang bisa mengaburkan pandangan orang lain.
Aji Sepi Angin
= ilmu kesaktian yang bisa membawa tubuh pemiliknya menuju suatu tempat dalam
sekejap.
Aji Pameling = ilmu kesaktian untuk berkontak batin.
Udah baca tulisanmu Kang...manis menyegarkan...seperti sirup marjan
BalasHapusMatur suwun, mbkyu
HapusKeren ini kang...
BalasHapusMengingatkan Sastra Jawa...
Terima kasih, saya msh belajar ini mbak.
HapusSelalubasik baca tulisan kang heru. Jadi nambah vocab bahasa jawa.
BalasHapusceritanya bagus, kapan bisa menulis seindah ini
BalasHapusdengan memasukkan bahasa daerah dan terjemahannya jadi bisa mengikuti alur ceritanya
Matur suwun, saya juga masih belajar mbk May.
Hapus