Jumat, 12 Mei 2017

WAHYU PURBO SEJATI (4)



devianart.com



Lereng Gunung Gandamadana.
Raden Setyaki telah sampai di sebuah bukit yang tak jauh dari astana pendharmaan Prabu Kunti Boja. Langkahnya terhenti ketika dia mencium aroma bau tidak sedap yang menusuk hidung.

“Asu! Brekasakan itu sudah ada disini rupanya!” Umpat Raden Setyaki. Bau khas yang keluar dari tubuh bangsa danawa dan dedemit itu memang berasal dari pasukan Mregapati dan Twanggantungan yang ikut ke gunung Gandamadana untuk mencari keberadaan Prabu Kresna.

Raden Setyaki menghentikan langkah. Di hadapannya, kini telah berdiri Ditya Kunjanawresa, Patih Prahastayitma dan puluhan makhluk tak karuan wujudnya.

“Hahaha ... hahaha ... hahaha ... Ternyata engkau lari ke gunung Gandamadana, pengecut! Sekarang engkau tidak bisa menghindari kematian, Setyaki!” Sesumbar Patih Prahastayitma.

Raden Setyaki mundur beberapa tombak. Menghadapi dua raksasa sekaligus, disokong puluhan dedemit, tentu membuatnya harus bertarung habis-habisan. Dia pun tidak mau lengah lagi. Tanpa menunggu musuh menyerang, senopati Dwarawati itu langsung mencabut Gada Lukitapati.

Sejurus kemudian, Raden Setyaki membabatkan senjatanya ke kawanan pasukan danawa dan dedemit yang mengepungnya. Kelebatan gada menyambar tubuh para brekasakan. Satu per satu prajurit Mregapati dan Tawanggantungan berjatuhan. Namun, setiap kali tersungkur, dalam sekejap mereka bangkit lagi. Luka yang didera akibat sabetan senjata senopati Dwarawati juga langsung pulih.

“Setan alas! Dasar dedemit edan!” Raden Setyaki memaki-maki dalam hati.

Kini, kesatria dari Lesanpura, adik dari salah satu istri Prabu Kresna, Dewi Setyaboma itu berbalik terdesak. Ditya Kunjanawresa, Patih Prahastayitma dan pasukannya mengeroyok Raden Setyaki. Jatuh bangun dia menghindari sergapan musuh.

Saat keadaannya semakin terkepung, mendadak berkelebat dua bayangan yang menyambar tubuh Raden Setyaki.

“Raden Bratasena?” ucap Raden Setyaki.

“Aku datang membantumu, paman,” jawab Raden Bratasena.

Di sisi lain, Kapi Hanoman yang datang bersama Raden Bratasena langsung menghajar pasukan gabungan Mregapati dan Tawanggantungan. Kera putih yang di jaman Lokapala dulu menjadi makhluk paling ditakuti bangsa danawa dan dedemit itu seperti menemukan kembali musuh lama. Tanpa ampun, dia menghabisi satu per satu lawannya.

Melihat amukan Kapi Hanoma yang kian merajalela, Ditya Kunjanawresa dan  Patih Prahastayitma merangsek maju. Hal yang sama juga diikuti oleh Raden Bratasena. Kini, keempatnya mengambil posisi di sebuah tanah lapang.

Ditya Kunjanawresa berhadapan dengan Kapi Hanoman. Sementara, Raden Bratasena bertarung melawan Patih Prahastayitma. Pertarungan tidak berlangsung lama, kedua putera angkat Bathara Bayu adalah lawan yang terlalu tangguh bagi dua pemimpin danawa itu.

Dengan Ajian Blabag Panganthol-anthol, Raden Bratasena hanya butuh dua jurus untuk meringkus Patih Prahastayitma. Meski makhluk dedemit itu menyamarkan wujudnya, namun tetap saja dia tak berkutik menghadapi kesatria kedua Pandawa.

Di sudut lain, Kapi Hanoman dengan mudah dapat mengunci tubuh raja danawa berkepala kuda, Ditya Kunjanawresa.

“Ampun, kera putih .... jangan bunuh aku ... ampun ... aku mengaku kalah ... biarkan aku tetap hidup,” ratap Ditya Kunjanawresa dengan tubuh membujur kaku. Kapi Hanoman telah mematikan aliran darahnya, sehingga dia tak mampu menggerakkan sedikit pun anggota tubuh.

“Hentikan, Anoman. Mereka sudah tak mampu melawan. Seorang kesatria tidak diperbolehkan melukai musuh yang tidak berdaya!”

Terdengar suara dari jarak sekitar dua puluh tombak. Kapi Hanoman dan Raden Bratasena sontak menghentikan amukan. Prabu Kresna, Prabu Baladewa dan Raden Permadi buru-buru turun dari puncak gunung Gandamadana ketika mendengar keributan.

“Ditya Kunjanawresa, Patih Prahastayitma?” Prabu Kresna dapat mengenali dua sosok danawa yang berhasil diringkus Kapi Hanoman dan Raden Bratasena.

Melihat kedatangan Prabu Kresna, Raden Setyaki buru-buru menghadap junjungannya, “Sinuwun, mereka telah menyerang istana Dwarawati!”

“Aku sudah mengetahuinya dari pawisik saat bertapa brata, Setyaki.”

“Patih Pragota, paman Udawa dan paman Prabawa yang berjibaku menahan serangan bangsa danawa itu. Hamba buru-buru datang gunung Gandamadana ini untuk mengabarkan kepada sinuwun,” jelas Raden Setyaki.

“Tenanglah, Setyaki. Semua akan bisa kita selesaikan.”

Prabu Kresna tersenyum sambil menepuk-nepuk pundak Raden Setyaki. Lalu, dia berjalan tiga tombak ke arah Ditya Kunjanawresa dan Patih Prahastayitma yang masih terkapar tak berdaya.

“Ditya Kunjanawresa, kenapa engkau melakukan semua ini? Bukankah dulu aku memberimu kesempatan hidup saat kedua kakakmu, Kunjarakresna dan Yudalakresna mendapatkan hukuman kematian dariku?” Tanya Prabu Kresna.

“Ampun, Kresna. Aku mengaku bersalah. Hasutan dari Prabu Godayitma telah membuatku terpancing lagi untuk membalas dendam kematian kedua kakakku. Berilah aku kesempatan untuk hidup. Aku berjanji akan mengabdi kepadamu,” Ditya Kunjanawresa meratap di hadapan Prabu Kresna.

“Aku akan mengampunimu, asalkan engkau benar-benar ingin merubah semua watak dan perilaku. Bukan hanya itu, katakan juga apa yang telah kalian lakukan di istana Dwarawati,” ucap Prabu Kresna.

“Tujuanku menyerang Dwarawati hanya untuk mencarimu, Kresna. Sedangkan Prabu Godayitma sengaja ingin mengambil Dewi Bratajaya. Kini, dia sedang dibawa ke istana Tawanggantungan,” gemetar suara Ditya Kunjanawresa.

“Keparat! Aku cincang tubuhmu!” Bentak Prabu Baladewa.

Seketika wajahnya berubah warna menjadi merah menyala. Kedua tangannya terkepal, diikuti terjangan kaki kanan yang mendarat ke perut Ditya Kunjanawresa. Putra sulung Prabu Basudewa itu memang berwatak beringasan. Amarahnya mudah tersulut. Begitu mendengar adik perempuannya dibawa lari bangsa danawa, sontak dia naik pitam.

“Tahan, Kakang Baladewa. Biarlah aku yang menyelesaikan semuanya,” bujuk Prabu Kresna menenangkan kakaknya. Penguasa Dwarawati itu lalu mendekati lagi Ditya Kunjanawresa yang meratap-ratap minta pengampunan. Kaki, tangan dan seluruh tubuh pemimpin danawa itu masih tetap tidak bisa bergerak, hanya mulutnya saja yang mampu berbicara.

“Ditya Kunjanawresa, jika engkau benar-benar berjanji merubah peringaimu, maka bertapalah di puncak Mregapati. Gunung itu masih berada di wilayah kekuasaanku, Dwarawati. Maka, sudah menjadi kewajibanmu untuk patuh kepadaku,” ucap Prabu Kresna.

“Terima kasih, Kresna. Aku berjanji akan melakukan semua perintahmu ini,” balas Ditya Kunjanawresa.

“Permadi, Bratasena, dan Kapi Hanoman, berangkatlah ke Tawanggantungan sekarang juga. Rebut kembali Bratajaya dari tangan Godayitma dan Bregakumara!” Perintah Prabu Kresna.

“Sendika dhawuh, Kakang Prabu!”

Sejurus kemudian, ketiga kesaria itu merapal mantra Aji Sepi Angin. Dalam sekejap, tubuh mereka melesat meninggalkan Prabu Kresna, Prabu Baladewa, Raden Setyaki serta dua danawa yang masih ditawan. Ditya Kunjanawresa dan Patih Prahastayitma.

-o0o-

Istana Tawanggantungan.
Prabu Godayitma mondar-mandir di taman istana. Dia tiada henti memeriksa setiap sudut puri yang hendak dipersembahkan kepada Dewi Bratajaya. Puluhan cêthi dan paricaraka juga telah diperintahkan untuk menyiapkan segala keperluan puteri yang baru saja dilarikan dari Dwarawati.

Dewi Bratajaya sendiri saat ini sedang disembunyikan oleh Raden Bregakumara di kancing gelung rambutnya. Ditya Kunjanawresa sadar, tak lama lagi pasti kesatria-kesatria suruhan Prabu Kresna dan Prabu Baladewa akan mencari keberadaan puteri mendiang Prabu Basudewa itu ke Tawanggantungan. Untuk mengelabuhi para pengejar, dia pun mengambil siasat dengan menempatkan Dewi Bratajaya di ruang niskala.

Hari itu, Prabu Godayitma berniat mengeluarkan Dewi Bratajaya dari persembunyian. Sebuah puri lengkap dengan taman indah telah selesai dipersiapkan. Raden Bregakumara juga sudah diberi tahu bahwa tiba saatnya puteri yang sejak lama menjadi idaman penguasa Tawanggantungan itu dipersembahkan.

Namun, Prabu Godayitma, Raden Bregakumara dan pranurit-prajurit Tawanggantungan tidak menyadari bahwa pada jarak seratus tombak dari istana Prabu Godayitma, tiga kesatria yang diperintahkan Prabu Kresna untuk merebut kembali Dewi Bratajaya sedang mengamati kesibukan mereka. Raden Permadi mengajak Raden Bratasena dan Kapi Hanoman untuk menyelinap ke Tawanggantungan melalui pintu niskala.

“Kakang Bratasena, Kakang Hanoman, sebaiknya kita segera Ngraga Sukma. Aku akan membebaskan Dewi Bratajaya, sedangkan Prabu Godayitma dan Raden Bregakumara menjadi bagian kalian,” usul Raden Permadi.

“Baiklah, Permadi,” jawab Kapi Hanoman dan Raden Bratasena serempak.

Ketiganya menyelinap ke dalam semak belukar. Lalu, masing-masing duduk bersila, mengambil sikap padmasana. Mata mereka terpejam, bibir merapal mantra raga sukma. Semua pikiran Raden Permadi, Raden Bratasena dan Kapi Hanoman terpusat pada titik ajna, seiring hembusan napas yang keluar dari hidung yang kian lama kian pelan.

Tiga sosok samar dengan perawakan mirip Raden Permadi, Raden Bratasena dan Kapi Hanoman berjalan mendekati gerbang istana Tawanggantungan. Saking samarnya, keberadaan ketiganya nyaris tak terlihat dengan kasat mata. Mereka adalah sukma ketiga kesatria yang melepaskan diri dari raga.

Raden Permadi menghentikan langkah, diikuti Raden Bratasena dan Kapi Hanoman. Kesatria Pandawa yang baru menerima Wahyu Sejati itu kembali merapal sebuah mantra. Kali ini dia menggunakan Aji Panggandan untuk mencium aroma tubuh Dewi Bratajaya.

“Kakang Hanoman, Kakang Bratasena, saat ini Dewi Bratajaya sedang disembunyikan di dalam kancing gelung rambut Bregakumara,” ucap Raden Permadi.

“Kita rebut sekarang, Jlamprong,” balas Raden Bratasena.

“Jangan gegabah, Kakang Bratasena. Kita harus menggunakan siasat agar Bratajaya tidak tersakiti. Aku akan mengambilnya diam-diam, saat itulah Kakang Kapi Hanoman menggantikan posisi Bratajaya di dalam kancing gelung rambut Bregakumara,” jelas Raden Permadi.

“Akan kuhajar Dasamuka yang ada pada raga Godayitma, begitu aku bertemu dengannya!” Sesumbar Kapi Hanoman.

“Setelah aku membawa pulang Bratajaya, dan Kakang Kapi Hanoman menghadapi Godayitma, maka tugas Kakang Bratasena adalah meringkus Bregakumara,” lanjut Raden Permadi.

“Cukup satu terjangan bagi Bratasena untuk menyelesaikannya,” Raden Bratasena tak mau kalah bersesumbar.

Sejurus kemudian, ketiganya melesat masuk ke istana Tawanggantungan. Raden Bratasena berjaga di depan gerbang puri tempat tinggal Raden Bregakumara. Sementara, dengan kedigdayaan Aji Ngraga Sukma, Raden Permadi masuk ke kancing gelung rambut senopati andalan Prabu Godayitma itu. Dalam sekedip mata, dia telah keluar lagi dengan membawa Dewi Bratajaya. Disusul Kapi Hanoman yang langsung masuk menggantikan posisi Dewi Bratajaya.

“Kakang Bratasena, Kakang Hanoman, tugasku selesai. Akan kubawa Dewi Bratajaya kepada Kakang Prabu Kresna di gunung Gandamana. Selesikan tugas kalian secepatnya, ringkus danawa-danawa berwatak ahangkara itu,” pamit Raden Permadi.

Dengan menggunakan Aji Prapki, Raden Permadi melesat meninggalkan istana Tawanggantungan bersama Dewi Bratajaya.

BERSAMBUNG

Heru Sang Mahadewa
Member of #OneDayOnePost

Baca cerita sebelumnya [DI SINI ]
Cerita selanjutnya [ DI SINI ]

Catatan:
Cethi = wanita yang menjadi pelayan istana.
Paricaraka = wanita yang bertugas mengajari puteri dan calon istri raja dalam tehnik olah asmara.
Ngraga Sukma = astral projection, ilmu melepaskan sukma dari raga.
Aji Panggandan = ilmu untuk mencari keberadaan seseorang melalui aroma tubuh.
Jlamprong = bulu merak, panggilan kesayangan Bratasena kepada Permadi.
Aji Prapki = ilmu yang dapat membawa tubuh pemiliknya berada di suatu tempat dalam sekejap.

0 komentar:

Posting Komentar

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *