devianart.com |
Lereng Gunung Gandamadana.
Raden
Setyaki telah sampai di sebuah bukit yang tak jauh dari astana pendharmaan
Prabu Kunti Boja. Langkahnya terhenti ketika dia mencium aroma bau tidak sedap
yang menusuk hidung.
“Asu!
Brekasakan itu sudah ada disini rupanya!” Umpat Raden Setyaki. Bau khas yang
keluar dari tubuh bangsa danawa dan dedemit itu memang berasal dari pasukan
Mregapati dan Twanggantungan yang ikut ke gunung Gandamadana untuk mencari
keberadaan Prabu Kresna.
Raden
Setyaki menghentikan langkah. Di hadapannya, kini telah berdiri Ditya
Kunjanawresa, Patih Prahastayitma dan puluhan makhluk tak karuan wujudnya.
“Hahaha
... hahaha ... hahaha ... Ternyata engkau lari ke gunung Gandamadana, pengecut!
Sekarang engkau tidak bisa menghindari kematian, Setyaki!” Sesumbar Patih
Prahastayitma.
Raden
Setyaki mundur beberapa tombak. Menghadapi dua raksasa sekaligus, disokong
puluhan dedemit, tentu membuatnya harus bertarung habis-habisan. Dia pun tidak
mau lengah lagi. Tanpa menunggu musuh menyerang, senopati Dwarawati itu
langsung mencabut Gada Lukitapati.
Sejurus
kemudian, Raden Setyaki membabatkan senjatanya ke kawanan pasukan danawa dan
dedemit yang mengepungnya. Kelebatan gada menyambar tubuh para brekasakan. Satu per satu prajurit Mregapati dan Tawanggantungan berjatuhan. Namun,
setiap kali tersungkur, dalam sekejap mereka bangkit lagi. Luka yang didera
akibat sabetan senjata senopati Dwarawati juga langsung pulih.
“Setan
alas! Dasar dedemit edan!” Raden Setyaki memaki-maki dalam hati.
Kini,
kesatria dari Lesanpura, adik dari salah satu istri Prabu Kresna, Dewi
Setyaboma itu berbalik terdesak. Ditya Kunjanawresa, Patih Prahastayitma dan
pasukannya mengeroyok Raden Setyaki. Jatuh bangun dia menghindari sergapan
musuh.
Saat keadaannya semakin terkepung, mendadak berkelebat dua bayangan yang menyambar
tubuh Raden Setyaki.
“Raden
Bratasena?” ucap Raden Setyaki.
“Aku
datang membantumu, paman,” jawab Raden Bratasena.
Di
sisi lain, Kapi Hanoman yang datang bersama Raden Bratasena langsung menghajar
pasukan gabungan Mregapati dan Tawanggantungan. Kera putih yang di jaman
Lokapala dulu menjadi makhluk paling ditakuti bangsa danawa dan dedemit itu
seperti menemukan kembali musuh lama. Tanpa ampun, dia menghabisi satu per satu
lawannya.
Melihat
amukan Kapi Hanoma yang kian merajalela, Ditya Kunjanawresa dan Patih Prahastayitma merangsek maju. Hal yang
sama juga diikuti oleh Raden Bratasena. Kini, keempatnya mengambil posisi di sebuah tanah
lapang.
Ditya
Kunjanawresa berhadapan dengan Kapi Hanoman. Sementara, Raden Bratasena
bertarung melawan Patih Prahastayitma. Pertarungan tidak berlangsung lama,
kedua putera angkat Bathara Bayu adalah lawan yang terlalu tangguh bagi dua
pemimpin danawa itu.
Dengan
Ajian Blabag Panganthol-anthol, Raden Bratasena hanya butuh dua jurus untuk
meringkus Patih Prahastayitma. Meski makhluk dedemit itu menyamarkan
wujudnya, namun tetap saja dia tak berkutik menghadapi kesatria kedua Pandawa.
Di
sudut lain, Kapi Hanoman dengan mudah dapat mengunci tubuh raja danawa
berkepala kuda, Ditya Kunjanawresa.
“Ampun,
kera putih .... jangan bunuh aku ... ampun ... aku mengaku kalah ... biarkan
aku tetap hidup,” ratap Ditya Kunjanawresa dengan tubuh membujur kaku. Kapi
Hanoman telah mematikan aliran darahnya, sehingga dia tak mampu menggerakkan sedikit
pun anggota tubuh.
“Hentikan,
Anoman. Mereka sudah tak mampu melawan. Seorang kesatria tidak diperbolehkan
melukai musuh yang tidak berdaya!”
Terdengar
suara dari jarak sekitar dua puluh tombak. Kapi Hanoman dan Raden Bratasena
sontak menghentikan amukan. Prabu Kresna, Prabu Baladewa dan Raden Permadi buru-buru
turun dari puncak gunung Gandamadana ketika mendengar keributan.
“Ditya
Kunjanawresa, Patih Prahastayitma?” Prabu Kresna dapat mengenali dua sosok
danawa yang berhasil diringkus Kapi Hanoman dan Raden Bratasena.
Melihat
kedatangan Prabu Kresna, Raden Setyaki buru-buru menghadap junjungannya,
“Sinuwun, mereka telah menyerang istana Dwarawati!”
“Aku
sudah mengetahuinya dari pawisik saat bertapa brata, Setyaki.”
“Patih
Pragota, paman Udawa dan paman Prabawa yang berjibaku menahan serangan bangsa
danawa itu. Hamba buru-buru datang gunung Gandamadana ini untuk mengabarkan kepada sinuwun,” jelas Raden Setyaki.
“Tenanglah,
Setyaki. Semua akan bisa kita selesaikan.”
Prabu
Kresna tersenyum sambil menepuk-nepuk pundak Raden Setyaki. Lalu, dia berjalan
tiga tombak ke arah Ditya Kunjanawresa dan Patih Prahastayitma yang masih
terkapar tak berdaya.
“Ditya
Kunjanawresa, kenapa engkau melakukan semua ini? Bukankah dulu aku memberimu
kesempatan hidup saat kedua kakakmu, Kunjarakresna dan Yudalakresna mendapatkan
hukuman kematian dariku?” Tanya Prabu Kresna.
“Ampun,
Kresna. Aku mengaku bersalah. Hasutan dari Prabu Godayitma telah membuatku
terpancing lagi untuk membalas dendam kematian kedua kakakku. Berilah aku
kesempatan untuk hidup. Aku berjanji akan mengabdi kepadamu,” Ditya
Kunjanawresa meratap di hadapan Prabu Kresna.
“Aku
akan mengampunimu, asalkan engkau benar-benar ingin merubah semua watak dan
perilaku. Bukan hanya itu, katakan juga apa yang telah kalian lakukan di
istana Dwarawati,” ucap Prabu Kresna.
“Tujuanku
menyerang Dwarawati hanya untuk mencarimu, Kresna. Sedangkan Prabu
Godayitma sengaja ingin mengambil Dewi Bratajaya. Kini, dia sedang dibawa ke
istana Tawanggantungan,” gemetar suara Ditya Kunjanawresa.
“Keparat!
Aku cincang tubuhmu!” Bentak Prabu Baladewa.
Seketika
wajahnya berubah warna menjadi merah menyala. Kedua tangannya terkepal, diikuti
terjangan kaki kanan yang mendarat ke perut Ditya Kunjanawresa. Putra sulung
Prabu Basudewa itu memang berwatak beringasan. Amarahnya mudah tersulut. Begitu
mendengar adik perempuannya dibawa lari bangsa danawa, sontak dia naik pitam.
“Tahan,
Kakang Baladewa. Biarlah aku yang menyelesaikan semuanya,” bujuk Prabu Kresna
menenangkan kakaknya. Penguasa Dwarawati itu lalu mendekati lagi Ditya Kunjanawresa
yang meratap-ratap minta pengampunan. Kaki, tangan dan seluruh tubuh pemimpin danawa
itu masih tetap tidak bisa bergerak, hanya mulutnya saja yang mampu berbicara.
“Ditya
Kunjanawresa, jika engkau benar-benar berjanji merubah peringaimu, maka bertapalah
di puncak Mregapati. Gunung itu masih berada di wilayah kekuasaanku, Dwarawati.
Maka, sudah menjadi kewajibanmu untuk patuh kepadaku,” ucap Prabu Kresna.
“Terima
kasih, Kresna. Aku berjanji akan melakukan semua perintahmu ini,” balas Ditya
Kunjanawresa.
“Permadi,
Bratasena, dan Kapi Hanoman, berangkatlah ke Tawanggantungan sekarang juga.
Rebut kembali Bratajaya dari tangan Godayitma dan Bregakumara!” Perintah Prabu
Kresna.
“Sendika
dhawuh, Kakang Prabu!”
Sejurus
kemudian, ketiga kesaria itu merapal mantra Aji Sepi Angin. Dalam sekejap,
tubuh mereka melesat meninggalkan Prabu Kresna, Prabu Baladewa, Raden Setyaki serta dua danawa yang masih ditawan. Ditya Kunjanawresa dan Patih Prahastayitma.
-o0o-
Istana Tawanggantungan.
Prabu
Godayitma mondar-mandir di taman istana. Dia tiada henti memeriksa setiap sudut
puri yang hendak dipersembahkan kepada Dewi Bratajaya. Puluhan cêthi dan paricaraka juga telah diperintahkan untuk menyiapkan segala
keperluan puteri yang baru saja dilarikan dari Dwarawati.
Dewi
Bratajaya sendiri saat ini sedang disembunyikan oleh Raden Bregakumara di
kancing gelung rambutnya. Ditya Kunjanawresa sadar, tak lama lagi pasti
kesatria-kesatria suruhan Prabu Kresna dan Prabu Baladewa akan mencari
keberadaan puteri mendiang Prabu Basudewa itu ke Tawanggantungan. Untuk
mengelabuhi para pengejar, dia pun mengambil siasat dengan menempatkan Dewi
Bratajaya di ruang niskala.
Hari
itu, Prabu Godayitma berniat mengeluarkan Dewi Bratajaya dari persembunyian.
Sebuah puri lengkap dengan taman indah telah selesai dipersiapkan. Raden
Bregakumara juga sudah diberi tahu bahwa tiba saatnya puteri yang sejak lama
menjadi idaman penguasa Tawanggantungan itu dipersembahkan.
Namun, Prabu Godayitma, Raden Bregakumara dan pranurit-prajurit Tawanggantungan tidak menyadari bahwa pada jarak seratus
tombak dari istana Prabu Godayitma, tiga kesatria yang diperintahkan Prabu
Kresna untuk merebut kembali Dewi Bratajaya sedang mengamati kesibukan mereka. Raden
Permadi mengajak Raden Bratasena dan Kapi Hanoman untuk menyelinap ke
Tawanggantungan melalui pintu niskala.
“Kakang
Bratasena, Kakang Hanoman, sebaiknya kita segera Ngraga Sukma. Aku akan membebaskan Dewi Bratajaya, sedangkan Prabu
Godayitma dan Raden Bregakumara menjadi bagian kalian,” usul Raden Permadi.
“Baiklah,
Permadi,” jawab Kapi Hanoman dan Raden Bratasena serempak.
Ketiganya
menyelinap ke dalam semak belukar. Lalu, masing-masing duduk bersila, mengambil
sikap padmasana. Mata mereka terpejam, bibir merapal mantra raga sukma. Semua pikiran
Raden Permadi, Raden Bratasena dan Kapi Hanoman terpusat pada titik ajna,
seiring hembusan napas yang keluar dari hidung yang kian lama kian pelan.
Tiga
sosok samar dengan perawakan mirip Raden Permadi, Raden Bratasena dan Kapi
Hanoman berjalan mendekati gerbang istana Tawanggantungan. Saking samarnya,
keberadaan ketiganya nyaris tak terlihat dengan kasat mata. Mereka adalah sukma
ketiga kesatria yang melepaskan diri dari raga.
Raden
Permadi menghentikan langkah, diikuti Raden Bratasena dan Kapi Hanoman.
Kesatria Pandawa yang baru menerima Wahyu Sejati itu kembali merapal sebuah
mantra. Kali ini dia menggunakan Aji
Panggandan untuk mencium aroma tubuh Dewi Bratajaya.
“Kakang
Hanoman, Kakang Bratasena, saat ini Dewi Bratajaya sedang disembunyikan di dalam
kancing gelung rambut Bregakumara,” ucap Raden Permadi.
“Kita
rebut sekarang, Jlamprong,” balas Raden
Bratasena.
“Jangan
gegabah, Kakang Bratasena. Kita harus menggunakan siasat agar Bratajaya tidak
tersakiti. Aku akan mengambilnya diam-diam, saat itulah Kakang Kapi Hanoman
menggantikan posisi Bratajaya di dalam kancing gelung rambut Bregakumara,”
jelas Raden Permadi.
“Akan
kuhajar Dasamuka yang ada pada raga Godayitma, begitu aku bertemu dengannya!”
Sesumbar Kapi Hanoman.
“Setelah
aku membawa pulang Bratajaya, dan Kakang Kapi Hanoman menghadapi Godayitma,
maka tugas Kakang Bratasena adalah meringkus Bregakumara,” lanjut Raden
Permadi.
“Cukup
satu terjangan bagi Bratasena untuk menyelesaikannya,” Raden Bratasena tak mau kalah
bersesumbar.
Sejurus
kemudian, ketiganya melesat masuk ke istana Tawanggantungan. Raden Bratasena
berjaga di depan gerbang puri tempat tinggal Raden Bregakumara. Sementara,
dengan kedigdayaan Aji Ngraga Sukma, Raden Permadi masuk ke kancing gelung
rambut senopati andalan Prabu Godayitma itu. Dalam sekedip mata, dia telah keluar lagi
dengan membawa Dewi Bratajaya. Disusul Kapi Hanoman yang langsung
masuk menggantikan posisi Dewi Bratajaya.
“Kakang
Bratasena, Kakang Hanoman, tugasku selesai. Akan kubawa Dewi Bratajaya kepada
Kakang Prabu Kresna di gunung Gandamana. Selesikan tugas kalian secepatnya, ringkus
danawa-danawa berwatak ahangkara itu,” pamit Raden Permadi.
Dengan
menggunakan Aji Prapki, Raden Permadi melesat meninggalkan istana
Tawanggantungan bersama Dewi Bratajaya.
BERSAMBUNG
Heru Sang Mahadewa
Member
of #OneDayOnePost
Baca
cerita sebelumnya [DI SINI ]
Cerita
selanjutnya [
DI SINI ]
Catatan:
Cethi =
wanita yang menjadi pelayan istana.
Paricaraka =
wanita yang bertugas mengajari puteri dan calon istri raja dalam tehnik olah
asmara.
Ngraga Sukma
= astral projection, ilmu melepaskan sukma dari raga.
Aji Panggandan
= ilmu untuk mencari keberadaan seseorang melalui aroma tubuh.
Jlamprong
= bulu merak, panggilan kesayangan Bratasena kepada Permadi.
Aji Prapki = ilmu yang dapat membawa tubuh pemiliknya berada di suatu tempat dalam sekejap.
0 komentar:
Posting Komentar