Rabu, 10 Mei 2017

WAHYU PURBO SEJATI (2)



devianart.com



Kahyangan Jonggringsaloka.
Puntên dalêm sèwu, pukulun. Hamba keberatan jika harus menyatu ke raga Permadi,” pinta sukma Lesmana, ketika bersama sukma kakaknya, Sri Rama dihadapkan pada Sang Hyang Manikmaya dan Bathara Narada oleh Bathara Yamadhipati, Dewata pencabut nyawa.

“Apa yang mengganjal perasaanmu, kulup?”

“Permadi ditakdirkan menjadi lêlanangé jagat. Sedangkan hamba tidak pernah sekali pun menjamah sosok bernama wanita. Semur hidup, hamba telah mengambil jalan untuk mematikan segala indera dari kenikmatan duniawi, pukulun. Jika menyatu dengan raga Permadi, itu berarti bertentangan dengan kodrat hamba selama hidup di Arcapada,” jelas sukma Lesmana.

“Turunnya sukma kalian ke Arcapada ini sudah menjadi garis takdir Dewata. Ada kalanya memang manusia akan terlahir kembali dalam raga dan watak yang berbeda dengan kehidupan dia sebelumnya, kulup,” balas Sang Hyang Manikmaya.

Nuwun agung ring pangaksama, pukulun,” sela sukma Sri Rama.

“Apakah engkau juga memiliki ganjalan di hati, kulup Rama?”

“Pukulun, dahulu semasa hidup, hamba banyak berhutang budi kepada Lesmana. Ketika istri hamba Rakyanwara Sinta hilang diculik Prabu Dasamuka, saat itu hamba benar-benar linglung, lupa diri. Lesmana dengan sabar dan setia mendampingi serta melindungi diri hamba dari segala marabahaya. Lesmana selalu menghalau binatang buas yang hendak memangsa hamba, menyingkirkan onak dan duri, bahkan berdiri di depan hamba saat hujan badai menerjang. Ketika sadar dari keterpurukan itu, hamba pernah berjanji kelak jika lahir kembali, ingin menjadi adik. Sedangkan Lesmana biarlah menjadi kakak, agar hamba bisa ganti melayani.” Sukma Sri Rama menjelaskan panjang lebar.

“Lalu, apa hubungan balas budimu dengan keberatan yang disampaikan Lesmana?” Bathara Narada ikut menyela.

“Maka dari itu, pukulun. Biarlah sukma Lesmana menyatu ke raga dari kakak Prabu Kresna, yaitu Prabu Baladewa. Biar hutang budi hamba bisa terbalas di kehidupan yang baru ini,” pungkas sukma Sri Rama.

Hari itu, Dewata menghadirkan sukma dua bersaudara, putra mendiang Prabu Dasarata, penguasa Ayodya. Sri Rama adalah titisan Bathara Wisnu, sedangkan Lesmana adalah titisan Bathara Laksmanasadu. Jalan hidup selama di Arcapada yang senantiasa memerangi angkara murka, membuat keduanya mendapat anugerah dari Sang Hyang Manikmaya setelah muksa. Anugerah itu berupa pemberian kesempatan bagi mereka untuk menitis ke manusia pilihan Dewata. Menjalani kehidupan kedua di Arcapada.

Sukma Sri Rama akan dijadikan Wahyu Purbo. Sedangkan sukma Lesmana akan menjadi Wahyu Sejati. Berdasarkan garis takdir yang telah disepakati para Dewata, kedua wahyu itu akan diturunkan kepada Prabu Kresna, penguasa Dwarawati dan Raden Permadi, kesatria Pandawa.

Bathara Narada manggut-manggut, sembari mengelus jenggot putihnya. Dewata bertubuh cebol itu tampak sedikit gamang. Permintaan Sri Rama dan Lesmana harus dipertimbangkan, batinnya. Keduanya adalah manusia yang rajin tirakat, senantiasa mendekatkan diri kepada Dewata, sehingga apapun yang menjadi permohonannya, meskipun kini sudah berada di alam sunyaruri, patut untuk dikabulkan.

“Adi Guru, tidak ada salahnya jika permintaan Rama dan Lesmana kita pertimbangkan,” saran Bathara Narada kepada Sang Hyang Manikmaya yang biasa dipanggilnya dengan sebutan adi Guru----Bathara Guru.

“Apa rencanamu, Kakang Narada?”

“Sukma Lesmana akan kubelah menjadi dua. Separuh akan menyatu ke raga Permadi, separuhnya ke raga Baladewa,” jelas Bathara Narada.

“Lakukan sekarang, Kakang Narada!”

Sekejap kemudian, dengan kekuatan niskala kedewataan, Bathara Narada membelah sukma Lesmana menjadi dua. Satu sukma dia beri nama Wahyu Wahdat, satu sukma lagi tetap bernama Wahyu Sejati, sesuai kodrat yang telah digariskan Dewata sebelumnya.

“Berangkatlah ke puncak gunung Gandamadana. Di sana, telah menunggu tiga kesatria yang akan menjadi jalan kalian untuk hidup kembali di Arcapada. Mengemban kewajiban sebagai manusia pilihan Dewata untuk menegakkan kebenaran dan memerangi ahangkara!” Sabda Sang Hyang Manikmaya.

Sêndika dhawuh, pukulun!” Jawab Wahyu Purbo, Wahyu Wadat dan Wahyu Sejati.

-o0o-

Gunung Gandamadana semakin gulita. Hanya suara dekut binatang malam yang sesekali terdengar mengusik kesunyian. Di sudut yang berbeda, tiga kesatria sedang duduk dalam sikap padmasana. Rintik hujan yang turun sejak surup lenyap di kaki cakrawala barat, mulai membasahi tanah tempat abu jenasah Prabu Kunti Boja didharmakan.

Raden Permadi khusyu’ di belakang cungkup. Sekujur tubuhnya kini telah kuyup oleh tirta cakrawala. Namun, tak sedikitpun kesatria Pandawa itu bergeming dari titik ajna.

Di serambi cungkup, penguasa Mandura, Prabu Baladewa bertelanjang dada sambil memejamkan mata. Dia semakin tenggelam dalam keheningan batin, melebur bersama seluruh nuansa hampa alam semesta. Jauh di kaki gunung Gandamadana, hiruk pikuk sepasukan danawa yang bergerak mendekati astana tempatnya bertapa brata, sama sekali tidak mengusiknya.

Dua puluh tombak dari posisi Prabu Baladewa, sang adik, Prabu Kresna juga khusyu’ dengan sikap amusthikarana. Matanya terpejam, namun bibirnya tetap menguntai senyum yang tiada pernah lekang sedikitpun.

Dalam kegelapan yang berada pada titik hening paling hening itu, seberkas cahaya melesat dari cakrawala. Ia terus bergerak menuju puncak gunung Gandamadana. Tepat di atas astana pendharmaan mendiang Prabu Kuntiboja, lesatannya pecah menjadi tiga bagian.

Satu cahaya menabrak dada Prabu Baladaewa yang bertelanjang dada. Membuat penguasa Mandura seketika terlempar hingga keluar serambi cungkup.

Cahaya kedua menelusup masuk ke garbhagriha melalui celah dinding bangunan suci itu, lalu berputar-putar mengelilingi tubuh Prabu Kresna. Pelahan, gerakannya yang lembut masuk ke tubuh penguasa Dwarawati.

Cahaya yang terakhir melesat ke belakang cungkup Prabu Kunti Boja, lalu menerjang dada Raden Permadi. Kesatria Pandawa itu mengalami nasib seperti Prabu Baladewa. Tubuhnya terlempar beberapa tombak, terhempas pada sebuah akar pohon genitri, tepat di samping tubuh Prabu Baladewa yang menggeliat-geliat kesakitan.

Seberkas sinar lain, menyusul turun dari cakrawala, lalu mendarat tepat di puncak gunung Gandamadana. Sinar yang tak lain adalah perwujudan dari Bathara Narada. Dewata yang menjadi penasehat Sang Hyang Manikmaya, penguasa Kahyangan Jonggringsaloka.

BERSAMBUNG

Heru Sang Mahadewa
Member of #OneDayOnePost

Baca cerita sebelumnya [DI SINI ]
Cerita selanjutnya [DI SINI ]

Catatan:
Puntên dalêm sèwu = mohon beribu maaf.
Pukulun = panggilan kepada Dewa.
Kulup = nak, panggilan kepada sesorang yang jauh lebih muda.
Lêlanangé = lelakinya.
Arcapada = dunia, bumi
Nuwun agung ring pangaksama = mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Sêndika dhawuh = siap laksanakan.
Genitri = elaeocarpus ganitrus, buahnya lazim digunakan untuk upacara ritual penganut Syiwa Sogata.

4 komentar:

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *