devianart.com |
Kahyangan Jonggringsaloka.
“Puntên dalêm sèwu, pukulun. Hamba keberatan jika harus menyatu ke raga Permadi,” pinta
sukma Lesmana, ketika bersama sukma kakaknya, Sri Rama dihadapkan pada Sang
Hyang Manikmaya dan Bathara Narada oleh Bathara Yamadhipati, Dewata pencabut nyawa.
“Apa
yang mengganjal perasaanmu, kulup?”
“Permadi
ditakdirkan menjadi lêlanangé jagat. Sedangkan hamba tidak pernah sekali pun menjamah sosok bernama wanita. Semur hidup, hamba telah mengambil jalan
untuk mematikan segala indera dari kenikmatan duniawi, pukulun. Jika menyatu dengan raga
Permadi, itu berarti bertentangan dengan kodrat hamba selama hidup di Arcapada,”
jelas sukma Lesmana.
“Turunnya
sukma kalian ke Arcapada ini sudah menjadi garis takdir Dewata. Ada kalanya
memang manusia akan terlahir kembali dalam raga dan watak yang berbeda dengan
kehidupan dia sebelumnya, kulup,” balas Sang Hyang Manikmaya.
“Nuwun agung ring pangaksama, pukulun,”
sela sukma Sri Rama.
“Apakah
engkau juga memiliki ganjalan di hati, kulup Rama?”
“Pukulun,
dahulu semasa hidup, hamba banyak berhutang budi kepada Lesmana. Ketika istri
hamba Rakyanwara Sinta hilang diculik Prabu Dasamuka, saat itu hamba
benar-benar linglung, lupa diri. Lesmana dengan sabar dan setia mendampingi
serta melindungi diri hamba dari segala marabahaya. Lesmana selalu menghalau
binatang buas yang hendak memangsa hamba, menyingkirkan onak dan duri, bahkan
berdiri di depan hamba saat hujan badai menerjang. Ketika sadar dari keterpurukan
itu, hamba pernah berjanji kelak jika lahir kembali, ingin menjadi adik. Sedangkan
Lesmana biarlah menjadi kakak, agar hamba bisa ganti melayani.” Sukma Sri Rama
menjelaskan panjang lebar.
“Lalu,
apa hubungan balas budimu dengan keberatan yang disampaikan Lesmana?” Bathara
Narada ikut menyela.
“Maka
dari itu, pukulun. Biarlah sukma Lesmana menyatu ke raga dari kakak Prabu
Kresna, yaitu Prabu Baladewa. Biar hutang budi hamba bisa terbalas di kehidupan
yang baru ini,” pungkas sukma Sri Rama.
Hari
itu, Dewata menghadirkan sukma dua bersaudara, putra mendiang Prabu Dasarata,
penguasa Ayodya. Sri Rama adalah titisan Bathara Wisnu, sedangkan Lesmana
adalah titisan Bathara Laksmanasadu. Jalan hidup selama di Arcapada yang
senantiasa memerangi angkara murka, membuat keduanya mendapat anugerah dari
Sang Hyang Manikmaya setelah muksa. Anugerah itu berupa pemberian kesempatan
bagi mereka untuk menitis ke manusia pilihan Dewata. Menjalani kehidupan kedua
di Arcapada.
Sukma
Sri Rama akan dijadikan Wahyu Purbo. Sedangkan sukma Lesmana akan menjadi Wahyu
Sejati. Berdasarkan garis takdir yang telah disepakati para Dewata, kedua wahyu
itu akan diturunkan kepada Prabu Kresna, penguasa Dwarawati dan Raden Permadi,
kesatria Pandawa.
Bathara
Narada manggut-manggut, sembari mengelus jenggot putihnya. Dewata bertubuh
cebol itu tampak sedikit gamang. Permintaan Sri Rama dan Lesmana harus
dipertimbangkan, batinnya. Keduanya adalah manusia yang rajin tirakat,
senantiasa mendekatkan diri kepada Dewata, sehingga apapun yang menjadi
permohonannya, meskipun kini sudah berada di alam sunyaruri, patut untuk
dikabulkan.
“Adi
Guru, tidak ada salahnya jika permintaan Rama dan Lesmana kita pertimbangkan,” saran
Bathara Narada kepada Sang Hyang Manikmaya yang biasa dipanggilnya dengan sebutan adi Guru----Bathara Guru.
“Apa
rencanamu, Kakang Narada?”
“Sukma
Lesmana akan kubelah menjadi dua. Separuh akan menyatu ke raga Permadi,
separuhnya ke raga Baladewa,” jelas Bathara Narada.
“Lakukan
sekarang, Kakang Narada!”
Sekejap
kemudian, dengan kekuatan niskala kedewataan, Bathara Narada membelah sukma
Lesmana menjadi dua. Satu sukma dia beri nama Wahyu Wahdat, satu sukma lagi tetap
bernama Wahyu Sejati, sesuai kodrat yang telah digariskan Dewata sebelumnya.
“Berangkatlah
ke puncak gunung Gandamadana. Di sana, telah menunggu tiga kesatria yang akan
menjadi jalan kalian untuk hidup kembali di Arcapada. Mengemban kewajiban
sebagai manusia pilihan Dewata untuk menegakkan kebenaran dan memerangi
ahangkara!” Sabda Sang Hyang Manikmaya.
“Sêndika dhawuh, pukulun!” Jawab Wahyu
Purbo, Wahyu Wadat dan Wahyu Sejati.
-o0o-
Gunung
Gandamadana semakin gulita. Hanya suara dekut binatang malam yang sesekali terdengar mengusik kesunyian. Di sudut yang berbeda, tiga kesatria sedang duduk
dalam sikap padmasana. Rintik hujan yang turun sejak surup lenyap di kaki
cakrawala barat, mulai membasahi tanah tempat abu jenasah Prabu Kunti Boja didharmakan.
Raden
Permadi khusyu’ di belakang cungkup. Sekujur tubuhnya kini telah kuyup oleh
tirta cakrawala. Namun, tak sedikitpun kesatria Pandawa itu bergeming dari
titik ajna.
Di
serambi cungkup, penguasa Mandura, Prabu Baladewa bertelanjang dada sambil memejamkan mata. Dia semakin tenggelam dalam keheningan batin, melebur bersama
seluruh nuansa hampa alam semesta. Jauh di kaki gunung Gandamadana, hiruk pikuk
sepasukan danawa yang bergerak mendekati astana tempatnya bertapa brata, sama
sekali tidak mengusiknya.
Dua
puluh tombak dari posisi Prabu Baladewa, sang adik, Prabu Kresna juga khusyu’ dengan
sikap amusthikarana. Matanya terpejam, namun bibirnya tetap menguntai senyum
yang tiada pernah lekang sedikitpun.
Dalam
kegelapan yang berada pada titik hening paling hening itu, seberkas cahaya
melesat dari cakrawala. Ia terus bergerak menuju puncak gunung Gandamadana.
Tepat di atas astana pendharmaan mendiang Prabu Kuntiboja, lesatannya pecah
menjadi tiga bagian.
Satu
cahaya menabrak dada Prabu Baladaewa yang bertelanjang dada. Membuat penguasa Mandura
seketika terlempar hingga keluar serambi cungkup.
Cahaya
kedua menelusup masuk ke garbhagriha melalui celah dinding bangunan suci itu,
lalu berputar-putar mengelilingi tubuh Prabu Kresna. Pelahan, gerakannya yang
lembut masuk ke tubuh penguasa Dwarawati.
Cahaya
yang terakhir melesat ke belakang cungkup Prabu Kunti Boja, lalu menerjang dada
Raden Permadi. Kesatria Pandawa itu mengalami nasib seperti Prabu Baladewa. Tubuhnya
terlempar beberapa tombak, terhempas pada sebuah akar pohon genitri, tepat di samping tubuh Prabu
Baladewa yang menggeliat-geliat kesakitan.
Seberkas sinar lain, menyusul turun dari cakrawala, lalu mendarat tepat di puncak gunung Gandamadana. Sinar yang tak lain adalah perwujudan dari Bathara Narada. Dewata yang menjadi penasehat Sang Hyang Manikmaya, penguasa Kahyangan Jonggringsaloka.
BERSAMBUNG
Heru Sang Mahadewa
Member
of #OneDayOnePost
Catatan:
Puntên dalêm sèwu
= mohon beribu maaf.
Pukulun
= panggilan kepada Dewa.
Kulup
= nak, panggilan kepada sesorang yang jauh lebih muda.
Lêlanangé = lelakinya.
Arcapada = dunia, bumi
Nuwun agung ring pangaksama
= mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Sêndika dhawuh
= siap laksanakan.
Genitri
= elaeocarpus ganitrus, buahnya lazim digunakan untuk upacara ritual penganut
Syiwa Sogata.
Semacam reinkarnasi yaaa
BalasHapusIyo Lis
HapusIni juga mau dijadiin buku Kang?
BalasHapusMasih jauh, mbakyu. Sepertinya tidak.
HapusFokus nuntasin yang dulu-dulu aja. Setahun gak selesai-selai. hhhhh