devianart.com |
Hari
yang dinanti-nanti Prabu Godayitma tiba. Raden Bregakumara dan seluruh punggawa
Tawanggantungan berkumpul di pendopo. Tak lama lagi, Dewi Bratajaya akan
dikeluarkan dari persembunyian untuk dipersembahkan.
Para
cethi dan paricaraka melaporkan bahwa mereka telah siap mengabdi kepada
Dewi Bratajaya. Wanita-wanita pelayan itu kini menunggu di puri kaputren. Tempat dimana calon istri
Prabu Godayitma akan tinggal.
“Bregakumara,
cepat keluarkan Bratajaya. Rasanya sudah tidak sabar lagi aku ingin memperistri
wanita titisan Bathari Sri Wedawati itu!” Perintah Prabu Godayitma.
“Baiklah,
Kakang Godayitma,” jawab Raden Bregakumara. Pelan-pelan, dia menarik kancing
gelung rambutnya. Sejurus kemudian, rambut panjang senopati Tawanggantungan terurai.
“Asu!”
Teriak Bregakumara ketika tiba-tiba rambutnya yang terurai dijambak seseorang.
Raden
Bregakumara terseret beberapa tombak. Tubuhnya berguling-guling, mencoba
menahan tarikan dari makhluk yang tidak tampak oleh pandangan kasat mata.
Suasana pendopo menjadi ricuh.
Belum
sempat kegaduhan itu reda, tiba-tiba dari kancing gelung rambut Raden
Bregakumara keluar seekor kera berbulu putih.
“Ka
... pi ... Ha ... no ...man?” Ternganga mulut Prabu Godayitma.
“Kali
ini aku tak akan membiarkanmu lolos, danawa!” Sesumbar Kapi Hanoman.
Pendopo
Tawanggantungan seketika gempar!
Raden
Bratasena menyeret tubuh Raden Bregakumara. Senopati berwujud dedemit itu tak
sempat membalas. Rambutnya dijambak, perut, dada dan kakinya diinjak-injak oleh
kesatria Pandawa kedua. Darah bercucuran dari bibirnya. Tak ayal, dia pun
menyerah tanpa ingin berlama-lama merasakan amukan lawan.
Di
sudut lain, Prabu Godayitma terlibat perkelahian dengan Kapi Hanoman. Sukma
Prabu Dasamuka yang menyatu di raga penguasa Tawanggantungan itu masih
setangguh yang dulu. Pukulan dan tendangan kera putih yang dulu menguburnya
hidup-hidup di gunung Ungrungan bisa dia tangkis. Bahkan, pukulan balasan
sempat juga mengenai dada musuhnya.
Namun,
kedigdayaan yang dimiliki sebuah sukma pada kehidupan keduanya, tentu tak
seperti raga aslinya dahulu. Prabu Godayitma bukanlah Prabu Dasamuka, meski
sukma penguasa Alengka ada padanya. Kapi Hanoman tetaplah sosok yang
ditakdirkan Dewata menjadi penakluknya.
Dalam
sebuah pergumulan, kesatria besar dalam Brubuh Alengka berhasil mengunci tubuh
Prabu Godayitma. Sang raja danawa tak berkutik oleh sang kera putih. Tubuhnya
diseret meninggalkan istana Tawanggantungan.
Raden
Bratasena juga melakukan hal yang sama, dia menyeret tubuh Raden Bregakumara
dengan menjambak rambutnya.
Dengan
menggunakan Aji Sepi Angin, kedua kesatria utusan Prabu Kresna membawa tawanan
mereka, Prabu Godayitma dan Raden Bregakumara menuju gunung Gandamadana.
-o0o-
“Kapi
Hanoman, Permadi dan Bratasena, kalian telah menyelesaikan tugas mulia ini.
Makhluk-makhluk berwatak ahangkara ini pantas mendapat hukuman yang setimpal,”
ucap Prabu Kresna, ketika Dewi Bratajaya, Prabu Godayitma dan Raden Bregakumara
dihadapkan kepadanya.
“Sudah
menjadi kewajibanku untuk mengabdi kepada titisan Sang Hyang Wisnu,” jawab Kapi
Hanoman.
“Begitu
pula dengan kami, Kakang Kresna. Keselamatan Dewi Bratajaya juga menjadi
tanggung jawab Pandawa,” sela Raden Permadi.
“Semoga
kebaikan kalian mendapat balasan dari para Dewata,” imbuh Prabu Kresna.
Semua
yang hadir di puncak gunung Gandamadana melakukan sembah dada. Mengharapkan
sabda dari penguasa Dwarawati didengar oleh Dewata.
“Sinuwun
Prabu Kresna, ijinkan aku untuk menghabiskan sisa umur panjangku ini dengan
mengabdi kepadamu. Berbhakti kepada Sang Hyang Wisnu di masa tuaku,” tiba-tiba
Kapi Hanoman menyembah kepada Prabu Kresna.
“Tanpa
engkau minta, garis takdir Dewata sebenarnya akan membawamu untuk menerima
tugas mulia dariku, Kapi Hanoman. Kubur kembali sukma Dasamuka yang saat ini
berada pada raga Gondayitma. Begitu pula dengan Bregakumara. Bawalah Dua
makhluk dari bangsa danawa dan dedemit ini ke gunung Kendali,” perintah Prabu
Kresna.
“Singgih,
pukulun,” sembah Kapi Hanoman. Melalui indera niskala, dia bisa melihat bahwa
sosok penguasa Dwarawati yang berdiri di hadapannya saat itu berwujud sebagai
Sang Hyang Wisnu.
“Engkau
akan ditemani kedua Pandawa ini,” Prabu Kresna menunjuk ke arah Raden Permadi
dan Raden Bratasena.
“Sendika
dawuh, Kakang Kresna,” jawab dua kesatria Pandawa nyaris bersamaan.
“Punten
dalem sewu, pukulun. Hamba belum mengetahui, dimana letak gunung Kendali?”
tanya Kapi Hanoman.
Prabu
Kresna tersenyum. Tangannya meraih sebatang sada yang berasal dari daun kelapa
kering, tak jauh dari tempatnya berdiri. Dengan kedigdayaannya, penguasa
Dwarawati titisan Sang Hyang Wisnu itu melesatkan sada jauh ke cakrawala.
“Segera ikuti sada itu. Titik dimana ia berhenti, di sanalah letak gunung Kendali!”
jelas Prabu Kresna.
Kapi Hanoman, Raden Bratasena dan Raden Permadi seketika juga melesat meninggalkan gunung Gandamadana. Ketiganya masing-masing menenteng tubuh Patih Prahastayitma, Prabu Godayitma dan Raden Bregakumara, sambil mengejar batang sada yang terbang menuju arah barat.
Di sebuah gunung yang berada di pinggiran wilayah Dwarawati, sada yang dilesatkan Prabu Kresna menukik tajam dan menancap ke tanah.
"Pasti inilah gunung Kendali," ucap Kapi Hanoman.
"Cabutlah, Kakang Hanoman. Kubur tiga danawa ini seperti titah Kakang Prabu Kresna," balas Raden Permadi.
Kapi Hanoman mencabut gunung Kendali dari akarnya dengan satu tangannya. Sementara Raden Permadi dan Raden Bratasena melemparkan tubuh tiga danawa ke kaki gunung yang telah terangkat.
Sekejap mata kemudian, Kapi Hanoman menghempaskan kembali gunung Kendali. Mengubur tubuh Patih Prahastayitma, Prabu Godayitma dan Raden Bregakumara.
Raden Permadi dan Raden Bratasena pamit pulang. Kapi Hanoman bertapa di puncak gunung Kendali, sambil menjaga sukma Dasamuka.
Sejak itu, gunung Kendali dinamakan pertapaan Kendalisada.
TAMAT
Heru Sang Mahadewa
Member
of #OneDayOnePost
Baca
cerita sebelumnya [
DI SINI ]
Catatan:
Sada = batang lidi
Kapi itu apa kang??
BalasHapusItu nama depan Hanoman, mas Ian.
HapusKapi iku monyet bunga......?
BalasHapus