http://uncleik.blogspot.co.id |
Judul:
Bahagia Mati Sebagai Anjing
Penulis:
Uncle Ik (Ahmad Ikhtiar)
Genre:
Satire
"Suara letusan dari tulang
tengkorak yang remuk memunculkan suasana baru."
Kalimat
itu yang membuat saya bergidik, ketika membaca cerpen Uncle Ik. Sejak bait pertama, adrenalin sudah dipaksa ikut berpacu
mengikuti rangkaian kata demi kata yang tajam, menyayat, perih dan sadis!
Puncaknya adalah pada adegan tokoh ‘aku’ bersama kawan-kawannya yang dilindas
panser. Mati.
Seperti
biasanya, Uncle Ik selalu menyajikan sebuah tulisan dengan pesan kemanusiaan
dan kritik sosial. Termasuk dalam cerpen Bahagia Mati Sebagai Anjing ini. Penulis mengambil setting sebuah peristiwa perang,
kejadian kelam yang kemudian berdampak pada kesengsaraan, kelaparan dan
penindasan.
Dihadirkanlah
segmen ketika sepasukan tentara yang dikiaskan sebagai algojo dan malaikat
pencabut nyawa sedang memaksa sekawanan tawanan perang (selanjutnya di-analogi-kan sebagai anjing) untuk membuka mulut (analisa saya adalah untuk berkhianat,
membocorkan rahasia, atau membelot ke kubu lawan). Tokoh ‘Amran’ dan ‘aku’ menjadi
bagian dari tawanan itu. Puncak dari sadisme
cerpen Bahagia Mati Sebagai Anjing
ini adalah ketika kekukuhan prinsip kawanan anjing itu membawa mereka pada kematian.
Seperti
itulah kisah yang dituangkan Uncle Ik
ke dalam cerpennya. Tetapi, membaca tulisan-tulisan anak muda yang memiliki kemampuan
dan pengetahuan luar biasa di dunia literasi ini, tidak bisa hanya dengan lawaran (mata atau pikiran telanjang----bahasa
Jawa). Iya, tulisan Uncle Ik memiliki kesamaan dengan sastra kuno Jawa.
Semacam Serat dan Kakawin. Bukan gaya menulisnya, tetapi terletak pada pesan
dan makna siningit----tersembunyi----yang
harus digali, dicermati dan dipecahkan untuk memahaminya. Sulit? Tentu saja.
Selesai
membaca cerpen Bahagia Mati Sebagai Anjing ini, saya menduga-duga bahwa ada
pesan siningit yang ingin disampaikan
Uncle Ik. Tidak bisa hanya dengan membaca kisah, plot dan endingnya. Tetapi
harus dipecahkan dari kacamata pikiran yang berbeda, bukan sekedar menikmati
rangkaian diksinya.
Ada
beberapa kemungkinan yang mencoba diangkat Uncle Ik, analisa saya adalah:
Pertama,
kisah ini benar-benar perang yang sebenarnya, dimana kematian tokoh ‘aku dan
Amran’ yang dihabisi oleh sekawanan tentara adalah tawanan perang. Jika begitu, berarti cerpen ini lawaran,
tidak perlu digali pesan dan maknanya.
Kedua,
setting perang yang diangkat hanyalah kiasan. Bisa jadi ia adalah retorika dari
keadaan negeri yang semakin carut marut. Perang dalam cerpen ini merupakan
kritikan atas kisruh elit politik, kemudian berdampak pada kesengsaraan dan
penindasan kepada kalangan bawah. Kalangan orang-orang pinggiran yang dikiaskan
sebagai ‘anjing terhormat’.
Ketiga,
pesan siningit dari cerpen Bahagia Mati Sebagai Anjing justru
bukan dari kemungkinan pertama dan kedua di atas. Ada makna lain lagi, yang
belum dan tidak bisa saya gali.
Iya,
membaca cerpen ini, mengingatkan saya kepada kontroversi multi tafsir sastra
Jawa. Banyak makna sesungguhnya yang belum tertangkap oleh para pembaca
literasi kuno. Uncle Ik, mampu menempatkan diri seperti pujangga-pujangga Jawa di
masa lalu itu.
Sedikit
catatan terhadap cerpen Bahagia Mati Sebagai Anjing, tidak ada clue berupa
nama tempat, waktu kejadian yang ditampilkan agar pembaca bisa mudah menangkap
pesan dan kritik sosial dari tulisan Uncle Ik ini. Misalnya sebuah kalimat yang
mengungkapkan bahwa ‘aku dan Amran’ yang digilas panser, sebelumnya digiring ke jalan Merdeka Barat, dekat Monas, atau waktu itu
adalah Mei 1998, dan sebagainya.
Terlepas
dari semua itu, cerpen ini memang layak mendapat predikat di atas rata-rata.
Selain gaya menulisnya sudah menunjukkan Uncle
Ik banget, rangkaian kalimat demi kalimat mulai prolog hingga ending selalu
membuat pembacanya bergidik.
Sudah
tentu, sayang jika dilewatkan. Baca cerita selengkapnya [ DI SINI ]
(Heru Sang Mahadewa)
Member
of One Day One Post
Terima kasih banyak, Bang Heru sudah mereview tulisan saya. Tepat sekali ada 'siningit' dalam cerita yang saya buat, tapi bukan berdasarkan sebuah peristiwa. 'siningit' ini saya analogikan untuk mewakili idealisme yang dipaksa untuk mengikuti arus zaman, tapi menolak dan lebih memilih bertahan pada prinsipnya, dan ini mewakili hampir setiap perang yang terjadi pada batin manusia.
BalasHapusSekali lagi saya ucapkan terima kasih banyak.
Ediannn ...
HapusBerarti sesuai dengan dugaan saya ketiga, ada makna siningit.
Untung bukan aku yang kebagian review uncle...
BalasHapusHaha bisa melongo dibuatnya deh cak...
Ayo nyoba ngreview tulisan uncle dong =D
HapusKerennnn!!!!
BalasHapusIya, tulisan Uncle emang kerennn.
HapusBukan review saya yg keren :p
Hehehe
Angkat topi buat review-annya Cak yg inii🌷🌷
BalasHapusAsal jangan angkat gelas terus kita bersulam. wehehehe ... :)
HapusTerima kasih sudah mampir, mbk Hikmah.
kece... kece... kece...
BalasHapustulisan uncle sudah tidak diragukan lagi kece-nya.
Hapusbukan review saya ... wehehe
manttap soul
BalasHapusAa juga mantab!
Hapus=D
Cerdas banget. Mas Heru keren.
BalasHapusMbk Na dan Uncle jauh lebih cerdas & keren!
Hapus=D :)
wehehe
Wiiih keren kali lah reviewnya
BalasHapusYang keren tulisan Uncle yang saya review =D =D
Hapuswehehehe
Reviewnya keren juga kok mas.. mendalam gitu..
BalasHapus