Kamis, 10 Agustus 2017

NAWARUCI (BHIMA SUCI) - Pupuh I




Wrekudhara (Bhima) - Dewa Ruci: photo seni wayang


Gunung Candramuka tercerabut dari akarnya!

Pohon-pohon yang tumbuh di belantara Tikbrasara tumbang tak tersisa. Tanah terkelupas dari kulit bumi. Bebatuan berguguran bersama terbaliknya wukir. Amukan Wrekudhara benar-benar membuat luluh lantak hutan seisinya.

Dari balik suara gelegar dan gemuruh porak-porandanya hutan Tikbrasara itu, muncul dua sosok danawa kembar. Mereka berambut gimbal, terurai hingga sepinggang. Dari sudut bibir keduanya, taring-taring yang tajam nampak mencuat. Mata mereka melotot, penuh dengan sorot amarah, ketika melihat ada seorang manusia berani merusak lereng Candramuka.

“Edan ... Kurang ajar, kau manusia!”

“Dia mencari mati, Kakang!”

“Haiiii ... siapa kau, manusia?”

“Aku Wrekudhara, putra Pandu dan Kunti. Katakan di mana tempat tirta pêrwita sari, atau kuremukkan sekalian tulang-tulang kalian, danawa!”

Bukannya mundur oleh kehadiran dua danawa, Wrekudhara justru balas menggertak. Murid begawan Drona itu sudah tidak sabar lagi untuk menemukan air kehidupan yang menurut gurunya ada di gunung Candramuka. Jika berhasil menemukan tirta pêrwita sari, maka Wrekudhara dikatakan telah mampu melewati ujian sebagai sisya padepokan Sokalima.

“Besar juga mulutmu, Wrekudhara! Sebesar badan kekarmu. Rupanya engkau belum tahu siapa Rukmuka dan Rukmakala!”

“Cepat katakan! Waktuku tak banyak, dêdêmit!”

“Edan tênan ... benar-benar ingin mencari mati, kau, Wrekudhara!”

“Tunggu apa lagi, Kakang Rukmuka. Kita santap mentah-mentah manusia ini!”

“Kepalanya menjadi bagianku, Rukmakala. Tangan dan kakinya, biarlah menjadi pengisi perutmu yang telah lama tidak merasakan daging manusia!”

Rukmuka dan Rukmakala serentak menerjang Wrekudhara. Seperti sudah menduga gerakan musuh-musuhnya, sang kesatria Pandawa berkelit dengan mudah. Serangan dua danawa kembar penguasa hutan Tikbrasara di gunung Candramuka pun mengenai ruang kosong.

Tak mau berlama-lama membuang waktu, Wrekudhara membalas terjangan Rukmuka dan Rukmakala. Ketika dua musuhnya itu belum sempat menata kuda-kuda, dengan cepat, kepalan tangan kanan Wrekudhara yang menyimpan kekuatan Aji Blabag Panganthol-Anthol dihantamkan ke dada Rukmuka. Seperti tersambar batu sebesar gunung, tubuh danawa berambut gimbal itu terpental sejauh seratus tombak. Tidak bergerak lagi.

Melihat kembarannya tersungkur, Rumakala berlari mengejar, lalu mengguncang-guncang tubuh Rukmuka, “Kakang, bangun ... bangunlah, jangan tidur!”

“Benar-benar tidak bisa diampuni lagi, kau, Wrekudhara!”

Rukmakala membuka mulutnya lebar-lebar. Dia memamerkan barisan taring yang tajam dan berkilat-kilat. Siapa saja yang terkena gigitannya, bisa dipastikan seperti tersayat-sayat bilahan keris dan tombak.

“Jangan kau kira aku akan mundur, dêdêmit!”

Wrekudhara justru justru mendahului gerakan musuhnya yang sedang sesumbar. Kelebatan dua kaki yang kokoh bagai tiang-tiang penyangga gapura Amarta mendarat di perut Rukmakala. Seketika, danawa itu terjengkang tiga langkah ke belakang. Belum sempat bangun, sebuah tendangan berkekuatan gunung Candramuka kembali menghajar tubuh Rukmakala.

Bunyi gemelegar menandai tumbangnya Rukmakala yang dihantamkan Wrekudhara ke dinding sebuah tebing jurang di rimba Tiktabrasa. Dua danawa kembar terkapar tak berdaya oleh amukan kesatria Pandawa.

Belantara Tikbrasara kembali sunyi. 

Makhluk-makhluk penghuni hutan di lereng gunung Candramuka itu telah lari tunggang langgang. Tiada satu pun yang berani menampakkan diri di sana. 

Kini, tinggal Wrekudhara seorang diri. Dengan perasaan yang masih diselimuti kekecewaan akibat gagal menemukan tirta perwita sari, dia menyandarkan tubuhnya pada sebatang pohon beringin tua.

Sebuah hembusan angin yang berasal entah dari arah mana, membelai rambut Wrekudhara. Menyingkapnya hingga nampak kedua daun telinga yang semula tertutupi uraian rambut. Hembusan itu, kian lama kian berdesis. Semakin besar hingga suaranya terdengar menusuk gendang telinga sang kesatria Pandawa yang baru saja meluluh-lantakkan Candramuka.

"Kulup Wrekudhara, pulanglah. Tirta pêrwita sari tidak ada di gunung Candramuka ini." 

Wrekudhara menyipitkan mata. Dipasangnya tajam-tajam dua daun telinga untuk mendengar suara yang baru saja dia tangkap.

"Siapa kau, suara tanpa rupa?"

"Tidakkah engkau mengenali hembusan angin ini, kulup?"

"Hembusan angin?" 

"Iya, kulup." 

"Angin? Angin adalah Bayu. Benarkah kau adalah ayahanda Bathara Bayu?" 

"Benar, kulup. Air suci kehidupan yang sedang engkau cari, tak ada di tempat ini. Pulanglah. Meski bumi dibelah pun, ia tak akan pernah kautemukan di Candramuka." 

Suara yang datang melalui hembusan angin itu, rupanya adalah Bathara Bayu. Dewata yang dahulu telah meniupkan roh keturunan ke rahim Dewi Kunti saat mengandung Wrekudhara, sengaja mendatangi putranya di gunung Candramuka. Dia tahu bahwa Wrekudhara salah mengartikan hakekat tirta pêrwita sari.

"Baiklah, aku akan pulang untuk menemui begawan Drona, pukulun."

Wrekudhara mengangkat sembah, lalu melesat meninggalkan hutan Tiktabrasa di gunung Candramuka dengan menggunakan Aji Sepi Angin.

-o0o-

Amarta bukanlah sebuah negeri besar. Bekas hutan wanamarta yang dibuka oleh lima putra Pandu, lebih tepat disebut sebagai kabuyutan. Luas wilayahnya hanya seperseratus dari Astina, negeri besar yang dulu tahtanya dipegang oleh ayah para Pandawa. Kini, sepupu mereka, Doryudana yang menduduki singgasana Astina.
 
Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, Amarta yang baru saja berdiri, diselimuti gulita yang membekap sejak sang bagaskara tenggelam di kaki cakrawala. Di Bale Manguntur, beberapa oncor terlihat menyala. Pandangan yang tertutup pekat, sedikit bisa menyasar pemandangan meski samar-samar. Nyala oncor sesekali berkelebatan ketika hembusan angin menerpanya. Lima bayang-bayang yang ditimbulkan oleh kilatan cahaya oncor, nampak sedang berkumpul di bangunan beratap daun ilalang. Bayang-bayang tubuh yang saling berhadapan duduk melingkar itu tak lain adalah lima Pandawa, Puntadewa, Wrekudhara, Arjuna, Nakula dan Sadewa.

"Sudahlah, Yayi Wrekudhara. Lupakan saja air suci itu." 

"Tidak, Kakang PambarêpPuntadewa. Ke ujung bumi pun, aku akan mencari tirta pêrwita sari sampai ketemu. Amanah guru, harus kita jalankan. Meski nyawa taruhannya."

Wrekudhara bersikukuh akan melanjutkan pengembaraan mendapatkan air suci kehidupan. Perintah begawan Drona, baginya adalah kewajiban yang harus dipenuhi sebagai wujud bhakti seorang murid kepada guru. Puntadewa, Arjuna, Nakula dan Sadewa pun akhirnya pasrah menghadapi kebulatan tekad Wrekudhara. 

"Biarlah aku ikut bersamamu mencari air suci itu, Kakang Wrekudhara." 

"Aku juga ikut."

"Aku juga."

"Tidak, Jlamprong. Aku sendiri yang akan mencarinya. Tugasmu adalah melindungi Amarta. Begitu pula dengan kalian, Nakula dan Sadewa. Tetaplah di sini untuk menjaga Kakang Puntadewa." 

Wrekudhara menyembah Puntadewa, lalu menepuk-nepuk pundak ketiga adiknya. Sesaat kemudian, dia melangkah keluar dari Bale Manguntur Amarta, menuju Astina yang berjarak puluhan ribu tombak.


- BERSAMBUNG -

(Heru Sang Mahadewa)
Member of One Day One Post

Catatan:
Wukir = gunung
Danawa = raksasa
Tirta pêrwita sari = air suci kehidupan, jati diri manusia
Sisya = murid
Dêdêmit = jenis makhluk halus, jin
Aji Blabag Panganthol-Anthol = ilmu berkekuatan gunung
Aji Sepi Angin = ilmu berlari secepat kilatan cahaya
Bale Manguntur = pendopo, gedung pertemuan
Oncor = obor
Yayi = Dik, panggilan kepada adik
Pambarêp = sulung
Jlamprong = panggilan Arjuna oleh Wrekudhara

3 komentar:

  1. Berasa nonton kejadiannya di depan mata

    BalasHapus
  2. Iya, Bang Heru luar biasa menggambarkan gesture tokoh waktu pertarungan tadi, serasa menyaksikan secara langsung, good job, Bang

    BalasHapus

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *