photo: satujam |
Kahyangan
senja itu merekah. Aroma kembang wijayakusuma dari taman langit menyeruak.
Mengelindap. Semerbak. Kemudian angin membawanya terbang mengelilingi dua
dewa-dewi yang sedang kasmaran di sana. Bathara Guru, sang Mahadewa, raja dari para
Dewa bercengkerama dengan permaisurinya, Bathari Durga. Meski jati
diri aslinya adalah seorang danawa----raksasa, Bathari Durga memiliki paras yang cantik jelita.
Sekejap
kemudian, keduanya berkelana di atas samudera dengan menaiki tunggangan
bernama Lembu Andini. Dalam
kelana itu, Bathara Guru terpesona oleh kecantikan sang permaisuri, sehingga
timbul hasrat untuk berpadu asmara. Bathari Durga malu dan menolak. Jatuhlah
benih dari Bathara Guru, lalu menetes ke lautan.
Samudera
di Nusatembini bergolak! Gelombang pasang tiba-tiba datang mengamuki semua
makhluk yang ada di sana.
Benih
sang Mahadewa berubah menjadi bara api. Air laut seketika mendidih. Seluruh
penghuni lautan gempar dan lari tunggang langgang.
Karena
kedigdayaan Bathara Guru, benih yang jatuh di tengah lautan itu hidup dan
tumbuh menjadi sosok makhluk menakutkan. Kian lama kian besar hingga berwujud
raksasa. Naiklah ia ke Kahyangan Suralaya untuk menemui para Dewa.
Dia
diterima oleh Bathara Guru dan diakui sebagai anaknya, lalu diberi nama
Kalarandya karena lahirnya bersamaan datangnya candikkala----senjakala. Dia dipanggil dengan sebutan Bathara Kala.
Suatu
hari ketika sedang memasak, jari Bathari Durga teriris hingga tak sengaja
darahnya menetes ke makanan yang ia masak. Bathara Kala segera menolong
membalut luka itu, lalu sebisanya membersihkan darah yang tercampur masakan.
Ketika
makanan itu disajikan ke putranya, Bathara Kala melahapnya tak tersisa.
“Masakan
ibunda hari ini terasa istimewa, ada sesuatu yang belum pernah kurasakan
sebelumnya.”
“Oh,
aku tahu ini karena tetesan darah tadi!” Berarti darah itu rasanya enak! Mulai
sekarang aku akan memangsa manusia!” muncul niat buruk dari Bathara Kala.
“Jangan
putraku! Kamu tidak boleh memangsa manusia!” Cegah Bathari Durga.
Bathara
Kala tetap bersikukuh ingin segera turun ke bumi untuk mencari mangsa manusia.
Bathari Durga pun melaporkan kejadian itu kepada Bathara Guru.
Untuk
mengelabuhi dan mencegah tindakan putranya, Bathara Guru memberi nasehat dan
syarat bahwa tidak semua manusia boleh dimangsa. Hanya manusia yang termasuk
jenis sukerta yang boleh dimakan oleh Bathara Kala. Sang
penguasa Kahyangan juga memberi tanda dengan menuliskan rajah pada dahi, punggung dan rongga mulut putranya sebelum turun
ke bumi.
“Engkau
boleh memangsa manusia sukerta hanya
saat surya tumumpang arka----matahari
tepat diatas kepala atau tengah hari!” tutur Bathara Guru.
"Ingat-ingat
Kala, jika ada seseorang yang bisa membaca rajah yang telah kutulis di dahi, punggung
dan rongga mulutmu, engkau harus tunduk, karena dia adalah utusanku. Sekarang
pulanglah ke Nusatembini, tempatmu dilahirkan. Tinggallah disana!" tutur
Bathara Guru.
“Budhal----berangkat!”
Bathara
Kala menyanggupi wewaler----aturan----yang
disyaratkan kepadanya. Dia pun langsung melesat turun ke bumi untuk memburu
jenis-jenis manusia sukerta yang
disebutkan oleh Bathara Guru.
Menyadari
bahwa tindakan putranya salah, Bathara Guru menyuruh Bathara Narada agar
memerintahkan Bathara Wisnu menyusul
turun ke bumi untuk mencegah tindakan Bathara Kala.
Bathara
Wisnu menyamar menjadi seorang dalang wayang kulit dengan nama Kandhabuana, Sejati, dan Sampurnajati. Dia juga ditemani oleh
Bathara Narada yang menyamar sebagai panjak
kendang----penabuh kendang----dan Bathara Brahma yang menyamar
sebagai panjak gender----penabuh salah satu jenis gamelan Jawa.
Sampai
di Arcapada, dalang Khandabuana bersama rombongan mempromosikan diri sebagai orang
yang bisa menolak bala atau kala----kesialan,
bencana, musibah----bagi siapa saja yang membutuhkan pertolongan mereka.
-o0o-
Tersebutlah
mbok rondo----janda tua----yang tinggal di desa Medang Kawit. Dia memiliki
seorang anak tunggal bernama Joko
Jatusmati. Pada surya tumumpak
arka----tengah hari, atas perintah ibunya, pergilah Joko Jatusmati ke danau
Madirda.
Di
tengah perjalanan, Joko Jatusmati bertemu Bathara Kala. Karena termasuk jenis
manusia sukerta, Bathara meminta agar
Joko Jatusmati bersedia dijadikan mangsa.
Joko
Jatusmati pun lari tunggang langgang menyelamatkan diri. Dalam pelarian, pemuda
Medang Kawit itu bersembunyi diantara sekelompok orang-orang yang sedang
bekerja mendirikan rumah. Tetapi Bathara Kala bisa menemukan. Lalu terjadi
kejar-kejaran di dalam rumah itu hingga roboh.
Joko
Jatusmati kembali melarikan diri. Pemuda itu bersembunyi di sebuah dapur orang,
disinipun kembali terjadi kejar-kejaran sehingga menyebabkan dandang----panci untuk menanak nasi----roboh.
Kembali
Joko Jatusmati lari keluar rumah. Dalam usahanya mengejar pemuda itu, Bathara
Kala terjatuh karena terlilit batang waluh----jenis tanaman sayuran----yang tumbuh di halaman. Dia pun kehilangan
jejak buruannya.
Bersamaan
dengan itu, tak jauh dari Medang Kawit ada sebuah pertunjukan wayang kulit oleh
dalang Kandhabuana. Dia sedang menggelar pentas atas permintaan seorang
penduduk bernama Buyut Wangkeng yang
sedang meruwat----membersihkan bala atau kesialan----putrinya
bernama Rara Pripih yang
baru saja cerai dari suaminya di saat usia pernikahannya baru terhitung
beberapa hari.
Pada
pagelaran wayang kulit itu, banyak sekali orang yang menonton. Diantara
kerumunan penonton, tampak pula Joko Jatusmati dan juga Bathara Kala.
Misi
dari Bathara Wisnu untuk menarik perhatian Bathara Kala berhasil.
Bathara
Kala hendak memangsa Joko Jatusmati, tetapi dicegah oleh dalang Kandhabuana.
Terjadi debat antara jelmaan Bathara Wisnu dengan putra Bathara Guru,”Kau boleh
memakan manusia itu, tetapi berikan aku waktu untuk memberitahumu tentang satu
hal!”
“Apa
itu?”
“Di
dahimu tertulis kawruh sejatine urip----pelajaran
tentang hakikat kehidupan, rajah itu adalah penanda bahwa engkau tercipta dari
hawa nafsu yang tidak bisa dikendalikan. Akibatnya, engkau tumbuh menjadi sosok
yang senantiasa membikin musibah di muka bumi, karena mengedepankan nafsu
angkara. Pulanglah sekarang, kulup!”
Bathara
Kala ingat pesan Bathara Guru. Dia menyadari bahwa sedang berhadapan dengan
utusan ayahnya dari Kahyangan.
Sesaat
kemudian, turun pula Bathari Durga ikut membujuk putranya agar mau kembali ke
asalnya. Samudera di Nusatembini.
“Aku jaluk sangu----aku minta bekal!”
ucap Bathara Kala sebelum lenyap meninggalkan Medang Kawit.
-o0o-
Sekembalinya
dari Bumi memburu manusia jenis sukerta, Bathara Kala berhasrat mendapatkan Tirta Amerta Sari----air keabadian,
karena ingin menjadi Dewata yang hidup kekal seperti yang lain.
Keinginan
Bathara Kala tidak disetujui oleh ayahnya, Bathara Guru. Alasan sang penguasa
kahyangan itu adalah putranya tercipta dari sifat buruknya yang tidak mampu
mengendalikan hawa nafsu atas pesona Bathari Durga, sehingga Bathara Kala
berperingai buruk pula.
Bathara
Kala kecewa. Diam-diam, dia menyusup ke telaga Tirta Amerta Sari yang terletak
di tengah jarak matahari dan bulan.
Bathara
Kala berhasil mendapatkan air keabadian. Nahas, di tengah perjalanan, Bathara
Surya dan Bathari Candra memergokinya. Dewata penguasa matahari dan bulan itu langsung
melaporkan perbuatan Bathara Kala kepada ayahnya.
Bathara
Guru segera memerintahkan Bathara Wisnu untuk merebut Tirta Amerta Sari sebelum
Bathara Kala meminumnya.
Tak
mau menunda-nunda waktu, Bathara Wisnu segera menyisir seluruh wilayah kahyangan
dan akhirnya bertemu Bathara Kala di balik awan hitam.
Saat
itu Bathara Kala baru saja meminum Tirta Amerta Sari. Sebelum air keabadian sampai
di tenggorokan dan tertelan, Bathara Wisnu melemparkan senjata Cakra dan tepat
mengenai leher Bathara Kala.
Maka
terpenggallah kepala Bathara Kala. Tubuhnya jatuh ke bumi dan hancur
berkeping-keping, sedangkan kepalanya gentayangan di langit dan abadi karena
sudah sempat terkena Air Keabadian.
Sejak saat itu hingga sekarang, Bathara Kala di-visual-kan sebagai sosok kepala
tanpa leher dan badan.
Bathara
Kala lalu bersumpah akan memangsa Bathara Surya dan Bathari Candra jika kelak bertemu.
Namun, ketika matahari atau bulan ditelan melalui mulut Bathara Kala, keduanya
akan dapat keluar lagi melalui leher yang sudah putus.
Heru
Sang Mahadewa
Member
of One Day One Post
Catatan
:
Samudera
Nusatembini, kini dipercaya sebagai wilayah Karimun Jawa.
Saat
terjadi gerhana, konon Bathara Kala sedang melampiaskan murkanya kepada dewata
penguasa bulan atau matahari. Dia menelan utuh-utuh ketika bertemu salah satu
dari Bathara Surya dan Bathari Candra. Namun, karena hanya tinggal kepala, mereka
pun akan keluar lagi melalu leher Bathara Kala yang telah terpotong.
gambar: petouring |
Ketika
bulan atau matahari mengalami fase penumbra, saat itulah Bathara Kala mulai
menggigit, disusul fase umbra, di mana bulan atau matahari telah tertelan ke
mulut putra sang Bathara Guru.
Sedangkan
fase akhir umbra dan fase akhir penumbra adalah momen ketika bulan atau
matahari telah keluar dari leher Bathara Kala.
Belive it or not?
0 komentar:
Posting Komentar