Wrekudhara (Bhima) - Dewaruci: photo seni wayang |
Bau wangi yang timbul
dari kepulan asap kemenyan menusuk ke lubang hidung. Setiap hari, aroma asthanggi itu senantiasa memenuhi seluruh
ruangan rumah yang terletak di seberang kedhaton Astina. Sebuah prapen yang ada di sudut halaman, tak
pernah padam sebentar pun.
Seorang lelaki paruh
baya duduk bersila di tengah wandapa rumah itu. Dia bertelanjang dada, hanya
mengenakan selembar kain wastra
berwarna kuning yang tersampir di pundak. Rambutnya nampak rapi, digelung di atas
ubun-ubun. Dari jumlah lingkaran gelungan rambut itu, terlihat bahwa dia sudah
mencapai takaran ilmu tingkatan Begawan. Iya, semakin banyak jumlah gelungan,
menandakan semakin tinggi tingkat lelaku batin seseorang. Lelaki itu diam
sembari memejamkan mata. Seuntai tasbih dari biji kayu cendana berputar-putar
di jemari tangan kanannya.
“Masuklah kemari. Duduk
di dekatku, Wrekudhara.”
“Iya, begawan.”
Sungguh
mencengangkan. Dengan mata terpejam pun, lelaki paruh baya yang tak lain adalah
Begawan Drona itu dapat mengetahui kedatangan Wrekudhara, meski sang murid
masih berada di depan gapura rumahnya. Pelan-pelan, dia membuka mata, lalu
merapikan kain wastra yang sedikit bergeser dari pundaknya.
“Apakah kau sudah
mendapatkan tirta perwita sari, Wrekudhara?”
“Maafkan muridmu,
begawan. Aku belum menemukan air suci kehidupan itu di gunung Candramuka. Seisi
belantara sudah kuobrak-abrik. Tetapi setetes pun ia tidak ada di sana.”
“Terlambat,
Wrekudhara.”
“Maksud Begawan?”
“Saat engkau tiba di
hutan Tikbrasara, sesungguhnya tirta perwita sari telah lenyap dari lereng
gunung Candramuka itu.”
“Lalu, kemana lagi
aku harus mengejarnya, Begawan?”
“Saat ini, tirta
perwita sari telah berada di pusar samudera Minang Kalbu. Jika engkau mampu
menembus gelombangnya, maka di sanalah air suci kehidupan itu akan kaudapatkan,
Wrekudhara.”
“Mohon restumu,
Begawan. Aku berangkat!”
Tanpa menunggu
sepenggalan waktu, Wrekudhara langsung berdiri dari wandapa. Berpamitan. Dia
melakukan sembah dada, lalu melesat meninggalkan kediaman Begawan Drona.
-o0o-
Samudera Minang Kalbu
terhampar luas di belahan bumi selatan. Sejauh mata memandang, hanya gulungan
ombak setinggi gunung Jamurdipa yang nampak. Ombak-ombak itu terus membabi buta
menabrakkan diri ke kiri dan kanan, menghantam batu karang dan ombak yang lain.
Akibatnya, benturan-benturan dahsyat gelombang samudera Minang Kalbu
menimbulkan deburan yang bergemuruh. Suara yang ditimbulkannya pun bagai auman
makhluk paling seram di jagad raya. Jalma
moro jalma mati. Siapapun manusia yang berani datang ke sana, pasti kehilangan
nyawa.
Wrekudhara menapakkan
kaki di bibir pantai Minang Kalbu. Sejurus kemudian, dia berjalan
mengampiri hempasan gelombang yang tiada henti menggampar pasir putih di tepi
samudera.
Selangkah demi
selangkah, Wrekudhara terus berjalan ke tengah samudera Minang Kalbu. Hantaman
ombak yang datang silih berganti menerpa tubuhnya, sedikitpun tidak membuat
kesatria Pandawa itu terhempas. Namun, dia nyaris terseret ketika tiba-tiba
kakinya merasakan ada sesuatu yang membelit.
Wrekudhara menjejakkan
kaki, lalu menendangkan ke deburan ombak sekuat tenaga. Seketika, gelombang
samudera Mianang Kalbu terpecah. Di tengah hamparan lautan yang tersingkap itu,
nampak seekor naga meliuk-liuk memamerkan tubuh besarnya. Mata sang naga
berwarna merah menyala. Lidahnya menjulur-julur sepanjang sepuluh depa manusia.
Sepasang taring yang tajam juga menyeringai di kedua sudut mulutnya.
“Siapa kau, manusia
malang?”
“Aku tidak punya
urusan denganmu, naga tua.”
“Besar juga nyalimu,
berani menceburkan diri ke samudera Miang Kalbu. Rupanya engkau telah bosan
hidup, manusia!”
“Siapa juga, kau,
naga sombong. Jangan berpikir Wrekudhara takut dengan gertakanmu!”
“Aku Naga Percola,
penguasa samudera raya!”
Naga Percola
mendesis-desis sambil menjulurkan lidahnya. Air liur berkeliaran dari juluran
lidah berwarna merah itu. Rupanya, ia sudah tak sabar memangsa sosok manusia yang
ada di hadapannya. Tanpa menunggu berlama-lama, Naga Percola langsung menerkam
Wrekudhara. Tubuhnya meliuk-liuk dengan garang, lalu membelit kaki dan tangan
Wrekudhara.
Beberapa saat,
Wrekudhara berusaha berontak dari kepungan tubuh Naga Percola. Tetapi semakin
keras dia melawan, semakin kuat pula lilitan binatang buas penguasa samudera Minang
Kalbu itu. Kini, mulut sang naga bahkan telah terbuka lebar-lebar di atas
kepala Wrekudhara.
Wrekudhara adalah
kesatria yang di dalam tubuhnya menyatu kekuatan Dasamuka. Berbagai lawan dari
berbagai makhluk sudah pernah dia hadapi. Mengalami ancaman situasi seperti
belitan Naga Percola, tentu membuat putra angkat Bathara Bayu yang sudah banyak
memiliki pengalaman bertanding itu segera bertindak.
Sekedip mata sebelum
mulut Naga Percola menyasar kepala Wrekudhara, Aji Blabag Panganthol-Anthol
membuat lilitan tubuh binatang buas itu terlepas. Dengan kekuatan sebesar
gunung Jamurdipa, Wrekudhara membanting tubuh lawannya.
Naga Percola mengaum
kesakitan!
Tak pernah
terbayangkan sebelumnya, musuh yang sudah tak berdaya dan tinggal ditelannya
justru mampu membuat ia terhempas. Dengan menahan rasa sakit di sekujur
tubuhnya, Naga Percola kembali menerjang Wrekudhara. Tetapi kali ini sang
kesatria Pandawa telah siap menangkis.
Hantaman Naga Percola
bertabarkan dengan tubuh Wrekudhara yang telah dilambari Aji Blabag
Panganthol-Anthol. Gemelegar suara terdengar dari benturan dua kekuatan yang
dahsyat itu. Seketika, ombak di samudera Minang Kalbu terhenti.
Wrekudhara semakin
terpancing amarahnya. Kuku Pancanaka pemberian Bathara Bayu, dia keluarkan dari
kedua ibu jari. Ketika Naga Percola menyeringai memamerkan taring dengan
membuka mulut lebar-lebar, saat itulah Wrekudhara menghunjamkan Kuku Pancanaka.
Sang penguasa samudera Minang Kalbu menjerit, darah mengucur dari rongga mulut yang
terluka. Dia mengerang kesakitan.
Tidak berhenti sampai
di situ. Wrekudhara menarik ekor Naga
Percola yang menggelepar-gelepar kesakitan. Dengan Kuku Pancanaka pula, dia
merobek mulut binatang buas yang tadi nyaris memangsanya.
Gerakan Wrekudhara
yang mengakhiri hidup Naga Percola itu memantulkan bayangan hingga ke
cakrawala. Kekuatan bayangan itu pula yang seketika membentur matahari, bulan, dan jutaan bintang di atas sana.
Tubuh Naga Percola
tersobek menjadi dua bagian, mulai dari mulut hingga ujung ekornya. Begitu
kuatnya Wrekudhara merobek mulut musuhnya, membuat tubuhnya ikut terpental
pula. Dia terhempas tepat ke pusaran samudera Minang Kalbu.
Wrekudhara berusaha
melawan tarikan pusaran samudera. Namun, kekuatannya seperti hilang ketika
tubuhnya tenggelam semakin dalam ke dasar samudera Minang Kalbu. Hanya gelap
yang dia lihat. Setelah itu, dia tak bisa lagi melihat apa-apa.
-o0o-
Ketika membuka mata,
Wrekudhara melihat sesosok makhluk kerdil sedang berdiri di hadapannya. Ukuran
tubuh makhluk itu tak lebih besar dari telapak tangan Wrekudhara. Anehnya,
wajah, pakaian dan perhiasan yang dikenakannya semua sama dengan Wrekudhara.
“Siapa engkau?”
“Tidak perlu kautahu,
siapa aku, kulup.”
“Kenapa engkau berada
di sini?”
“Engkau yang
membawaku, kulup.”
“Aku tidak mengerti
dengan ucapanmu. Aku sedang mencari tirta perwita suci. Menurut Begawan Drona,
guruku, ia ada di pusaran samudera Minang Kalbu ini. Apakah engkau juga
penghuni tempat ini?”
“Tidak. Aku tinggal
dan hidup ke mana pun engkau pergi.”
“Kenapa engkau
mengenakan pakaian seperti aku? Kain Poleng Bang Bintulu, Sumping dan ....
engkau juga memiliki Kuku Pancanaka?”
“Ketahuilah, kulup
Wrekudhara. Aku adalah Hyang Acintyapranesa. Perwujudan suksma sejatimu dalam sosok
Hyang Nawaruci. Apa yang sedang engkau cari, ada dalam dirimu sendiri.”
Wrekudhara mengangkat
sembah, ketika sosok kerdil di hadapannya mengaku sebagai sebagai perwujudan seorang
Dewata.
“Aku benar-benar
tidak mengerti, pukulun.”
“Tirta perwita sari
adalah air untuk membersihkan jiwa-raga manusia, menyingkapkan tirai besar yang
menutupi suksma sejati. Saat ini, engkau masih hidup dengan suksma dan nafs semata. Belum menyatu dengan suksma sejati. Air suci itu sendiri, akan kaudapatkan jika
telah kautemukan jejak angsa di dalam air, dan kaupetik kembang yang tumbuh
mekar di cakrawala.”
“Kemana aku harus
mencarinya, pukulun?”
“Masuklah ke tubuhku,
kulup.”
“Bagaimana caranya?
Tubuhmu hanya sebesar telapak tanganku.”
“Bumi pun sanggup aku
tampung ke dalam tubuhku. Sekarang masuklah melalui telingaku.”
Tak kuasa menolak
kehendak Sang Hyang Nawaruci, Wrekudhara melesat ke dalam telinga kiri Dewata
yang ada di hadapannya. Sekejap kemudian, Wrekudhara menyatu dengan tubuh
perwujudan Hyang Acintyapranesa dalam sosok Nawaruci. Dia kembali melihat
samudera Minang Kalbu terhampas luas di hadapannya. Aneh. Tak ada segulung pun ombak
yang menakutkan di sana. Rupanya inilah yang tadi diwejangkan kepadanya.
Kejadian itu menjadi
penanda bersatunya Wrekudhara ke dalam jiwanya sendiri. Dia telah berhasil
menemukan tirta perwita sari, berupa kecermelangan awal. Kecermelangan hati
yang sebelumnya redup karena tertutup nafs
saat Wrekudhara terlahir ke dunia. Ketika menyatu dengan Nawaruci itulah, maka
nafs-nya telah melebur ke dalam suksma sejatinya.
(Heru
Sang Mahadewa)
Member of One Day One
Post.
Catatan:
Asthanggi = kemenyan
dengan ramuan khusus sehingga berbau harum
Prapen = tempat
membakar dupa
Wastra = kain
selempang tubuh
Jalma moro jalma mati
= manusia datang manusia mati, peribahasa Jawa
Kulup = nak,
panggilan Dewata kepada manusia
Pukulun = panggilan
kepada Dewata
Suksma = jiwa
Nafs = nafsu
Suksma sejati = ruh
manusia
Kisah Nawaruci,
dikenal juga sebagai Dewaruci, Bhimasuci, adalah momen penganugerahan gelar
Wrekudhara sebagai Sang Angkusprana
(sang pendorong napas kehidupan). Kisah klasik ini adalah lakon carangan----pegembangan cerita----dari epos
Mahabharata oleh Mpu Syiwamurti di masa-masa akhir Majapahit.
Dalam mitologi Jawa, gugusan galaksi Bimasakti terbentuk karena kekuatan bayangan pertarungan Wrekudhara (Bhima) dengan Naga Percola yang memantul ke cakrawala dan membentur benda-benda langit di atas sana.
Kisah ini juga
dipercaya sebagai penuturan perjalanan spiritual Syech Malayakusuma ketika
bertemu dengan Nabi Kidlir di tengah samudera, sehingga Syech Malayakusuma
mendapatkan mukasyafah yang luar
biasa. Berupa wejangan penyingkapan tabir jati diri manusia.
Syech
Malayakusuma tak lain adalah Susuhunan (manusia mulia, biasa dipendekkan menjadi
Sunan) Kalijaga.
0 komentar:
Posting Komentar