Senin, 12 September 2016

CATATAN MUDIK LEBARAN HAJI 1437 H

Akhir pekan kemarin, ribuan atau bahkan jutaan para perantau melakukan ritual yang tak kalah sakral dari peristiwa satu setengah bulan sebelumnya (mudik Idul Fitri), berbondong-bondong pulang kampung demi merayakan Hari Raya Idul Adha di tanah kelahiran.

Terasa istimewa.

Pertama, Lebaran Haji tahun ini jatuh bersambung dengan libur akhir pekan, sehingga cuti menjadi lebih panjang.

Kedua, inilah untuk kali pertama pemerintah melalui Kemenhub dan Satlantas Polri memberlakukan kebijakan seperti saat arus mudik lebaran Idul Fitri.

Kendaraan angkutan barang dengan mesin bersumbu dua atau lebih, dilarang beroperasi mulai tanggal 9 hingga 12 September 2016.

Luar biasa!

Patut kita apresiasi langkah Pemerintah merespon kejadian macet nasional tahun sebelumnya. Tidak ada lagi suudzon terhadap pejabat yang dianggap kurang peka terhadap fenomena mudik di Indonesia. Apalagi berbuntut pengkambing hitaman atas kemacetan parah itu.

Sabtu siang, saya berangkat dari Surabaya (tepatnya pinggiran kota Delta Sidoarjo) dengan mengambil jalur Gedangan – Sukodono – Krian. Sengaja menghindari Bundaran Waru karena trauma pernah terjebak disana selama 3 jam dalam moment mudik seperti ini.

Ramai lancar.

Sampai di Krian, titik pertemuan dari beberapa jalur alternativ, terjadi masalah klasik. Laju motor saya, juga kendaraan yang lain melambat. Bahkan nyaris tidak bergerak dan menjurus macet. Penyebabnya sederhana, di ujung depan sana terdapat iring-iringan dua truk gandeng bermuatan penuh. Entah apa barang yang dibawa.

Bukankah sudah dilarang?

Kenapa masih saja ada orang yang melanggar aturan?

Ah, mungkin si bapak sopir adalah tulang punggung keluarganya. Kalau hari itu beliau tidak bekerja mengemudikan truk gandengnya, siapa tahu anak dan istrinya di rumah berkekurangan?

Saya mencoba meredam kejengkelan dengan menyikapi dari sisi hati yang lain.

Sesaat kemudian semua kendaraan berhenti total. Dua truk gandeng itu mencoba belok ke arah pasar Krian sehingga badan kendaraan semakin memenuhi ruas jalan.

Ironisnya, sejak berangkat saya tidak menemui satu pun petugas Polisi Lalu Lintas mulai Sukodono hingga titik kemacetan ini.

Kemana bapak-bapak korps Bhayangkara?

Tidakkah mereka tahu bahwa hari ini ribuan perantau akan berbondong-bondong keluar dari Surabaya untuk pulang ke kampaung halaman? Jalanan pasti akan ramai sekali, sehingga kami butuh kehadiran bapak-bapak itu!

Ah, mungkin saat itu mereka sedang ada tugas yang lebih penting sehingga belum bisa hadir di jalan raya. Siapa tahu mereka sedang apel siaga dan menyiapkan strategi untuk sore dan malam harinya yang di prediksi menjadi titik puncak arus mudik.

Lagi-lagi saya mencoba meredam kembali kejengkelan dengan menyikapi dari sudut pandang lain.

Setelah lepas dari Krian, arus kendaraan cukup ramai namun lancar hingga sampai di bumi Majapahit. Dari kota itu, saya mengambil jalur alternativ Gedeg – Ploso – Nganjuk.

Sangat lancar.

Namun, ada fenomena yang membuat geleng-geleng kepala, meski akhirnya saya tersenyum.

Jalur ini dipenuhi oleh lalu lalang truk besar bermuatan barang. Rupanya bapak-bapak sopir yang terhimpit kebutuhan ekonomi (jika tidak mau dikatakan nakal melanggar aturan Dishub – Satlantas Polri) memilih jalur alternativ ini untuk menghindari petugas.

Akhirnya segala kejengkelan, keprihatinan, kelucuan yang saya alami selama perjalanan berakhir dengan perasaan lega bercampur bahagia ketika laju motor saya mulai memasuki gapura desa kelahiran.

*****

Gema Takbir sehari setelahnya, kian melengkapi kebahagiaan ketika sebelumnya saya sempat bersuka ria bertemu dengan teman-teman masa kecil. Sempat menginjakkan kaki di tempat bermain-main dulu.

Senin pagi 10 Dzulhijah 1437 H, gerimis menandai arak-arakan warga desa kami yang sedang berjalan kaki dari rumah menuju Masjid yang terletak di tengah persawahan untuk menjalankan Sholat Idul Adha.

Jika orang China berkeyakinan bahwa hujan yang turun saat Imlek akan membawa berkah, maka hari itu kami semua berharap gerimis yang mengiringi Shalat Idul Adha 1437 H di tanah kelahiran kami akan membawa kemakmuran dan kesejahteraan bagi warga desa.

Berkah kurban akan membuat kampung dan sawah kami menjadi tanah yang gemah ripah loh jinawi.

*****

Sore harinya, setelah menikmati daging kurban ala pedesaan, saya kembali lagi ke perantauan. Melewati jalur yang sama saat mudik dua hari lalu.

Sampai di Ploso, arus kendaraan semakin padat. Bukan hanya mobil, tapi juga iring-iringan pengendara sepeda motor. Ada yang membonceng dua anaknya atau bahkan lebih. Penuh dengan barang bawaan pula.

Luar biasa!

Tentu perasaan mereka nyaris sama dengan saya. Bahagia telah merayakan Hari Raya Idul Adha di kampung halaman.

Hujan turun.

Sampai di Mojokerto semakin deras. Sudah tentu dingin. Beberapa pengendara motor yang membonceng anak-anaknya memilih menepi. Mereka berteduh di emperan toko dan warung yang tutup. Saya lihat bahkan ada yang membawa anak bayi.

Sekali lagi luar biasa!

Inilah wajah-wajah orang yang memiliki prinsip hidup yang mungkin nyaris sama dengan saya : meninggalkan tanah kelahiran untuk berjuang menafkahi orang-orang tersayang.

Ada perasaan bangga, iba dan salut melihat mereka. Mungkin karena saya merasa senasib dengan mereka. Sama-sama merantau dengan harapan yang tentu sama : Ingin lebih baik.

Tepat adzan maghrib berkumandang, saya menginjakkan kaki lagi di sepetak kamar kontrakan di kota Delta.

Esok, semua akan kembali lagi ke aktivitas semula. Bekerja lagi, merebut masa depan lagi, seiring doa orang tua kita di setiap sujudnya.

Sahabat sekalian, jangan menyerah.

Setiap detik dan waktu di tanah perantauan ini adalah nafas dari doa dan harapan orang-orang tersayang kita.

Setiap tetesan peluh dan keringat kita di tanah perantauan ini, sama mulianya dengan tetesan darah para Syuhada’.

Mari bekerja dan terus bekerja. Demi orang-orang tercinta kita.
.
.
Surabaya, 12 September 2016
-
Heru Sang Mahadewa
Member of #OneDayOnePost

3 komentar:

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *